Rabu, Oktober 15, 2008

Kondisi Jemu Kemanusiaan

If you want to know who your friends are, get yourself a jail sentence.

- Charles Bukowski (1920 - 1994)


Ramadhan yang suci pun pergi. Untuk mengiringi, kalimat-kalimat bagus mulai mengunjungi. Pertama di tengah malam ketika lelap sudah jadi bagian dari tidur, dan yang kedua sewaktu bersahur menjelang subuh menjelma. Selanjutnya pesan-pesan itu menghampiri di setiap saat, untuk akhirnya bertubi-tubi. Handphone yang kemudian tak pernah sepi dari bunyi, ring-rang-rung terus, menampung salam yang mengisyaratkan keindahan silaturahmi. Mohon maaf, memberi maaf, membuka hati, menghatur doa dan mengharap cuma yang terbaiklah yang diberikan Tuhan kepada kita.


Short Message Sercives memang telah jadi bagian hidup kita sehari-hari. Dia menjadi mata rantai komunikasi antar manusia sejagat. Begitu dahsyatnya, sehingga peran SMS mampu menggeser gengsi kartu Hallmark yang terkenal. Mengirimkan kartu ke handai kini terlihat sebagai kekunoan, lambang zadul (zaman dulu) yang beranjak raib. Bahkan parcel yang rapi juga tidak boleh jadi pilihan. Karena selain harganya mahal, mengirimkannya juga bisa mengundang bahaya. Penerima dan pengirim bisa dicatat sebagai orang yang doing something wrong.


Berbahaya? Ya! AM Fatwa menyiratkan itu di suatu sore, di tengah kerumunan sekitar 200 orang yang berbondong hadir di aula lantai dua Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Cipinang, Senin 13 Oktober lalu. Itulah hari ketika Prof. DR. Ir. Rokhmin Dahuri, MS berhalal bihalal dengan kerabat-kerabatnya. Dalam SMS-nya, Menteri Kelautan dan Perikanan RI era Megawati ini menyampaikan bahwa sejumlah sahabat memprakasai untuk silaturrahim halal bihalal di Cipinang dan merasa sangat berbahagia bila para sahabat juga bisa bersama pada acara tersebut.


Tidak ada yang salah. Bersilaturahmi adalah keniscayaan. Berpelukan dalam rasa berbagi dengan membebaskan nurani dari sebarang kekhilafan adalah keharusan. Kita adalah manusia pemaaf yang cepat lupa. Kita butuh aksi untuk mengencerkan segala syak dan prasangka yang negatif, baik dengan salaman, pelukan, Hallmark card atau SMS. Tapi jangan parcel. “Bisa salah,” ujar Wakil Ketua MPR RI itu. “Saya tak ingat, mungkin juga Pak Rokhmin masuk ke sini karena pernah mengirim parcel buat saya,” katanya disambut tawa hadirin, meskipun dia tak bermaksud canda.


Teman yang berdiri di samping membisiki saya, kesalahan Rokhmin bukan karena mengirim parcel atau memberi upeti, tetapi karena dia rapi mencatat. Ungkapan ini sudah sering saya dengar, namun batin saya kembali mendung jika mendengar itu lagi. Pria jujur yang malang. Rokhmin yang teliti ternyata harus menerima sial. Palu tujuh tahun penjara sudah diketuk dan dia harus pasrah menerima.


Tapi sadarkah kita, bahwa sebenarnya kita sedang menciptakan sosok pahlawan pemberani atas nama Rohmin Dahuri? We should look for our brave men in prisons and for the fools among politicians, ujar politisi Irlandia Utara David Trimble. Saya merasakan itu. Ada kesan lain melihat Rokhmin di Cipinang dengan Rokhmin ketika sebebas Camar. Kuat lengannya dalam memeluk memberi sinyal bahwa anak nelayan ini telah bermetamorfosa menjadi harimau. Getar batinnya yang merambat ke penampang rasa menunjukkan bahwa telah hadir seekor naga perkasa di sana. Crouching tiger, hidden dragon. Masih lima tahun lagi dia harus dikurung, namun cuma sedikit teman-teman yang menjauh. Hal-hal besar yang pernah dilakukannya dalam menata dan mengelola Kelautan dan Perikanan di negeri ini ternyata sangat elok di mata masyarakat. Kalimat Indira Gandhi cukup pas di sini: there are moments in history when brooding tragedy and its dark shadows can be lightened by recalling great moments of the past. Rasa-rasanya, penataan Indonesia sebagai Negara Bahari masih memerlukan sentuhan jemari Rokhmin.


Maka, selamat hari raya bagi Rokhmin dan orang-orang yang berhati raya. Syawal hadir memberi kemenangan dan semua berpeluk mesra di antara keharuan dan airmata. Moga-moga batin kita ikut memohon dan memberi maaf, dipinta atau tanpa diminta, dipolitisasi atau alamiah. Meskipun di masa-masa ini kita terpaksa selalu menyurukkan secuil keraguan atas ketulusan hati manusia. Oh wearisome condition of humanity! Born under one law, to another bound.


(dimuat di Majalah Marine Bisnis, edisi Oktober 2008)

Senin, September 22, 2008

Semua Karena KehendakNya


Biografi Hedijanto, Bendahara Yayasan Dharmais

Penulis: IzHarry Agusjaya Moenzir

Penyunting: Jaumat Dulhajah

Penyunting Bahasa Jawa: RMH Subanindyo Hadiluwih

Perancang Grafis: Johan Gondokusumo


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Diterbitkan oleh: Biografi Indonesia

ISBN 10: 979-95367-0-7

Cetakan Pertama: Oktober 1997



“………………………pantes agung kang poro prawira,

anirita sakadare,

ing lelabuhanipun,

hawya kongsi buang palupi,

menawa tibeng nista,

ina estinipun senadyan tekading budya,

tan prabeda budi panduming dumadi,

marsudi ing kahutaman.”

- Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (K.G.P.A.A.) Mangkunagoro IV

dalam Kitab Tripama.



Solo, Pasca 1927


1. Uro-uro di Tengah Malam


Sepetak sawah. Sebuah cangkul berlumpur. Dua ekor kerbau dengan bangau kecil yang sering bertengger di punggungnya. Sengatan terik mentari. Dan keringat mengucur membasahi kulit hitam legam.


Semua itu merupakan bagian dari hidup saya di masa kecil. Merupakan pemandangan yang sangat lekat dengan batin. Yaitu bilamana saya duduk di atas punggung kerbau atau berjuntai di dangau yang goyah sembari menarik-narik tali untuk membunyikan kaleng-kaleng kosong. Kerontangnya akan membahana mengejutkan burung-burung pencuri padi. Begitu setiap saat, begitu pula setiap hari.


Ayah saya, Pak Wongsodimejo -demikian dia biasa dipanggil oleh warga desa Tjokrotulung Polanhardjo- adalah seorang petani ulet. Dialah aktor yang memainkan peran utama di tengah-tengah gambaran tadi. Dengan otot-otot bertonjolan, sehingga mengesankan kulitnya akan meletus, Bapak menghabiskan waktu seharian dengan merendam kaki di air berlumpur, membungkuk menanam padi, atau berteriak-teriak hingga parau di belakang alat peluku tanah yang dihela oleh si Hitam dan si Lamban, kedua kerbau milik kami yang banyak berjasa.


Meski hanya sepetak, namun hasil yang dipetik dari kerja keras itulah yang membuat keluarga kami bisa bertahan. Berlima kami -Bapak, Simbok, Mas Kuat, Mbakyu Sukarti dan saya- bisa diberi makan oleh petak sawah gembur itu, sehingga lepas dari rasa lapar yang menggigit, meski tanpa berlauk apa-apa.


Itu sudah hal biasa. Bahkan jika harus makan nasi dengan garam, hidangan itu tetap merupakan menu yang pas. Nasi, sebagai bahan konsumsi utama, bagi saya adalah makanan terlezat di dunia. Apalagi beras yang berasal dari kecamatan Delanggu tempat kami berdomisili.


Hal itu sudah sohor dan diketahui banyak orang. Beras Rojolele yang dihasilkan oleh kabupaten Klaten, dikenal sebagai beras lezat yang gurih. Pakai garam saja sudah enak, apalagi jika dilengkapi dengan sepotong ikan asin dan lauk-pauknya. Tiap satu jam pasti lapar lagi.


Kesuburan kawasan itu memang tak bisa dipisahkan dengan keberadaan Tjokrotulung, sumber air nan tidak habis-habisnya, yang bahkan menjadi sumber air Perusahaan Air Minum di Solo.


Meski lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang melarat, namun saya tak pernah bersungut-sungut. Bapak dan Simbok pun demikian. Mereka selalu menunjukkan wajah cerah dan optimis, percaya bahwa kehidupan yang dipilihkan Tuhan buat mereka adalah takdir yang terbaik. Lebih baik dari apa-apapun di dunia ini.


Sikap hidup nrimo seperti itulah yang menular, sehingga tak sekalipun dari bibir saya pernah terloncat keluh kesah. Tidak sepatahpun. Bukankah perangai itu merupakan cermin sikap hidup orang Jawa yang apa adanya, hidup lumrah tanpa membanding-banding?


Saya tidak tahu persis dari mana sikap nrimo demikian bisa bersarang dalam diri saya. Merasuknya tidak kentara, pelan merayap, namun berhasil membangun kekuatan dalam diri. Pribadi saya menjadi kukuh karena tidak sepigura gambar kehidupan lain pun pernah datang ke dalam diri saya.


Dan saya sendiri juga tidak pernah mengundangnya datang. Seperti pendapat Bapak dan Simbok, kehidupan yang saya terima, walau bagaimanapun nestapanya, tetap merupakan anugerah. Dan anugerah tak boleh ditolak. Apalagi diprotes.


Saya masih ingat di malam-malam sepi yang gelap, saat kami duduk berhimpit-himpit menunggu kantuk datang menyerang. Listrik belum ada di desa, dan hanya kegelapan yang melingkupi. Cahaya yang dipancarkan oleh sentir tak bisa menerangi malam. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Bapak akan selalu uro-uro (menembang atau mocopat, bernyanyi kecil dengan gumam).


“................Yogyaniro, kang para prajurit. Lamun biso anulado. Duk ing nguni caritane. Andeliro sang prabu Sosrobahu. Hing Mahespati, aran patih Suwondo lelabuhanipun. Kang ginelung tri prakoro. Guno koyo lawan den antepi. Nuhoni trah utomo.......”


Suaranya mengembang, naik turun sesantai tarikan napas yang wajar. Tidak ada pemaksaan, mengalir begitu saja.

Tak sengaja, saya mendengar dengan tekun. Tidak mendengar pasti tidak bisa, karena di tengah kesunyian malam tanpa pelita begitu, hanya uro-uro saja yang terdengar. Kadang memang ditingkahi dengan jeritan jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan, namun paduannya melantun harmonis, merasuk ke relung-relung jiwa.


Saya menikmatinya sebagai sebuah nyanyian yang menghimbau. Meski banyak kalimatnya yang saya tidak mengerti karena dilafaskan dalam tutur kromo inggil (bahasa Jawa yang tinggi), namun saya bisa merasakan getar-getar yang dihasilkannya.


Tidak jarang saya langsung bangkit menghampiri dan duduk di bawah lutut bapak.


“Tegese opo to Pak?” Tanya saya lugu.


“Kamu harus ngerti, To. Uro-uro ini bukan hanya nyanyian semata, tetapi juga sebuah ajaran. Panggulowenthah. Tembang Jowo itu memiliki petuah yang harus dipatuhi.”

Saya tak sepenuhnya mengerti. Melihat air muka saya yang masih menyiratkan tanda tanya, Bapak meneruskan kalimatnya.


“Kowe ngerti tegese 'meneng wae', To? Karepe, upomo kowe duwe beras utowo sego, menengo wae. Ojo gembar gembor. Lha yen pinuju ora duwe, ya menengo wae. Lan ojo ngresulo. menengo wae. Kejobo kawi wong urip kudu ngerti pangroso, jen kowe ora seneng marang tumindaking liyan, ojo nganti kowe nduweni tumindak kang mengkono marang liyan. Ojo seneng nabok yen ora gelem ditabok.”


Saya kurang mengerti apa makna yang disampaikan Bapak. Tidak pada waktu itu. Namun sepanjang hidup saya kemudian, kalimat-kalimat Bapak terus datang bertubi-tubi, sehingga akhirnya saya jadi mengerti.


Sekarang saya bersyukur telah banyak mendengar lantunan uro-uro Bapak.


Bersambung ke bagian 2. (Ojo) Meneng Wae


Kamis, September 18, 2008

Melepas Windu Ke-Tujuh


Kulepas windu ke tujuh dengan jejak,
bekas-bekas langkah.
Dia yang telah menggurat hidup dengan lantang.
Aku tiba di titik usia ini setelah mencercah garis panjang,
upaya abadi mencari jati.
Masih ada rindu yang tipis,
terus terasa detak yang lemah,
tetap hadir cinta yang samar.
Tanpa kehadiran sesiapa.
Pepohon Randu terus membuang bunganya.
Kapuk-kapuk melayang menuruni tangga udara.
Hujan yang tetes.
Hari yang gelap.
Rumput kaku menghunjam awan.
Senandung sepi terhambung ke langit,
pilu menyayat.
Suara sendiri begitu nyata,
sangat kentara.


Here, there & everywhere, 31 Agustus 2008

Selasa, September 02, 2008

Tatkala Karakter Terbunuh


I will die in Paris with a sudden shower,

a day I can already remember.

I will die in Paris -and I don't budge-

maybe a Thursday,

like today is, in autumn.

- César Vallejo (1892 - 1938)


Di tengah-tengah keseriusan menulis Angle bertema character assassination, mendadak pikiran saya harus meluncur ke Paris. Hal itu berawal ketika seorang kawan melakukan interupsi dengan menyodorkan koran Kompas.


“Si Djuanda meninggal di Paris,” katanya.


Kontan saya terperangah. Kaget. Langsung menyambar koran yang memuat berita mendukakan hati itu. Tak pelak lagi, Djuanda, pemerhati masalah-masalah intelijen itu memang sudah mangkat. Dari Paris sana, dia ‘pulang’, tinggalkan Indonesia yang sangat dicintainya. Dia tinggalkan seluruh masalah-masalah tanah air yang selalu menjadi tumpuan pemikirannya.


“Kata orang, warga Amerika yang baik jika meninggal dunia akan pergi ke Paris,” ujar nyonya Allonby.

“Ya, sudah tentu. Tapi jika Amerika yang jahat meninggal dunia, kemana mereka pergi?” tanya Lady Hunstanton.

“Oh, mereka tetap di Amerika.” sela Lord Illingworth.


Pokoknya orang baik akan meninggal dunia di Paris, begitu siratan dialog A Woman of No Importance karangan Oscar Wilde. Dan Djuanda memilih Paris, karena hidup memang penuh pilihan. Paris adalah pilihan luar biasa. Ketika penyakit datang menyerang dan bersarang di tubuhnya, teman saya ini berangkat ke Perancis guna berobat di negara tempat dia pernah menjalani masa muda. Tahukah dia bahwa kematian sudah sedemikan dekat dan membayangi dirinya?


Only the good die young, begitu kata-kata orang bijak. Mungkin itu benar. Tapi di ruang kepala saya, wajah Djuanda berputar-putar. Pertemuan kami terakhir pastilah ketika berdiskusi di coffee shop Hotel Sofyan Betawi sekitar dua bulan lalu. Malam itu dia mengikut saya memesan teh manis dingin sebagai minuman ke dua. Seperti biasa, kami berbincang mengenai hal-hal yang mengganggu rasa keadilan. Apa yang ideal dan apa yang terjadi. Semuanya centang-perenang layak kapal pecah. Tidak banyak hal yang jalan sesuai prosedur. Semua membingungkan dan membikin geram. Apakah kita-kita ini punya daya untuk mengubahnya?


Keinginan itu pastilah masih tersimpan rapat di relung-relung syaraf Djuanda. Buku kecilnya yang berjudul Kitab Capaian Politik memuat 48 etape nyata. Menurutnya, “Berpolitik adalah untuk mencapai tujuan yang disebut Capaian Politik. Di masyarakat kita yang merupakan masyarakat warisan, Capaian Politik adalah terejawantahnya kepemilikan, kekuatan, kekuasaan, wilayah, wibawa dan pengaruh, pengikut serta uang. Kenyataan-kenyataan ini seolah abadi mengikuti perkembangan sejarah bangsa dan negara kita, termasuk padanya dalam hubungan internasional. Para pemuda calon pemimpin perlu mengetahui dan memahami realitas politik ini untuk bekalnya dalam belantara politik Indonesia.”


Djuanda adalah teman diskusi yang paling komplit. Bicara dengannya, saya mendapat banyak pengetahuan tanpa harus meletihkan mata tua dengan membaca berjilid-jilid buku. Mendengarnya, saya memperoleh banyak informasi tanpa harus selidik sana, selidik sini. Djuanda adalah encyclopedia berjalan. Ketika menjadi produser dalam acara-acara radio talkshow, saya sering mengundangnya untuk memperkaya perbincangan. Data-datanya bertimbun dan bicaranya lugas. Ceplas-ceplos. Istilah asing, terutama dalam bahasa Perancis sering terdengar. Keberaniannya melancarkan kritik, membuat orang suka. Tapi banyak juga yang tidak suka. Dan Djuanda sangat menyadari bahwa jumlah orang yang menyukainya lebih kecil dibanding yang tidak menyukainya.


Tapi tunggu dulu. Saya ini bingung, belum mendapat jalan untuk mengaitkan ‘kepergian’ Djuanda dengan tulisan tentang character assassination. Padahal kolom Angle ini sudah dikejar deadline. Namun gejolak hati atas kehilangan teman juga harus dilahirkan, meski bukan dalam kolom obituari khusus. Mungkin saya cuma bersedih, sebab kini saya tidak lagi bisa menemukan karakter yang dimiliki Djuanda.


Tadi kawan saya berkata geram, Djuanda bisa jadi dihabisi. Kayak Munir juga. Mungkin diracun. Sesaat pikiran itu juga menyelip masuk ke benak saya. Tapi tampaknya tidak. Saya tahu Djuanda sakit. Dulu ketika menelpon ke apartemennya, saya mendapat jawaban bahwa dia terbaring sakit, tidak bisa menerima telepon. Saya mafhum, karena belakangan itu, tubuh Djuanda semakin hari semakin kurus dan kecil. Dan wajah yang kurang segar.


Jadi, saya menepis dugaan assassination. Jikapun ada unsur pembunuhan di sini, jelas bahwa hidup mantan Letnan Kolonel TNI Angkatan Laut ini telah diakhiri oleh kerusakan hebat pada lever, pankreas dan kelenjar getah bening. Anna, sang kakak, mengatakan Djuanda lebih sering dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Georges Pompidou oleh tim dokter ahli Perancis. Keadaan Djuanda memang sangat tidak sehat, meskipun saya bisa tidak percaya, karena suaranya di balik telepon masih tetap lantang.


“Bung, saya masih di Paris, berobat. Nanti saya cari jalan untuk memberi data-data,” ujar Djuanda dua minggu sebelumnya. Memang menurut Anna, kondisi Djuanda sering naik turun, kadang membaik, kadang memburuk. Dua hari sebelum wafat, almarhum mengalami serangan sakit yang hebat di bagian kepala. “Dia bilang dia capek,” ujar Anna. “So very tired.”


Iyalah, siapa sih yang tidak capek dan sakit memikirkan negeri yang amburadul begini? Kecintaan kita yang teramat dalam kepada Indonesia membuat kita terluka. We love too much, and it’s hurt! Kita ingin Indonesia ini cepat-cepat jadi bagus, lekas-lekas bisa makmur, tapi kita lagi-lagi berhadapan dengan berbagai jenis perangai yang tak terpuji. Perangai yang tidak heroik, perangai yang mencla-mencle. Kita mendengus jijik melihat orang yang bisa berbuat apa saja hanya untuk menyelamatkan diri. Certain people are born with natural false teeth, kata Robert Robinson, penulis dan penyiar BBC. Jadi jangan heran sebenarnya, jika sering kalimat-kalimat yang diucapkan juga palsu. Dan jika sudah terdesak, orang-orang model begini akan melemparkan kesalahan ke luar dirinya dan bilang bahwa semua itu adalah ulah pihak-pihak yang ingin melakukan character assassination terhadap dirinya.


Character assassination? Saya teringat Gary Hart ketika dituding berselingkuh dengan Donna Rice. Hart ngotot mengatakan, hubungan mereka platonis, bebas dari nafsu berahi dan cinta. Pada konvensi Asosiasi Penerbit Surat Kabar Amerika di New York Mei 1987, Hart menuding koran Miami Herald menyebarkan berita bohong yang menyesatkan. Istrinya juga membela dengan mengatakan, media sudah melakukan character assassination.


Saya juga teringat Nixon. Dan Watergate. Sekretaris Pers Gedung Putih Ronald Ziegler mati-matian menyangkal dan menuduh koran Washington Post melakukan character assassination. Ini lemparan balik yang diharapkan bisa ampuh. Seperti yang terjadi di Pilipina tahun 1963, ketika Wakil Presiden Emmanuel Pelaez menuduh Presiden Diosdado Macapagal melakukan character assassination karena Pelaez dinyatakan termasuk dalam daftar Stonehill Blue Book, yang menerima dana dari milioner AS, Harry F. Stonehill. Di Indonesia juga demikian. Banyak yang bilang character assassination. Akhir-akhir ini, pengacara Juniver Girsang juga bilang begitu tentang berita-berita terhadap Hary Tanoe yang menjadi klien-nya. Even Pak Sudi Silalahi juga bilang begitu.


Character assassination adalah penyerangan terhadap reputasi seseorang. A deliberate and sustained attack on somebody’s reputation. Tapi dalam berita dan buku-buku yang saya baca, tuduhan character assassination itu jarang terbukti. Jika ada asap, selalu ada api. Itu adalah bagian dari kehidupan. Hidup adalah benturan.


Crash, film pemenang Oscar tahun ini, membuka kisahnya dengan kesadaran itu. Kita berbenturan dengan orang lain. Orang lain membentur kita. Dan kita merindukan hal itu. Sebenarnya hidup ini membutuhkan benturan-benturan agar kita bisa merasakan sesuatu. Dan benturan maksimal adalah kematian. Apakah kematian itu tragis atau indah, kita tinggal mendefinisikan saja.


Penyanyi rock Lou Reed mungkin tidak bercanda saat mengomentari kematian Jim Morrison, penyanyi kelompok The Doors, pada Juli 1971. “Someone told us that Jim Morrison had just died in a bathtub in Paris. And the immediate reaction was, How fabulous, in a bathtub, in Paris, how faaaantastic." He he he......


(Dimuat di Majalah B-Watch No. 9, edisi April 2006)

Sabtu, Agustus 23, 2008

The Beach of Le Grandeur


Menyerahkan sosok kepada keterbukaan

itulah sore

tatkala pantai memboyongku

dalam alun lari merambat mengejar.


Melepaskan diri dari keterikatan

itulah magrib

ketika desis ombak berkepala buih

menyuarakan ketenangan.


Menghadapi laut

mendudukkan gelimang sepi pada kursi kayu

dan menyerakkan sunyi di pasir yang basah,

kuhirup kesendirian yang ragu terbata-bata.


Inilah malam. Cuma aku di sini.

Balikpapan, 21 Agustus 2008, 19:00 WITA

Selasa, Agustus 12, 2008

Silence is Worst


“Dialogue cannot create the need to change,

but it certainly facilitates the process of change.

- Edgar H. Schein


Seandainya ada ketentuan umum tentang komunikasi, maka akan terlihat, manusia tidak akan pernah bisa berkomunikasi semangkus dan sesangkil yang ada dalam pikirannya. Demikian Charles Handy dalam buku Understanding Organisations.


Tidak bisa efisien dan efektif, begitu ditegaskan oleh tokoh pendidik Inggeris ini. Karena pada dasarnya komunikasi bukanlah hal yang mudah dan gampang dilakukan. Komunikasi dapat mempererat hubungan, sekaligus dapat membuat jurang antar pihak. Ini adalah proses pemerataan gagasan, informasi dan pesan dengan pihak lain dalam waktu serta tempat tertentu. Semua itu terdapat pada komunikasi non-verbal, komunikasi visual dan komunikasi elektronik.


Komunikasi merupakan perangkat vital dalam kehidupan pribadi manusia dan sangat dibutuhkan di bidang bisnis, pendidikan, pemerintahan serta segala bentuk situasi yang menghubungkan antar manusia. Keharmonisan adalah kata kunci untuk suksesnya komunikasi, sementara komunikasi yang perlu dibangun bukanlah barang mati statis tidak bergerak, tetapi harus selalu dipelihara agar tetap menggeliat. Dan hidup.


Mungkin hal inilah yang masih terjadi di Indonesia saat ini. Ketika agenda hari kerja semakin ketat sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi non-verbal dan komunikasi visual, maka yang terjadi haruslah komunikasi elektronik. Dengan kata lain, seharusnya yang berdering adalah pesawat telpon.


Let your fingers do the walking, begitu semboyan buku Yellow Pages. Kalimat ini mengandung makna bahwa bagaimanapun repotnya manusia dalam rutinitas tugas sehari-hari, komunikasi tidak boleh putus. Di kota-kota besar dunia, komunikasi harus selalu berjalan. Komunikasi masih bisa terpelihara dengan penggunaan pesawat telepon, baik fixed maupun cellular. Atau jika tidak bisa juga, masih ada Short Message Service (SMS) yang bisa menyambung silaturahmi.


Sebenarnya alangkah mudah hidup kita di zaman kini. Tak perlu teriak-teriak untuk bilang sesuatu dan tak perlu heboh mencari kawan berbincang. Sekarang, setiap manusia punya nomor pribadi, bahkan dua atau tiga, sesuatu hal yang tak masuk akal jika kita pikirkan sekitar 10 tahun lalu. Lantas, apa susahnya sih?


Mungkin sulitnya bukan pada sarana penunjang seperti itu, melainkan terletak pada hati. Hati manusia, hati kita masing-masing yang -oleh karena sesuatu dan lain hal- agak merasa enggan angkat suara. Penyebab keengganan itu banyak, tak ada yang bisa merabanya. Dan setiap orang punya dasar dan alasan sendiri untuk tidak melakukan komunikasi. Silence is golden, kata orang.


Tapi itu tidak seluruhnya betul. Sebenarnya, berdiam diri dan tidak berkomunikasi adalah hal yang sangat jelek. Silence is worst. Dengan berdiam diri, maka manusia akan membiarkan pikirannya berjalan-jalan dan masuk ke tanggapan yang negatif. Suudhzon.


Maka berbicaralah. Berkata-kata dan berkomunikasilah. Meski semua orang tau berkomunikasi itu sulit, namun tetap harus dilakukan, agar suasana menjadi cair, akrab dan dapat dimengerti. Jika setiap departemen saling bicara dan setiap lembaga ikut urun rembuk dalam komunikasi yang terbuka, niscaya Indonesia akan semakin molek, semakin indah, lepas dari keruwetan.


Karena, mengutip Edgar H. Schein yang mengatakan, “Dialogue cannot create the need to change, but it certainly facilitates the process of change. Dan kita harus larut dalam proses itu.


(Dimuat untuk Kolom JUST THINK di Majalah Marine Business, Edisi Agustus 2008)

Dingin yang Mendekap Erat


Sebuah ketiadaan terpental-pental menimpa ubun

ketika laut mengirimkan angin ke ketinggian ini.


Di Jakyakdo,

kumelepas segala yang membelit.

Tanpa wajah aku datang

tanpa hati aku pergi.


Di sela-sela hutan bambu

ada terdengar suara sunyi bergemerisik

menyusuri helai rambut dan bibir yang perih.


Toh aku tak melihat siapa-siapa.

Pinus-pinus tua yang tegar berdiri menampar pipiku berkali-kali

mengajak siuman

membujuk keharuan.


Tetap: kau tak ada di sini.

Kesentosaan adalah kehahikian

dan kau memang tak pernah ada di sini.


Cuma dingin dan jaket yang mendekapku

Erat.

Incheon, Korea Selatan, 22 November 2006

Senin, Agustus 11, 2008

GONJING (Unauthorized Biography of Soeharto)


2. Tinggal Gelanggang Colong Melayu


Inilah pekan-pekan yang menyentak dunia. Kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi di antero nusantara telah menyita seluruh energi saya. Waktu tidur pun terganggu. Mimpi jadi buruk. Sejak kembali dari Kairo, secara total tidak ada urusan pribadi yang sempat saya pikirkan. Walau tubuh berada di Cendana, namun pikiran saya berada di seluruh pelosok nusantara. Ikut berbaris dengan para mahasiswa, bernyanyi dalam arus reformasi.


Reformasi sesungguhnya merupakan kata yang indah. Saya setuju dan tidak melihat ada yang salah daripadanya. Para unsur pimpinan MPR dan DPR yang saya terima Sabtu 10 Mei lalu juga mengisyaratkan hal yang sama. Selama 90 menit, mereka tuturkan segala sesuatu yang mereka sebut sebagai aspirasi masyarakat. Harmoko, Syarwan, Fatimah, Gafur, Irsyad dan teman-temannya meminta agar saya segera melakukan reformasi dan upaya perbaikan di berbagai bidang, politik, ekonomi dan hukum.


Saya patut mengasihani suasana itu. Inilah kali pertama mereka mencoba bicara terbuka dengan kalimat-kalimat yang -menurut hemat mereka- akan bertentangan dengan perasaan saya. Ada keberanian yang dibesar-besarkan, ada kalimat yang dipaksakan untuk menyatakan berbagai refleksi di tengah masyarakat. Dengan punggung terdorong tangan-tangan kuat yang tak terlihat, mereka maju untuk bicara kepada saya. Mereka kira semua itu akan menyinggung perasaan dan keberadaan saya. Padahal tidak. Mereka tidak salah. Jika rakyat sudah berkehendak, walau langit runtuh mereka harus bersuara. Bukankah itu tugas mereka sebagai wakil rakyat? Mengapa harus ragu?


Dan sayapun tidak harus dan tidak akan menolak. Sama seperti ketika dulu mereka datang membawa suara rakyat, yang kata mereka, masih menginginkan saya memimpin pemerintahan. Minta jadi Presiden lagi, meski saya sudah merasa renta. Sementara dunia muda ini telah banyak berubah. Diri sayapun sudah beda. Jadi presiden hingga 2003, apakah saya mampu? Pekerjaan itu terlalu berat bagi seorang sepuh seperti saya.


Saya ingin menolak. Saya tanyakan berulang kali kepada Harmoko, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya pada saya? Saya sudah berusia 77 tahun. Saya ingatkan, agar supaya di-cek benar-benarlah daripada semuanya itu. Tetapi Harmoko dan teman-temannya tegar dan yakin. Sebagai unsur pimpinan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, tentulah mereka lebih jeli dan mengetahui apa yang bersarang di hati rakyat.


Mereka bilang, semua pihak berpendapat sama. Bahkan kekuatan sosial politik, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata mengatakan, adalah benar sebagian besar daripada rakyat masih menghendaki saya dan meminta agar saya menerima pencalonan sebagai Presiden untuk masa bakti 1998-2003.


Jika sudah demikian, apa yang dapat saya katakan? Baiklah. Kalau memang demikian, tentu saya akan terima semuanya itu dengan rasa tanggung jawab. Ini perlu digarisbawahi. Saya menerima pencalonan itu bukan karena kedudukan, tapi karena tanggung jawab. Lebih-lebih pada saat bangsa ini sedang menghadapi kesulitan akibat berbagai krisis. Rasa-rasanya, kalau saya meninggalkan begitu saja, saya lantas disebut sebagai tinggal gelanggang colong melayu, meninggalkan keadaan padahal saya masih harus turut bertanggung jawab.


Harmoko dan teman-temannya seharusnya melihat gelagat ini. Saya masih menerima mereka dengan senyum dan keramahan, meski sudah terdengar berita selentingan, mereka telah berancang-ancang untuk meminta saya mundur. Di sini, di bumi Indonesia yang merdeka ini, mereka bebas bicara. Hanya saja, apakah mereka tahu mana ekspresi yang benar dan mana yang salah?


Meski sungkan, mereka paksakan mulut untuk bicara.


"Maaf Pak, apakah susunan kabinet dapat diubah?”


Saya tatap mata mereka satu persatu. Mengapa tidak? Meski itu merupakan kewenangan saya sebagai Presiden, namun usul itu perlu dihargai. Untuk rakyat, saya akan segera membentuk kabinet baru yang bernuansa reformasi. Sebagai Kepala Negara, saya akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin. Apapun akan saya setujui, jika niatnya memang baik. Menurunkan lebih dari separuh wajah-wajah yang ada di Kabinet Pembangunan VII pun, bagi saya tidak masalah. Tuntutan rakyat harus didengar, terutama terhadap Menteri-Menteri yang menurut penglihatan mereka tidak banyak membantu, malah sering merepotkan posisi saya sebagai pemimpin bangsa.


Padahal sebenarnya, mengganti seorang pejabat bukan pekerjaan mudah. Saya selalu tidak tega. Pikiran saya masih manusia dan demikian juga perasaan saya. Hal-hal yang tidak perlu masuk pertimbangan, secara tidak sengaja sering menyusup masuk ke dalam pemikiran, memenuhi perasaan. Saya coba melawannya, namun sering gagal. Mungkin inilah salah satu kejelekan saya, karena sejak masih berdinas aktif di kemiliteran, saya tidak pernah bisa menimpa kesalahan kepada anak buah. Jika ada sesuatu yang tidak beres, secara jantan saya akan mengakui hal itu sebagai tanggung jawab saya.


“Bagaimana jika diadakan Sidang Istimewa, Pak?” tanya mereka lagi.


Saya lebarkan mata menatap wajah mereka, satu persatu. Ada batin yang bergetar. Tapi saya kira tidak masalah. Akan saya ambil langkah-langkah kewenangan apapun demi keselamatan daripada bangsa dan negara. Hak hidup warga negara harus dilindungi, termasuk harta dan hak milik rakyat. Saya berkewajiban untuk mengamankan pembangunan dan asset nasional. Dan di atas segalanya, saya harus bertanggung jawab untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, mengamankan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.


Semua untuk tanah air tercinta.


(Bersambung ke Bagian 3. Kesiapan Untuk Lengser)