Rabu, Oktober 15, 2008

Kondisi Jemu Kemanusiaan

If you want to know who your friends are, get yourself a jail sentence.

- Charles Bukowski (1920 - 1994)


Ramadhan yang suci pun pergi. Untuk mengiringi, kalimat-kalimat bagus mulai mengunjungi. Pertama di tengah malam ketika lelap sudah jadi bagian dari tidur, dan yang kedua sewaktu bersahur menjelang subuh menjelma. Selanjutnya pesan-pesan itu menghampiri di setiap saat, untuk akhirnya bertubi-tubi. Handphone yang kemudian tak pernah sepi dari bunyi, ring-rang-rung terus, menampung salam yang mengisyaratkan keindahan silaturahmi. Mohon maaf, memberi maaf, membuka hati, menghatur doa dan mengharap cuma yang terbaiklah yang diberikan Tuhan kepada kita.


Short Message Sercives memang telah jadi bagian hidup kita sehari-hari. Dia menjadi mata rantai komunikasi antar manusia sejagat. Begitu dahsyatnya, sehingga peran SMS mampu menggeser gengsi kartu Hallmark yang terkenal. Mengirimkan kartu ke handai kini terlihat sebagai kekunoan, lambang zadul (zaman dulu) yang beranjak raib. Bahkan parcel yang rapi juga tidak boleh jadi pilihan. Karena selain harganya mahal, mengirimkannya juga bisa mengundang bahaya. Penerima dan pengirim bisa dicatat sebagai orang yang doing something wrong.


Berbahaya? Ya! AM Fatwa menyiratkan itu di suatu sore, di tengah kerumunan sekitar 200 orang yang berbondong hadir di aula lantai dua Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Cipinang, Senin 13 Oktober lalu. Itulah hari ketika Prof. DR. Ir. Rokhmin Dahuri, MS berhalal bihalal dengan kerabat-kerabatnya. Dalam SMS-nya, Menteri Kelautan dan Perikanan RI era Megawati ini menyampaikan bahwa sejumlah sahabat memprakasai untuk silaturrahim halal bihalal di Cipinang dan merasa sangat berbahagia bila para sahabat juga bisa bersama pada acara tersebut.


Tidak ada yang salah. Bersilaturahmi adalah keniscayaan. Berpelukan dalam rasa berbagi dengan membebaskan nurani dari sebarang kekhilafan adalah keharusan. Kita adalah manusia pemaaf yang cepat lupa. Kita butuh aksi untuk mengencerkan segala syak dan prasangka yang negatif, baik dengan salaman, pelukan, Hallmark card atau SMS. Tapi jangan parcel. “Bisa salah,” ujar Wakil Ketua MPR RI itu. “Saya tak ingat, mungkin juga Pak Rokhmin masuk ke sini karena pernah mengirim parcel buat saya,” katanya disambut tawa hadirin, meskipun dia tak bermaksud canda.


Teman yang berdiri di samping membisiki saya, kesalahan Rokhmin bukan karena mengirim parcel atau memberi upeti, tetapi karena dia rapi mencatat. Ungkapan ini sudah sering saya dengar, namun batin saya kembali mendung jika mendengar itu lagi. Pria jujur yang malang. Rokhmin yang teliti ternyata harus menerima sial. Palu tujuh tahun penjara sudah diketuk dan dia harus pasrah menerima.


Tapi sadarkah kita, bahwa sebenarnya kita sedang menciptakan sosok pahlawan pemberani atas nama Rohmin Dahuri? We should look for our brave men in prisons and for the fools among politicians, ujar politisi Irlandia Utara David Trimble. Saya merasakan itu. Ada kesan lain melihat Rokhmin di Cipinang dengan Rokhmin ketika sebebas Camar. Kuat lengannya dalam memeluk memberi sinyal bahwa anak nelayan ini telah bermetamorfosa menjadi harimau. Getar batinnya yang merambat ke penampang rasa menunjukkan bahwa telah hadir seekor naga perkasa di sana. Crouching tiger, hidden dragon. Masih lima tahun lagi dia harus dikurung, namun cuma sedikit teman-teman yang menjauh. Hal-hal besar yang pernah dilakukannya dalam menata dan mengelola Kelautan dan Perikanan di negeri ini ternyata sangat elok di mata masyarakat. Kalimat Indira Gandhi cukup pas di sini: there are moments in history when brooding tragedy and its dark shadows can be lightened by recalling great moments of the past. Rasa-rasanya, penataan Indonesia sebagai Negara Bahari masih memerlukan sentuhan jemari Rokhmin.


Maka, selamat hari raya bagi Rokhmin dan orang-orang yang berhati raya. Syawal hadir memberi kemenangan dan semua berpeluk mesra di antara keharuan dan airmata. Moga-moga batin kita ikut memohon dan memberi maaf, dipinta atau tanpa diminta, dipolitisasi atau alamiah. Meskipun di masa-masa ini kita terpaksa selalu menyurukkan secuil keraguan atas ketulusan hati manusia. Oh wearisome condition of humanity! Born under one law, to another bound.


(dimuat di Majalah Marine Bisnis, edisi Oktober 2008)