Jumat, Agustus 05, 2011

In Our Little Switzerland

Kau duduk di depanku. Lurus dan persis. Jendela lebar menampung puncak-puncak pohon pinus dan melemparkannya utuh ke atas meja. Di atas taplak berbunga, helai dan serat daunnya bercampur dengan air mineralku dan juice alpukatmu, dengan steak sapimu dan pofertjes-ku.

Kupandangi matamu penuh. Senja sudah turun sejak tadi. Lelampu rumah-rumah penduduk di pelataran datar mulai nyalang. Angin terdiam, malas merambat. Duduk di sofa berbentuk huruf U, kuhirup bau malam saat matamu mengecil setiap tertawa. Lucu dan cantik, membuat kumerasa, di umur hidup kita, aku ingin menyayangimu.

Hanya saja, aku tak akan menyentuhmu. Kularang jari-jariku. Di temaram langit yang berkabut, aku cuma ingin paparkan rasa. Pekan-pekan belakangan ini, kita terlalu hanyut dalam amuk. Perjumpaan kita tidak lagi hanya peristiwa kasih, tetapi terus menggelora. Kita larut terbawa jauh di pusaran jingga, terengah-engah dengan deru napas memburu. Kau mendekapku dalam, aku menyusup masuk ke liang tubuhmu. Aku menikmatimu, kau menikmatiku, dalam rengkuh indah alami universal anak manusia.

Tapi malam ini, di sini, aku mau duduk seperti ini. Menikmati keindahan dalam mematai caramu bersikap. Senyum yang melebarkan bibir. Tawa yang membuat hidungmu berkernyit. Duduk tanpa berbuat apa-apa. Cuma kalimat yang perlu dilontarkan. Karena kita harus lebih banyak bicara. Tentang apa saja. Tentang langit kelabu dan bulan tunggal di atas sana, mengenai ranting-ranting dan burung pulang malam, atau malam teduh dan dingin yang meraba-raba leher.

Airmataku tetes. Feeling guilty. Tak layak aku membawamu ke sana, saat cinta dikalahkan passion dan gerumas membunuh usapan. Kita harus kembali cepat-cepat, sebelum kita tersesat dalam kabut. Kau tersedak, menahan isak yang akan meledak. Hujan tersendat, membekukan jemari dan lidah. Angin menampar.

Malam di atas bukit. Sinar bulan yang panjang ke ujung utara. Kau duduk di hadapanku, mulai ikut menitikkan airmata. Merasa lemah, kehilangan daya. Kau mencinta, tapi tak bisa berbuat apa-apa. You like to break the chain I put around you, but you know you never will. Tapi aku tak lantas memelukmu. Ditengahi oleh sekuntum ros merah nyalang, kita terus bertatap dengan mata kucing sakit.


Crystal, kita sedang mencari jalan ke arah hubungan yang sehat. Memberi dan menerima dalam arti yang sakral. Tetapi sulit sekali. Karena akhirnya, ketika berdiri di ketinggian dalam melempar pandang ke ambal muram berlampu di bawah sana, yaitu saat kulingkarkan kedua tangan memeluk tubuhmu dari belakang, kau tetap memaling wajah untuk mengecup bibirku.

Dan embun pun turun. Cinta ternyata tak bisa berdiri sendiri. Selalu ada passion di dalamnya. Riuh menggelora, nikmat menakutkan.

Cuplikan dari rancangan novel Crystal, 11 Juni 2004

 

REMINISCENCE OF THE DAYS: Bulek dan Segelas Air Es

Iseng-iseng, kusinggahi lagi Prambors Rasisonia. Tatkala urusanku di Ratu Plaza beres dan jalanan di luar sana macet berat, aku ringankan langkah menumpang elevator, naik ke lantai tempat stasiun radio itu bercokol bersama radio Delta FM & Female FM.

26 tahun sudah sejak radio-radio itu kutinggalkan. Siaranku terakhir di Prambors adalah pada Januari 1983, sementara siaran terakhirku di Delta FM adalah November 1999. Sebuah rentang panjang waktu yang membuat jarak lebar. Apakah semua sudah terbelah?

Suasana stasiun radio-radio itu kini sudah formal, seperti kantor bank saja layaknya. Ketika pintu lift terbuka, sambutan sorot mata dingin petugas security menyambar dan mendakwa: “Ada kepentingan apa di sini?” Terasa kaku dan defensif.


Jika ada sebuah jarum kecil terjatuh, bisa-bisa suara benturannya dengan lantai akan terdengar jelas. Suasana hening, seperti berada di tengah pekuburan. Semua tertata dengan arogansi yang lembut, tidak punya kehangatan. Kerenyahan atmosfer radio kini terasa hilang. Tidak ada keluwesan, sehingga tidak terasa ada keakraban. Semua bergegas dengan pekerjaan, setiap orang seperti clock-work toy yang beredar dari ruangan ke ruangan dengan kunci putar tertancap di balik punggung.

Tidak ada canda anak-anak mangkal lagi di ruangan-ruangan itu. Padahal taglines Prambors zaman dulu adalah Tempat Anak Muda Mangkal. Semangat itu sudah tidak terpantul lagi. Sekarang semuanya formil, bincang-bincang dengan teman-teman lama juga terkesan berjarak. Ada celah yg membedakan, ada ruang hidup yang berlainan. Semua tercipta dalam satu sistem hubungan kerja yang kurang bersahabat, karena semua bermuara kepada uang. Pada gaji. Pada kinerja. Pada target untuk mencetak profesionalisme. Dan itu terasa hambar.

Ya, pergeseran sudah terjadi. 2009 bukan 1999, apalagi 1983. Time change, people change. Dan itu akan terus begitu. Waktu telah menjauhkan pribadi-pribadi, mencetak tatakrama baru dan meletakkannya menimpa nilai-nilai persahabatan. Kukira, kita tidak akan pernah menemukan masa-masa itu lagi. Hubungan antar manusia yang dulu terbentuk atas dasar kekerabatan batin, kini terbina atas dasar kepentingan dan keuntungan. That’s life.

Namun, untunglah ada Bulek. Office-boy yang dulu setiap hari menyediakan minuman, dengan senyum lebar menyodorkan secangkir kopi buat Bowo, dan segelas air es buatku. Dengan gaya seperti The Incredible Hulk, (itu sebutanku dulu buatnya) dia juga menyalam tanganku.

“Pak Izharry, kan?” tanyanya.
“Wah, awet kau, ya Lek! Sudah berapa anak sekarang? Sudah kawin kan?” tanyaku kembali.

Pertanyaan-pertanyaan itu sama sekali tak perlu berjawab, karena kami berbincang dengan hati. Dan kami tetap saling menyimpulkan senyum hangat di bibir. Iseng-iseng kutanya lagi dia.

“Kok Bowo dikasi kopi, aku cuma dikasi air es?”
“Kan dari dulu Pak Iz sukanya air es.” jawabnya.

Kepalaku terbentur, kesadaranku tersentak dan ketulusanku mencair. 26 tahun sudah berlalu, tetapi Bulek masih mengingat kegemaranku: Segelas Air Es!

Bulek ternyata lebih bersahabat. Aku dan dia berdialog pada frekuensi yang sama, tidak saling menggurui, tidak saling mengukur. Kami tidak bicara tentang kepentingan dan keuntungan, tetapi kami bicara tentang pengertian dan ketulusan. Sesuatu yang jarang ada. Terlebih ketika kami melakukannya dengan nurani.

Selasa, 29 September 2009
by IzHarry Agusjaya Moenzir

Buku 'Bukan Testimoni Susno', Best Seller di Gramedia

Jumat, 26/03/2010 18:13 WIB
Oleh: Djoko Tjiptono - detikNews

Jakarta - Nama Susno Duadji semakin moncer setelah berani mengungkapkan berbagai fakta kontroversial di internal Polri. Tidak hanya nama, buku tentang mantan Kabareskrim Mabes Polri itu yang bertajuk 'Bukan Testimoni Susno' yang ditulis oleh Izharry Agusjaya Moenzir pun laris manis.  

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif PT Gramedia Pustaka Utama, Wandi S Brata, dalam perbincangan dengan detikcom melalui telepon, Jumat (27/3/2010). "Hingga saat ini sudah terjual sebanyak 23 ribu eksemplar. Bagi kami (Gramedia), sebuah buku yang terjual 10.000 eksemplar dalam 3 bulan sudah masuk dalam katagori best seller. Sedang buku ini (Bukan Testimoni Susno), dalam 1 bulan sudah mencapai angka penjualan 23.000 buah," ungkap Wandi.

Wandi menambahkan, pihaknya juga sudah menerbitkan buku 'Bukan Testimoni Susno' cetakan kedua. Dalam cetakan kedua ini, buku tersebut mengalami berbagai perbaikan dari sisi desain maupun lay out. "Tapi isi atau materi, semuanya sama. Untuk cetakan kedua ini kita cetak 10 ribu eksemplar," tutur Wandi. 

Tak terkait isu Markus 

 Wandi juga menjelaskan, sejak awal dicetak buku yang ditulis oleh Izharry Agusjaya Moenzir itu memang sudah laris. Jadi, sambung dia, tingginya angka penjualan buku 'Bukan Testimoni Susno' ini tak terkait langsung dengan isu markus di Mabes Polri. "Sejak isu markus mengemuka, angka penjualan buku ini biasa saja. Artinya tidak naik secara signifikan. Jadi ramainya isu markus yang diungkap Pak Susno tidak terkait langsung dengan penjualan buku ini," terang Wandi. 

Wandi melihat, ketertarikan orang terhadap buku 'Bukan Testimoni Susno' ini lebih disebabkan hal lain. Buku tersebut menampilkan gambaran lain sosok Susno setelah sebelumnya dia dihujat dalam kasus kriminalisasi pimpinan KPK. "Jadi kami tertarik menerbitkan buku ini bukan karena sensasinya. Tapi karena Susno ini dalam arti tertentu kemarin kan menjadi kambing hitam. Ketika saya membaca naskahnya, ternyata orang ini tidak sejelek yang dipersepsikan selama ini. Dan saya pikir, ini penting diketahui masyarakat," ungkap Wandi. (djo/nrl)

Bab 15. Mendekapnya Rapat, Memeluknya Hangat

Bab 15 ini adalah cuplikan dari 
Biografi Gesang 'Mengalir Meluap Sampai Jauh', 
tulisan IzHarry Agusjaya Moenzir, 
terbit tahun 1998, cetak ulang 2010 
oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama
========================================
 
Perempuan itu memang memukau jiwa. Mataku tak berkedip melihatnya. Dagunya yang runcing menancap tajam di jantung. Aku terpesona, merasa heran, kok ada mahkluk secantik dia? Selintas aku berpendapat bahwa dia bukan manusia. Mungkin peri dari salah satu bintang-bintang yang bertabur di langit. Turun ke bumi, malam ini dia ikut bernyanyi dan menari di panggung hiburan Surakarta.

Gemulainya adalah dedaun nyiur yang tertiup angin. Lentik jarinya ibarat bulan sabit. Dia berputar-putar dengan langkah ringan, seakan kedua kakinya tidak menjejak tanah. Musiknya dari swargaloka, nyanyian para dewata. Jika matanya mengerling, seberkas sinar lembut berkejaran di udara terbuka, menusuk masuk ke kornea mataku. Aku terpanah.

Asmara memang cepat datangnya. Apalagi bagiku yang sangat menyukai keindahan. Di kemudaan usia ini, aku terpaku dan tak bisa berkelit lagi. Dia memang pujaan semua orang, tetapi bagiku dialah bidadari. Perasaan itu muncul ketika jemari halusnya kujabat di belakang panggung. Kulitnya lembut seperti kapas, seakan telapak itu tak pernah bersentuhan dengan sesuatu apapun.

Aku keringat dingin. Seandainya....

“Kepanasan ya?” tanyanya manis.

Leherku kering. Tak bisa berkata-kata untuk menjawabnya. Suara batinku tersangkut di tenggorokan.

“Nih, pakai saputangan saya saja," katanya sembari menyodorkan saputangan.

Suaranya yang manja membuat tanganku bergerak di luar kendali, menggapai ke arahnya untuk meraih selampe sutera berwarna ungu dengan hiasan garis-garis merah itu. Mataku tak berkejap. Gemuruh dadaku terdengar jelas dan jantung berdentam-dentam dengan garang. Alangkah kakunya suasana.

Dia tertawa. Dan aku menunduk. Sungguh memalukan sekali sikapku, menganga seperti anak kecil melihat permainan sulap. Kugenggam saputangan pemberiannya dalam telapakku. Saputangan yang harum baunya, menawan hatiku.

Aku kasmaran. Dalam hati putihku, kini tergambar sketsa raut wajahnya. Entah siapa pelukisnya, namun guratan garis itu begitu jelas dan terang. Arsirannya terbentuk bagus dengan sisi hitam, kelabu dan putih yang berkomposisi, sehingga alis, mata, hidung, bibir dan pipinya semakin nyata.

Ternyata aku tidak terlalu bertepuk sebelah tangan. Seusai bernyanyi, kusamperin dirinya.

“Terimakasih saputangannya. Nanti setelah dicuci akan saya kembalikan.”

Aku berbohong. Saputangan berinitial S miliknya itu tidak kupakai untuk melap keringat, karena aku tidak mau merusak keharumannya. Cuma, untuk mengatakan bahwa aku tidak memakainya, pasti hanya akan menunjukkan kekonyolan saja.

“Sudah. Simpan saja. Anggap kenang-kenangan," ujarnya dengan senyum menggoda.

Oh Gusti! Sanggupkah aku menerima kemanisan ini? Aku menggigil di bawah baju yang kukenakan. Haruskah saputangan itu kuterima? Aku merasa berada dalam kamar berdinding sempit, tak tahu apa yang harus dilakukan. Ingin aku memiliki saputangan miliknya sebagai tanda cinta, tetapi aku takut seandainya hal itu membawa petaka. Ila-ila, kepercayaan sejak jaman kuno melarang aku menerimanya, karena hal itu akan mengakibatkan putusnya hubungan. Seperti minyak wangi, saputangan juga merupakan benda yang tidak boleh diberikan kepada orang lain, sebab bisa mempengaruhi hubungan yang sudah terjalin. Bagaimana jika hubunganku dengannya terhenti?

Keraguan terus mengerubungiku, layak semut kecil yang merubung kujur hati. Mudah-mudahan dia tidak merasakannya di tengah obrolan yang semakin lama.

“Capek?” tanyaku.
“Kamu sendiri bagaimana?”
“Ya capek. Ya gemetar. Takut kalau suara saya nggak sampai tadi.”
“Tapi bagus kok. Lagunya enak. Ciptaan sendiri, ya?”

Aku mengangguk. Berjuta kuntum bunga mekar di padang sanubariku.

“Tapi kok rasanya, bisa lebih bagus kalau kamu yang menyanyikan,” kataku.

Aku tidak berbohong. Dia bukan hanya dikenal sebagai penari tersohor, tetapi juga memiliki suara emas yang jarang bisa tertandingi.

“Aku akan ciptakan lagu buat kamu,” kataku tiba-tiba.
“Memangnya, sudah berapa banyak lagu yang kamu ciptakan?”
“Baru empat. Nanti yang ke lima buat kamu. Bolehkan?”

Dia melepas senyum cerah. Sumringah. Dan aku mencium wewangi melati, seakan berasal dari hamparan bunga terbentang. Padahal itulah harum tubuh dan saputangannya. Semakin lama semakin memabukkan, seperti juga kata demi kata, kalimat demi kalimat yang kami ucapkan, diselingi dengan senyum, tawa dan manja.

Cinta pertama adalah cinta yang berasal dari kayangan. Aku membalut tubuhnya dengan seluruh perasaaanku, layak Hyang Rawi mendekap Kunthi di Taman Keputerian. Sorot sayu mataku layak sinar mentari yang membelai pundak telanjangnya, mendekapnya rapat, memeluknya hangat. Saputangan yang dulu kuterima dari kekasihku. Pada masa dahulu berjuang, pertama bertemu.


GESANG - MENGALIR MELUAP SAMPAI JAUH

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Prolog: ‘Mati’ ketika Hidup dan ‘Hidup’ Setelah Mati

Sudah 12 tahun biografi Gesang ini saya tulis. Masih teringat di bulan-bulan akhir 1998 yang berlanjut ke bulan-bulan awal 1999, saat saya berada di Surakarta, mundar-mandir dari penginapan ke rumah Gesang di Palur. Suasana republik saat itu sangat tidak kondusif. Ibu Pertiwi lagi demam panas dan rakyat sedang marah. Gelombang ketidakpercayaan terhadap Pemerintah membuncah. Demonstrasi di mana-mana.

Namun saya dan Pak Gesang nyaris tidak tersentuh. We stay in our ignorance. Di rumah tipe 36 miliknya yang selalu dikumandangi kicauan burung, kami tenggelam dalam obrolan hening, membuka hati dan merajut kata. Atas pertanyaan saya, Pak Gesang bertutur tentang keberadaannya sejak lahir, kanak, remaja, dewasa dan menjadi tua. Jalinan kisah hidupnya nyaris tanpa karpet merah. Bukan kisah manis. Sedikit sekali madu dan bunga mawar di sana. Dan saya menyimaknya untuk dijadikan naskah panjang.

Usia Gesang saat itu masih 80. Saya ingin menerbitkan biografinya untuk peringatan usia windu dasawarsa Gesang, sebelum kisah hidup itu hilang dan terlambat. Saat itu kesehatan Gesang sudah sering terganggu. Tubuh rentanya ringkih, tidak tahan terhadap ancaman penyakit. Keadaan ekonominya mencemaskan. Kitapun sudah melupakannya. Saya khawatir Gesang tidak akan bertahan lama. Maut bisa menjemputnya sewaktu-waktu. Dan jika saat itu tiba, kita bisa-bisa tidak punya pengetahuan apa-apa tentang maestro keroncong itu.

Maka sebuah biografi mutlak sangat dibutuhkan. Meski diluncurkan di Pendopo Kantor Walikota Surakarta pada 17 Februari 1999 dengan kehadiran orang-orang besar, kisah tentang Gesang nyaris lahir tanpa tanggapan nasional. Hanya beberapa media cetak lokal dan TVRI saja yang memberitakan.

Saat itu memang Gesang sudah tidak lagi menarik hati Indonesia. Dia bukan sosok yang sexy untuk diberitakan. Dia cuma seorang pria tua dari masa lampau yang mewakili musik-musik zadul (zaman dulu). Old timer yang tidak punya daya tarik dan daya jual. Dia telah terlupakan dan disia-siakan. Sekelebat saya beranggapan, Gesang sebenarnya sudah dianggap mati sebelum napasnya berhenti.

Apalagi kita menyadari, musik keroncong memang tidak lagi dikonsumsi masyarakat, terutama masyarakat kota yang hanyut oleh kedahsyatan musik-musik pop Indonesia dan musik-musik MTVmancanegara. Gesang left alone and become nobody. Era musiknya juga sudah tidak trend lagi, memudar seperti musik Melayu, lagu-lagu Batak dan Minang serta lagu-lagu asli Indonesia lain yang pernah terkenal.

Singkat kata, Gesang adalah sebuah masa lalu, sisa-sisa seniman tua yang ditinggalkan oleh kekinian. Dia telah kita anggap tiada, kita nilai sudah ‘mati’. Hari-harinya tidak pernah kita catat dan tidak pernah dapat tempat. Sebelas tahun saya dan beberapa kawan mencoba menghidupkan eksistensinya, namun selalu tidak berhasil.

Tapi ketika beberapa bulan lalu Gesang gering dan dirawat di rumah sakit, mendadak saja media gencar memberitakan dirinya. Saya tertanya, seandainya dia tidak di ambang maut, apakah berita tentangnya masih dinilai memiliki news value? Atau ini cuma kelatahan?

Gesang kemudian melepaskan jiwanya pada jam 18:10 WIB tanggal 20 Mei 2010, saat kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Koinsiden itu seakan memberi sinyal agar kita jangan melakukan upaya membangkitkan nasionalisme sebagai proforma semata-mata.

Gesang sudah mati. Tapi sekarang kita mencoba ‘menghidupkan’ dengan segala upaya. Gelar Pahlawan Nasional diwacanakan. Padahal dulu ketika dia masih hidup, kita sudah bertahun-tahun ‘mematikannya’. Memang seorang genius sering tidak diakui ketika dia masih hidup, tapi baru diakui setelah dia tiada. Seperti lidah di dalam rongga mulut, kita tidak pernah merasakan keberadaannya. Tetapi ketika lidah itu tiada, kita akan bersedih karena tak lagi bisa berkata-kata.

It’s so pathetic. Miris dan menerbitkan iba. Mudah-mudahan kita memang benar-benar merasa kehilangan Gesang, bukan cuma sesaat ini saja. Sehingga kita yakin benar bahwa sebuah biografi memang mutlak sangat dibutuhkan.

Belantara Hujan, 28 Mei 2010

Kompas.com : Peluncuran Buku Gesang, Anugerah yang Dilupakan


KOMPAS.com- Kehidupan maestro musik keroncong Gesang ternyata tak seindah lagu-lagu ciptaannya. Lagu Bengawan Solo, misalnya, boleh saja mendunia dan dan mengalir melintasi zamannya. Dikenal dan disukai dari dulu sampai sekarang. Namun, kehidupan Gesang ternyata penuh duka dan sempat menguncang jiwanya.

"Sejak lahir hingga usia tua, saya merasakan hidup penuh duka. Kehidupanku seperti air yang mengalir di sepanjang Bengawan Solo. Asal mengalir dan selalu mengalir. Saya sadar, dari hilir perjalanan bermula dan di hulu perjalanan berakhir." Demikian pengakuan Gesang, 12 tahun lalu.

Dan ketika berpulang, Kamis 20 Mei 2010 pukul 18.10 WIB, Gesang pergi tanpa pesan terakhir. Menurut keponakannya, beliau pergi dalam hening yang dalam.

Kenyataan yang memilukan dan sekaligus mengharukan itu terungkap saat peluncuran buku Gesang Mengalir Meluap Sampai Jauh (penerbit PT Gramedia Pusataka Utama, Jakarta, 2010) yang ditulis IzHarry Agusjaya Moenzir, Jumat (6/8/2010) malam, di Auditorium Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta.

Menurut IzHarry, Gesang adalah sebuah masa lalu, sisa-sisa seniman tua yang ditinggalkan oleh kekinian. Dalam usia rentanya, ia telah kita anggap tiada, kita nilai sudah mati. Hari-harinya tidak pernah kita catat dan tidak pernah dapat tempat.

"Sebelas tahun saya dan beberapa kawan mencoba menghidupkan eksistensinya, namun selalu tidak berhasil. Tapi, ketika beberapa bulan lalu Gesang terbaring sakit di rumah sakit, mendadak saja media gencar memberitakan dirinya. Melalui buku biografi Gesang yang diluncurkan malam ini, kita mencoba menghidupkan dengan segala upaya," ujar IzHarry.

Gesang telah tiada. Radio Republik Indonesia memberi tempat untuk peluncuran buku Gesang tersebut dengan menyiarkan langsung ke penjuru nusantara. Sebagai bentuk kepedulian akan khasanah budaya bangsa, RRI juga menghadirkan Kelompok Keroncong Tugu dan Keroncong Cyber, untuk menyanyikan lagu-lagu kerincong ciptaan Gesang selama 40 menit penampilan on air.

"Radio Republik Indonesia sangat peduli dengan kebudayaan bangsa. Dan, musik keroncong sebagai salah satu kekayaan bangsa kita, harus kita lestarikan. Kita tingkatkan kepedulian kita. Kepedulian RRI kepada keroncong, dan Gesang khususnya, tidak hanya saat ini saja," kata kata Direktur Utama RRI Parni Hadi , dalam pidatonya.

Pada saat Bintang Radio 2008 di Bogor, tambah Parni Hadi, RRI juga menganugerahkan kepada Gesang penghargaan Live Achievement. "Inilah cara RRI menghargai pahlawan di bidang kesenian. Yang diperbuat pahlawan di bidang kesenian ini untuk bangsa, tak kalah dengan pahlawan yang pegang senjata," katanya.

Wartawan lima zaman Rosihan Anwar mengatakan, seumur-umurnya inilah peluncuran buku yang hebat, yang disiarkan langsung ke penjuru nusantara. "RRI sudah memberikan tempat yang luar biasa, dan peluncuran buku ini didengar banyak orang melalui siaran langsung RRI ke penjuru nusantara," katanya.

Menjaga dan mengembangkan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, meski berhalangan hadir, menitipkan pesan kepada Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, untuk terus melestarikan musik keroncong.

"Maestro Gesang telah meninggalkan kita dan setelah beliau pergi adalah tugas kita untuk menjaga keroncong sebagai salah satu karya seni musik bangsa Indonesia," tulis Jero Wacik.

Sapta Nirwandar mengungkapkan, kita harus berterima kasih dan bangga karena di Bumi Pertiwi pernah ada seorang seniman Keroncong dan Langgam Jawa yang tegar bergeming menyuarakan kepahlawanan. "Dia bernama kehidupan. Dan Gesang adalah kehidupan. Meski dia telah tiada," katanya.

Menurut Sapta, lagu Bengawan Solo memang sudah masterpiece. Masyarakat Indonesia mengakui, demikian juga dunia. Namun, jangan terpaku pada sebuah lagu semata. Ada sekitar 40 lagu ciptaan Gesang yang menunjukkan betapa kaya sebenarnya batin pria kelahiran Surakarta ini. Lagu-lagunya ditulis pada waktu yang berbeda, yaitu saat kita masih dijajah Belanda dan Jepang, serta di zaman merdeka.

"Simaklah lagu Bilamana Dunia Berdamai (1942), Jembatan Merah (1943), dan Caping Gunung (1973). Semua menjadi suara zaman, saksi sejarah bangsa kita. Kita harus berterima kasih dan bangga dengan Gesang," tandas Sapta. (YURNALDI)

Tuhanku, Tuhan Yang Misterius


Aku tak paham Tuhan. Tak mengerti gerak tanganNya. Tak paham langkah-langkahNya, apa mauNya. Rencana dan putusanNya. Dia begitu misterius.

Memang ada saat-saat aku sangat dekat denganNya. Kami bercakap-cakap, meski bibirkulah yang banyak merepet, mengadu, meminta dan sujud. Tapi aku tau Dia tekun menyimak dengan pendengarannya yang maha. Kukatakan aku merindukanNya untuk menuntun jariku, menudingkan  arah yang musti kutempuh, karena aral dan jalan bercabang kerap hadir di ujung tapakku.

Tapi Dia tetap misterius. Tak menjawab. Namun karena aku tetap bisa bergerak aman, aku yakin Dialah yang menggiringku. Dia banyak memberiku. Tapi Dia juga merampas dariku. Kata teman, Dia bermaksud baik. Dia cuma sedang mencoba.

Mencoba? Perlukah ketulusanku dicoba-coba? Ini menggoyahkan. Menghantam ubunku, menekanku hingga kerdil, murung, sangsi, ragu, bimbang, penuh tanya, marah, merepet, mengadu, meminta dan sujud lagi. Aku sangat ingin bisa ngerti rancang rekayasaNya.

Tapi dia tetap misterius.

Adakah Dia di sini, di batang-batang nalar dan di syaraf-syaraf kesalehanku? Aku bercakap-cakap, merepet, mengadu, meminta dan sujud. Namun kemengertianku dangkal. Tuhanku, tetap Tuhan yang misterius.

November 2009
Ida Lubis Dalam Ingatan
(Pematang Siantar, 15 Maret 1927 – Jakarta, 1 April 2011)
by IzHarry Agusjaya Moenzir, on Saturday, April 9, 2011 at 4:14am

Pada Jumat itu, langit Jakarta berhias mendung. Abu warnanya. Sekitar pukul 06:45 WIB, ibunda tercinta Hj. Zahida Lubis binti Madong Lubis, menutup perjalanan hidup di usia 84 tahun. Mami menghembuskan nafas terakhir di ruang UGD Rumah Sakit MMC Jakarta, tanpa guratan sakit dan nyeri. Dia pergi dengan tenang, layak akan melancong ke alam baka. Wajahnya bersih dan bercahaya.

Mami memang sudah lama sakit, selaras usia yang semakin bertambah. Sebagai pasien geriatrik, keringkihan tubuhnya semakin kentara dari tahun ke tahun. Dia pun masuk-keluar rumah sakit, minum berbagai obat dan berpantang terhadap beberapa jenis makanan.

Tapi Mami selalu memiliki gairah hidup. Sendiri di rumah bersama suster perawat, kegiatan rutin sejak muda masih tidak ditinggalkannya. Mami rajin membenahi rumah, merias diri, memelihara bunga, berjalan pagi mengitari kompleks perumahan, mendengar musik, membaca surat kabar/majalah, menonton berita-berita di televisi dan menggemari pertandingan tennis di ESPN. Warna bicaranya juga tidak pernah melemah. Dalam ketertatih-tatihan, dia masih bersuara dan bersikap tegas. Mami yang banyak mengarungi alun gelombang naik-turun hidup ini tahu betul cara memandang isi dunia. Dia tertawa untuk hal-hal yang menyenangkan hati dan menangis untuk yang membuat jiwanya terluka. That’s her life!

Menurutku, Mami adalah lidah kita semua. Lidah yang ada di rongga mulut kita, yang tak pernah kita rasakan kehadiran dan kegunaannya. Kita baru menyadari makna dan guna lidah itu justru ketika kita tidak lagi memiliki lidah. Ketika Mami masih ada, kita sering lupa dan melupakan sehingga dia nyaris terlupakan. Namun setelah dia tiada, kita baru menyadari betapa penting arti dirinya bagi kita.

Kita lantas terpana menatap Mami ketika dia sudah berbalut kafan putih. Sesiap-siapnya batin kita menerima datangnya kematian, selalu saja kita tidak siap dan tetap terperanjat mendengar kepulangannya. Kita menahan isak di dada yang bergelora. Kita mencium pipi, kening dan ujung kakinya ketika dia disemayamkan di rumah duka Jl. Tanjung Raya, Blok 06 No. 1, Taman Cimanggu, Bogor.

Semua berduka. Begitu juga anggota keluarga kami. Kakak saya Rita Anggreiny Moenzir & Christian Dermawan (Alm.) dengan anak-anaknya Ryan Dermawan, Jackie Dwitiya, Michelle Trinayana; Saya & Ninien Sukmini beserta anak-anak kami Rinintha Pradiza, Bima Andwiza, Bramadya Andriza; Adik saya Izwan Indrajaya Moenzir  & Tellyani Purwitasari bersama anak-anaknya Abdullah Mazanni dan Ahmad Dwiapreiza, pastilah larut dalam duka yang tak mudah lekang.

Maka, dalam mewakili keluarga Janson Moenzir bin Sjamsuddin (Alm.) & Almarhumah Hj. Zahida Lubis binti Madong Lubis, dengan wajah tunduk kami mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan yang kiranya pernah dilakukan ibunda kami, sengaja atau tidak sengaja, besar atau kecil, seraya berharap kiriman doa tulus untuk mengantar Almarhumah ke sisi Allah.

[89:27] Hai jiwa yang tenang
[89:28] Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
[89:29] Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
[89:30] Masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al Fajr)

Ya Allah…., ampunilah dosa Ibunda kami, limpahkan rahmat kepadanya. Hapuskanlah kesalahannya, maafkanlah segala kekhilafannya.

IzHarry Agusjaya Moenzir & Keluarga
Bogor, 8 April 2011

Pengantar untuk Buku Surat Yaasin dan Bimbingan Tahlil - Peringatan Hari ke Tujuh