________________________________________________________________________________
Untuk ayah tercinta
aku ingin bernyanyi walau airmata di pipiku
Ayah, dengarkanlah
aku ingin bertemu walau hanya dalam mimpi
Rinto Harahap - Ayah (1973)
aku ingin bernyanyi walau airmata di pipiku
Ayah, dengarkanlah
aku ingin bertemu walau hanya dalam mimpi
Rinto Harahap - Ayah (1973)
________________________________________________________________________________
Preluda : Dan Hari-haripun Berjalan
Kutatap senja. Langit abu-abu berbercak kotor. Jakarta mulai memasang lampu. Musim hujan hadir lagi, membasahi segala, menciptakan genangan yang membanjiri kawasan rendah. Siklus alam tak pernah bergeser, setia dan masih seperti dulu.
Kubiarkan mata pikiranku menggelincir bersama titik hujan yang berjatuhan dari ujung dedaun pisang. Tetesannya jatuh ke atas air di kolam, menimbulkan bulatan riak yang saling bersinggungan, semakin kecil hingga ke tepi dan semakin hilang.
Kutatap senja. Langit abu-abu berbercak kotor. Jakarta mulai memasang lampu. Musim hujan hadir lagi, membasahi segala, menciptakan genangan yang membanjiri kawasan rendah. Siklus alam tak pernah bergeser, setia dan masih seperti dulu.
Kubiarkan mata pikiranku menggelincir bersama titik hujan yang berjatuhan dari ujung dedaun pisang. Tetesannya jatuh ke atas air di kolam, menimbulkan bulatan riak yang saling bersinggungan, semakin kecil hingga ke tepi dan semakin hilang.
Sungguh bernilai hidup ini. Urat nadi dan pori-poriku menyadari benar, keindahan hidup ini terbentuk karena tidak ada yang tidak berarti. Semua punya makna. Memiliki nilai. Dan akan semakin indahlah itu, jika kubiarkan saja detak-detak peristiwa masuk menghampiri, menjadi bagian dari hidup, menjadi buah pertimbangan dan pokok pemikiran.
Inilah saat ragaku harus duduk dengan kesendiriannya, pulang ke hati kecil dengan rasa, menoleh ke jalan panjang yang kutinggalkan di belakang, merasakan ujud dan peristiwa yang telah kupagut, dan yang juga terpaksa kulepaskan. Aku musti menyelaminya.
Sesungguhnya jagat ini diletakkan dalam poros yang sangat berimbang, tidak berlebih dan tidak berkurang. Seberkas kebahagiaan harus diimbali dengan hilangnya seserpih kesenangan. Something lost, something gain. Yang membahagiakan dan yang mengecewakan, sama-sama pantas berdiam di singgasana hati.
yang Jalan panjang yang berdebu. Hatiku merangkakinya, pelan dan perlahan, sejauh daya ingat bisa merekam. Layak diulangtayang dengan gerak lambat, terlihat lagi hari-hari saat badai memporakporanda, membuat lebutsegalaada. film yang
Kucium duka, kukecup reruntuhannya. Aku yakin, akhirnya mawar akan merekah kembali. Dan kupeluk suka. Maka hari-haripun merambat, perlahan…………
(bersambung ke Debur Ombak Tapian Nauli : 1. Menjamah Tanah Kelahiran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar