Rabu, Mei 14, 2008

gonjing@gonjangganjing.media


On the whole I would not say that our Press is obscene.

I would say that it trembles on the brink of obscenity.
-
Francis Pakenham, Lord of Longford (1905 - 2001)

Pelan-pelan, rupanya kegerahan itu menjalar. Di permukaan, pada gerak laku dan tindak tanduk santun dan beradab, keadaan terkesan ajek. Business as ussual. Tak ada yang perlu dirisaukan, dipersoalkan, apalagi didebatkan. Tapi, seperti bara api yang membakar dari dalam, pelan-pelan sekam berubah warna jadi hitam. Hangus. Dan mulailah gerah menghinggapi. Mata perih menyaksikan kepincangan. Hati mengkal melihat kesewenangan. Leher panas mendeteksi hal yang tidak on track. Dan katupan bibir akhirnya tak bisa menyimpan uap yang tersimpan di rongga mulut.

“Kita harus bicara!” ujar orang-orang yang terkena dampak langsung dari kebijakan manajemen. Pihak lain cuma geleng-geleng kepala sebagai tanda tak habis pikir. Mereka sebenarnya tak mau usil dengan urusan lain, apatah pula mau ribut-ribut. But their eyes still see, their ear still listen. Apalagi terhadap hal yang menyangkut dunia pers. Maafkan mereka, karena sebenarnya bukan protes yang jadi tujuan, kecuali karena adanya desakan takdir yang menjadikan mereka pintar sehingga tak pantas memejam mata dan menulikan telinga.

Apa soal? Semata-mata mungkin berasal dari sebuah pagi yang terasa tidak lagi seperti ribuan pagi sebelumnya. Matahari memang masih terbit dari punggung bukit di arah Timur, namun nuansa sudah beda. Tak terdengar lagi suara penyiar kesayangan dari radio FM pilihan. Hilang sudah dialog bermutu antar pakar jempolan yang membincangkan current issues. Dan celakanya, koran pagi pun terlambat datang. Sebuah suratkabar baru mendahului, datang ke meja teras dengan stempel besar: Nomor Promosi. Komposisi itu sama sekali tidak sinkron dengan seruputan kopi dan kepulan asap rokok.

Memang, hari-hari belakangan ini, kenikmatan mendengar beberapa radio FM agak mencungkil gendang telinga. Mana kenakalan canda Bang Ifeb ketika mengantarkan komposisi classic rock? Di mana perbincangan Sabtu yang cerdas dan dialog Senin yang tangkas? Ke mana koran yang sudah selama 40 tahun terus menerus memompakan pengetahuan? Kok tiba-tiba ada koran lain yang datang dengan kedangkalan analisa? Bahkan presenter TV yang selalu tampil pas kini sudah berganti komat-kamit penyiar kenes. Bah!

Media sedang gonjing. Beberapa stasiun radio sudah berganti pemilik. Keseimbangan yang selama ini berjalan harmonis, terusik. Koran baru muncul layak mengumumkan perang kepada keseimbangan eksistensi dunia pers. Apalagi -konon- pemunculan itu dibarengi dengan ikrar akan memporakporandakan semua media yang saat ini eksis. Kekhawatiran menyeruak. Serombongan loper koran datang melakukan curhat, menyatakan bingung berjualan. Ada iming-iming, ada intimidasi, ada threat. Jika mereka menjual koran B, maka mereka akan kehilangan hak jual koran A. Tapi itu sah saja. Melakukan proteksi pasar untuk produksi adalah keharusan. Apalagi jika pesaing baru tampil arogan dengan niat yang pantas diragukan. Apakah media itu akan benar-benar dijalankan dengan jurnalisme yang profesional, atau hanya mau dijadikan alat untuk berpolitik? Hal ini mencemaskan dan perlu diteliti. Dekat-dekat 2009 nanti, saat Pemilu akan berulang, peran media akan sangat besar. Maka pihak yang memiliki jaringan media luas dengan cakupan radio, televisi dan cetak, akan ambil peluang untuk menawarkan jasa kepada calon pilihannya. Para kandidat capres dan cawapres pun akan sangat mungkin tergiur, karena sekali bersuara, gemanya akan berkumandang ke seluruh pelosok negeri. Sekali berpendapat, masyarakat luas akan langsung menelannya. Bukan tidak mungkin muncul bargaining di antaranya.

Kita khawatir. Lord Hanson pernah berwanti, always be nice to the media. Tapi perlu diingat, berbaik-baiklah hanya kepada media yang baik dengan jurnalisme profesional. Terhadap media oportunis yang diragukan kebaikannya, lebih baik menjaga jarak, agar tidak terkontaminasi. Apalagi jika media itu dilahirkan oleh tangan saudagar yang bukan orang pers murni, yang belum punya pengalaman, tidak pernah jadi wartawan, menulis tidak bisa, meski hanya sebuah lead. Jadi wartawan tidak mudah, bung! Mungkin saudagar bisa membeli kewartawanannya, tapi tidak roh-nya.

(Dimuat di Majalah B-Watch No. 5, Edisi Desember 2005)

Tidak ada komentar: