Jumat, Mei 02, 2008

Gesang : 2. Kepergian Putri Rembulan

Penulis : IzHarry Agusjaya Moenzir
Illustrasi Sampul : Syaukat Banjaransari
Diterbitkan oleh : Yayasan Penerbit Biografi Indonesia, Balai Pustaka dan Direktorat Jenderal Seni & Budaya, Departemen Pariwisata Seni & Budaya
Cetakan Pertama, September 1998
Dicetak oleh : PT Balai Pustaka
Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Ibuku bernama Sumidah. Dalam ingatan yang samar, aku melihatnya sebagai perempuan lembut pengasih. Sangat mengabdi keluarga. Tidak hanya kepada bapak semata, tetapi juga kepada kami lima saudara. Setiap pagi kami dikumpulkannya dekat perigi, dimandikan dengan gosokan kuat, agar segala daki hilang dari tubuh. Kulit coklatku menjadi semakin bercahaya.

Keempat saudara kandungku, mbakyu Sukarti, mbakyu Jumirah, mas Jawahir dan mas Yazid, juga terlihat sehat setelah acara rutin di pagi itu. Bagai ayam jago yang siap tanding, mereka tampak rapi dibalut batik buatan bapak.

Dalam pandangan mbakyu Sukarti, ibu ibarat puteri rembulan yang turun ke bumi untuk hadir di tengah keluarga. Dia tak memiliki amarah. Penuh senyum setiap bangun pagi, begitu seterusnya hingga naik peraduan di malam hari. Aku kira visi mbakyu benar adanya, walaupun aku tidak pasti, karena kesempatanku bersama ibu dalam kehidupan ini hanya lima tahun saja.

Ya, itulah lima tahun yang singkat, karena pada tahun 1922, ibu Sumidah dipanggil menghadap Khalik-nya. Aku nyaris menangis jika saja mbakyu Sukarti tidak membisikkan bahwa ibu telah berangkat lagi ke rembulan di atas sana. Dia akan bahagia, dan oleh karenanya tak perlu diiringi airmata. Aku mengangguk percaya, meski hatiku masih bertanya, mengapa orang baik cepat berlalu?

Mataku tergenang air. Bersama kepergian ibu, sepi kembali menggelantung di setiap ruang rumah kami yang lengang. Pabrik pembuatan batik di samping rumah memang masih terus bekerja, namun kini lebih banyak membersitkan duka. Puluhan pekerja yang bertugas di sana tak lagi bersenandung. Hanya terdengar suara sayup alat pengecap batik, ditingkahi pembicaraan penting-penting yang dilakukan dengan berbisik.

Mereka terkesan sangat tak ingin mengusik nestapa yang merundung hati bapak dalam kekuyuan yang tak berselera makan. Kumis kecilnya yang biasa tertata rapi, kini meranggas, liar terjuntai menusuk bibir. Ketegaran pria Bojolali yang bermata tajam layak Elang Bondol itu, kini kosong tanpa sinar. Bapak lebih banyak berkurung di ruang kerja, seakan tak habis menyesali diri.

Begitupun, perhatiannya kepada kami semakin tebal. Kini, meski dalam ketergesaan, dia mencoba mengikuti jadwal yang telah dipatrikan ibu, memandikan kami setiap pagi, sebelum melepas ke sekolah diantar oleh pembantu. Dan dengan setia dia akan menunggu waktu makan siang bersama, untuk kemudian mengantarkan pergi mengaji.

Jika ada di antara kami yang jatuh sakit, terutama aku yang menjadi pelanggan, bapak akan selalu menemani sembari menyenandungkan uro-uro. Kelembutan dan kepedihan hatinya tersalur lewat suara yang bagus, langsung menembus ke relung hati setiap orang. Apalagi saat melantunkan lagu-lagu Arab yang dilafaskan dalam bahasa Jawa. Manis sungguh di telinga.

Seandainya bapak bukan saudagar batik seperti takdir yang menyertainya, dan memilih jalan hidup sebagai seorang penyanyi, pastilah namanya akan tercatat sebagai biduan nomor wahid. Alunan naik-turun suaranya nan merdu dapat menyejukkan jiwa, merupakan salah satu obat penawar yang membuat rasa sakitku berkurang.

Bisa jadi hal itulah yang mempengaruhi bawah sadarku, sehingga kelak di kemudian hari aku lebih memilih hidup sebagai seorang penyanyi. Walau aku tahu suaraku tidak semerdu bapak, namun kuingin jalan hidupku penuh irama.

(bersambung ke: 3. Sumirah, Sang Ibu Tiri)

Tidak ada komentar: