Senin, April 28, 2008

Ruh Gemuruh

Detak jantung masih gemuruh,
namun apakah itu untuk puisi?

Di tengah rutinitas hidup
dan tanggungjawab keluarga,

kucoba untuk tak lagi menemu wajahmu.
Tidak pernah berkelebat bayangmu, hei tuan puteri
yang pernah menggugah emosi dan kenakalanku!

: “...... Di mana kau sekarang?”

Cinta memang tak pantas dibicarakan lagi.
Tapi aku sering tak mampu
melekangkan dari hidupku.


Di Seattle yang berkabut,
aku masih dibalut rasa yang membuatku terpental.
Dan keriuhan Pike's Market di sepanjang garis pantai
membangunkan ruh-ku yang sesal
karena telah menghunjamkan pisau
ke ulu hati sendiri.


: “......Apakah aku bahagia?”

Detak jantung memang masih gemuruh,
namun bukan untuk puisi ini.
Apa hanya kerinduan akan Indonesia?
Tetapi, mengapa wajahmu datang
dari kabut yang ingin kukuakkan?


: “.......................Apakah kau bahagia?”

Yang,
kita yang ini hari memang bukan kita yang dulu.
Namun kita yang dulu,
bisa menjadi kita yang ini hari.

Seattle, 23 September 1991

Rinto Harahap : Untuk Ayah Tercinta

________________________________________________________________________________
Untuk ayah tercinta
aku ingin bernyanyi walau airmata di pipiku

Ayah, dengarkanlah
aku ingin bertemu walau hanya dalam mimpi

Rinto Harahap - Ayah (1973)

________________________________________________________________________________

Preluda : Dan Hari-haripun Berjalan

Kutatap senja. Langit abu-abu berbercak kotor. Jakarta mulai memasang lampu. Musim hujan hadir lagi, membasahi segala, menciptakan genangan yang membanjiri kawasan rendah. Siklus alam tak pernah bergeser, setia dan masih seperti dulu.

Kubiarkan mata pikiranku menggelincir bersama titik hujan yang berjatuhan dari ujung dedaun pisang. Tetesannya jatuh ke atas air di kolam, menimbulkan bulatan riak yang saling bersinggungan, semakin kecil hingga ke tepi dan semakin hilang.

Sungguh bernilai hidup ini. Urat nadi dan pori-poriku menyadari benar, keindahan hidup ini terbentuk karena tidak ada yang tidak berarti. Semua punya makna. Memiliki nilai. Dan akan semakin indahlah itu, jika kubiarkan saja detak-detak peristiwa masuk menghampiri, menjadi bagian dari hidup, menjadi buah pertimbangan dan pokok pemikiran.

Inilah saat ragaku harus duduk dengan kesendiriannya, pulang ke hati kecil dengan rasa, menoleh ke jalan panjang yang kutinggalkan di belakang, merasakan ujud dan peristiwa yang telah kupagut, dan yang juga terpaksa kulepaskan. Aku musti menyelaminya.

Sesungguhnya jagat ini diletakkan dalam poros yang sangat berimbang, tidak berlebih dan tidak berkurang. Seberkas kebahagiaan harus diimbali dengan hilangnya seserpih kesenangan. Something lost, something gain. Yang membahagiakan dan yang mengecewakan, sama-sama pantas berdiam di singgasana hati.

yang Jalan panjang yang berdebu. Hatiku merangkakinya, pelan dan perlahan, sejauh daya ingat bisa merekam. Layak diulangtayang dengan gerak lambat, terlihat lagi hari-hari saat badai memporakporanda, membuat lebutsegalaada.
film yang

Kucium duka, kukecup reruntuhannya. Aku yakin, akhirnya mawar akan merekah kembali. Dan kupeluk suka. Maka hari-haripun merambat, perlahan…………

(bersambung ke Debur Ombak Tapian Nauli : 1. Menjamah Tanah Kelahiran)

GONJING (Unauthorized Biography of Soeharto)

________________________________________________________________________________
"Kembali kepada warga negara biasa, itu tentunya juga lebih terhormat,
tidak kurang terhormat daripada Presiden,
asalkan bisa memberikan pengabdian kepada negara dan bangsa.
Jadi diharapkan,
jangan dinilai saya sebagai penghalang daripada semuanya.
Tidak sama sekali!"- Soeharto
________________________________________________________________________________
1. Sanggupkah Habibie?

Kuning emas. Itulah warna pagi di Kamis 22 Mei tahun 1998 hari ini. Matahari yang bertengger di pangkal Timur menyemburatkan cahaya pada langit biru muda, bersih tanpa sepotong awan. Saya amati keleluasaan itu dari halaman belakang, saat menggelitik si beo yang setia dengan potongan jagung.

Hari ini saya punya waktu yang panjang untuk bercengkerama dengannya. Tidak perlu bergesa-gesa, seperti beratus dan beribu hari yang telah lalu. Dengan masih berkain sarung, saya nikmati pagi yang mewah ini. Sungguh sudah sangat lama hal itu luput dari diri. Sepanjang ingatan, pagi mewah seperti ini terakhir kali saya nikmati di Kemusuk, sewaktu masih kecil dulu.


Di dusun kecil tempat kelahiran itu, suasana pagi selalu menjadi hiburan alami. Garis-garis sinar memenggal-menggal gugusan awan sehingga terlihat bagai permainan cahaya, menjadi lukisan yang menakjubkan mata. Ada kedamaian di sana, milik setiap warga desa yang paling hakiki.


Pagi ini, kedamaian itu kembali menyentuh sanubari. Terimakasih Tuhan, telah Kau bebaskan diri dari sebuah rutinitas. Terimakasih atas matahari itu, langit bersih dan kelegaan ini. Biarlah saya nikmati hari pertama menjadi seorang warga biasa, tidak lagi sebagai Presiden.


Setelah 32 tahun memimpin bangsa, dalam segala bentuk suka dan duka, saya akhirnya punya waktu untuk diri sendiri. Di hari tua ini, di ujung perjalanan usia, akan saya rasakan kembali kenikmatan memiliki diri sendiri, sesuatu dari masa lalu yang pernah hilang, meski samar dan berbaur lengang.


Akhir-akhir ini, kelengangan terasa sangat dominan menguasai lingkup seputar saya. Kemarin di Istana Negara, hal yang sama juga terjadi, ketika atas keyakinan yang datang menjelma, beban tugas memimpin bangsa saya turunkan dari pundak. Saya menyatakan berhenti dari jabatan Presiden. Cukuplah semuanya. Saya kapok. Sudah saya coba berikhtiar dengan segala upaya, namun kelihatannya tidak ada lagi orang-orang yang benar-benar bisa teguh berdiri di belakang saya. Bahkan Akbar Tandjung dan belasan teman-temannya yang masih berstatus Menteri secara tertulis menolak untuk saya dudukkan di kabinet baru. Apa ini?


Saya tiba-tiba merasa adanya sebuah kekuatan dahsyat yang sedang menghantam saya. Para mahasiswa masih menduduki gedung MPR, semakin hari semakin membesar dengan penggabungan unsur kekuatan lain. Pria bawel Amin Rais yang pernah saya bantu juga ada di sana. Emil Salim yang selama ini pendiam secara mendadak bersuara lantang. Harmoko yang dulu selalu menunduk-nunduk, kini mulai menyengirkan gigi.


Namun mereka tidak saya masukkan dalam pertimbangan. Satu-satunya alasan saya berhenti hanyalah rakyat. Saya ingin anak bangsa di negara yang berdaulat ini dapat merasa tenteram tanpa dibayangi rasa takut.


Jika saya memang dianggap sebagai penghalang, saya mundur. Dan secara konstitusional, jabatan saya serahkan kepada wakil presiden. Memang ada rasa ringan saat menyerahkan tampuk itu kepada Habibie, tapi hanya sebintik kecil. Hati saya masygul. Kuatir. Sanggupkah dia?


Sendi-sendi tubuh saya terasa ngilu jika memikirkan itu. Bisakah Habibie memperbaiki kecentangperenangan yang sudah terjadi, yang penuh kobar api dan jerit tangis itu? Apakah ini merupakan jalan penyelesaian daripada masalah? Adakah jaminan bahwa kerusuhan seperti 14 Mei tidak akan timbul lagi? Siapa tahu, nanti Habibie juga harus mundur lagi.


Kalau begitu terus menerus, dan hal itu menjadi kejadian yang berulang dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, dengan sendirinya negara dan bangsa kita akan kacau, seolah-olah tidak mempunyai landasan dalam menjamin kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Sedangkan kita memiliki dasar Pancasila dan UUD 45. Berarti memiliki konstitusi. Kalau konstitusi itu tidak dipegang teguh oleh setiap warganegara, tentu daripada negara dan bangsa akhirnya akan menjadi tidak akan langgeng. Ganti-berganti akan membawa akibat ada yang setuju atau tidak, yang berarti akan membawa pertentangan lebih tajam, mungkin sampai kepada pertumpahan darah, mungkin juga sampai pada perang saudara dan lain sebagainya.


Kalau ini terjadi, siapa yang rugi? Tentu juga daripada bangsa kita sendiri. Semua akhirnya menjadi sebuah ketidakpastian yang mutlak. Seperti saya, mereka juga sadar, pada setiap saat, kapan saja dan di mana saja, bisa terjadi bentrokan keras yang menelan korban.


Ah, alangkah merah darah mereka. Helaan napas yang panjang membuat rongga hidung saya terasa panas. Meski saya tahu bentrokan itu tidak akan sampai ke mari, tapi hati saya telah cabik-cabik. Ya Allah, berilah keampunan pada keangkaraan kami. Berikan arah kepada rakyat negeri ini, tunjukkan cara untuk berbicara, menyelesaikan segala masalah-masalah bangsa dengan komunikasi yang baik.


Seandainya saja setiap orang kini mendongakkan kepala ke atas dan melihat langit emas yang cerah ini, mungkin tiada lagi kesumat dan hujat yang dilontarkan. Semua akan memiliki kedamaian, sesuatu yang datang dari-Mu Tuhan, untuk dinikmati.

(1999 - Bersambung ke Bagian 2. Tinggal Gelanggang Colong Melayu)

Iqbal Mustafa : Garis Lurus dengan Idiosyncrasy

Dia tidur dalam lelap yang panjang. Kata orang, tidur mendengkur tanpa mimpi adalah tidur yang sempurna. Namun Iqbal Mustafa tidak mendengkur dalam tidurnya. Dia terlanjur hilang dalam tidur yang kekal.

Iqbal Mustafa, adalah teman kami yang komplit. He almost had anything in this world. Sejak di SMA dulu, dia adalah pemuda yang menggemaskan. Adalah sikap pemalunya yang membuat demikian. Wajahnya yang keren -kata orang mirip bintang film Perancis Alain Delon- menambah rasa simpati, membuat teman-teman putri sering cekikikan menggodanya. Tetapi dia tak begitu menggubris hal semacam itu. Peraturan yang tegas dari keluarga membuat Iqbal rajin belajar dan selalu meraih ranking tinggi di sekolah. Hidupnya terbentang antara belajar dan bermusik, karena sebagai kegiatan luar sekolah, dia diharuskan orangtuanya belajar bermain piano.

Sebuah garis kehidupan yang lurus memang telah disiapkan untuk Iqbal muda. Warna kehidupan hitam-putih secara tegas telah digariskan buatnya. Dengan datar dan sabar, dia jalani semua. Meski akhirnya dia menikah -dengan Linda- pada usia muda, namun kepatuhan kepada kodrat membuat dia menjalani hidup nyaris tanpa cacat. Sembari berkuliah di Fakultas Kedokteran USU, Iqbal mengisi kocek keluarga dengan bermain piano di pub di beberapa hotel yang ada di Medan.

Saya ingat suatu malam berpuluh tahun silam, kami berjanji bertemu di Hotel Danau Toba, Medan. “Datanglah, kau lihatlah pulak aku main di sana,” katanya mengajak saya ke Jungle Bar yang berada di sayap kanan hotel bintang lima itu. Iqbal tau saya sering menulis kritik musik dan ingin agar saya bisa menrunkan tulisan tentang dirinya di tengah-tengah atmosfir bar yang dikunjungi banyak tamu asing itu. Di sanalah kami pernah berbincang dalam pengaruh alkohol dengan tokoh musik dunia, Maurice Gibb dari the Bee Gees itu.

Sayapun menulis kiprah musiknya di koran Waspada. Setelah itu kami bertambah akrab, sering duduk menikmati minuman dan berbincang tentang apa saja. Di Batik Cafe, kami duduk dan bicara tentang banyak topik, mulai dari faham eksistensialisme yang dicetuskan Soren Aabye Kierkegaard, filsuf Denmark yang menyoroti keberadaan individu, hingga ke buku Thus Spake Zarathustra tulisan Friedrich Nietzsche. Kami agung-agungkan kalimat “Behold, I teach you the Superman. The Superman is the meaning of the earth. Let your will say: The Superman shall be the meaning of the earth!”

Kami memerlukan itu sebagai penguat diri. Kehidupan remaja yang gonjang-ganjing saat itu membuat kami harus melihat nilai-nilai baru, untuk berdiri di samping nilai-nilai spiritual yang baku. Dan Iqbal adalah teman bicara yang lawas. Dia bisa berbincang tentang apa saja di saat mana saja. Dia bahkan bisa ikut dalam suasana yang entah bagaimana. Dan ketika akhirnya dia ikut dalam kelompok musik The Great Session bersama Teruna Jasa Said, Iqbal menjadi faktor yang memperkuat pengaruh band itu di blantika musik tanah air.

Di panggung-panggung musik, Iqbal adalah sosok yang tegar. Permainan keyboard-nya membuat orang terkagum. Firth of Fifth, lagu kelompok Genesis yang rumit itu dilahapnya seperti musik pop biasa. Tangan menari di atas toest, menghingarbingarkan penampilan Great Session yang penuh fenomena.

Those were the days! Saat kehidupan tidak membutuhkan banyak renungan. Begitupun kemanisan masa muda harus ditinggalkan, dan Iqbal harus menjalani profesinya sebagai seorang dokter. Dan dia menjadi dokter yang tangguh. Ini dia buktikan hingga akhir hayat.

Menurut penuturan seorang teman, beberapa hari sebelum menghembuskan nafas terakhir, Iqbal berada di Makassar untuk menghadiri simposium kedokteran. Di sana, Iqbal yang sedang memimpin persidangan, jatuh menggelosoh di kursi. Dia dipapah para sejawat, langsung diberi perawatan dan diistirahatkan di hotel. Keesokan hari, merasa dirinya segar, Iqbal kembali memimpin sidang. Tidak ada sesuatu yang terjadi, kecuali kondisi tubuh yang menurun.

Konon Iqbal sempat bertelepon ke istrinya di Jakarta, untuk mendaftarkan namanya di RS Harapan Kita, tempat dia berpraktek selama ini. Permintaan dipenuhi, namun begitu landing di Soekarno-Hatta, Iqbal tidak ke Harapan Kita, dan langsung pulang ke rumahnya di jalan Cimahi.

Keletihan membayang di wajahnya yang bersih. Setelah beres-beres, Iqbal beristirahat di kamar. Rebahan sebentar untuk mengembalikan kesegaran. Tidak ada sebarang tanda. Pada jam makan malam, anaknya berniat membangunkan, namun karena sang papa terlihat pulas, niat itu urung. Namun beberapa waktu kemudian, anaknya berniat membangunkan lagi. Ada kecurigaan, mengapa posisi tidur Iqbal tak berubah, mengapa tetap seperti beberapa jam lalu?

Kehebohan pun terjadi. Iqbal diusung ke rumah sakit MMC, karena diduga hanya pingsan. Namun jawaban dari dokter di ICU MMC menghentakkan kesadaran: Dokter Iqbal sudah tiada!

Maka mendunglah hari-hari kami. Kabar berkibar, berita tentang kepulangan Iqbal menyeruak ke seluruh kota tempat teman-temannya berdomisili. Saya yang sedang berada di Batam segera mengirim SMS ke Una yang sedang berada di Singapore, setelah Bambang Sen dan Alfred Mantik menges-em-es saya.

Dekat subuh, dalam tidur saya bermimpi, bertemu Iqbal di tukang pangkas sedang berbalut kain putih. Saya pikir dia sudah meninggal, tapi dia bangkit dan berkata dengan senyum manisnya, “Siapa bilang aku mati. Bohong itu.”

Ya, saya percaya bisikan Iqbal dalam mimpiku. Iqbal tak pernah mati bagi diri kami, teman-teman yang pernah dikenalnya. Dia sungguh sebuah pribadi yang komplit, sekaligus kompleks, penuh dengan tanda tanya dan misteri. Kehidupan Iqbal di akhir usianya tidak banyak diketahui orang. Pertemuan terakhir saya adalah pada saat acara kumpul-kumpul anak Medan di Hotel Mulia Jakarta, dua tahun lalu.

Iqbal masih tetap ada. Di hati kami dia bagai muara, tempat pertemuan dan pertemanan beragam tabiat dan kelakuan. Bagaikan jemarinya ketika memainkan piano melantunkan Firth of Fifth, begitulah dia menggambarkan ‘muara’ lagu itu. Masih terus terbayang senyum manisnya, santun tingkahnya dan idiosyncrasies-nya, yaitu cara bertindak, cara berpikir dan perasaannya yang kadang terasa ganjil bagi lingkungan sekitarnya. Karena memang, setelah berada di puncak karir, Iqbal banyak menyepi, banyak sendiri dan menjauh dari kerumunan, tidak terlihat lagi wira-wiri di tengah dunia gemerlap kota Jakarta.

So long, pal! Banyak yang kau tinggalkan buat kami, sehingga ingatan akanmu tak akan lekas pergi. You’re such a superman, and you will still live in this heart of ours.

Dr. Iqbal Mustafa was born in 1950 in Amsterdam, Holland.
He died abruptly and unexpectedly at his home in Jakarta, Indonesia, on July 18, 2004

Jumat, April 25, 2008

TENGKU NURDIN : Bara Juang Nyala di Dada

Penulis : IzHarry Agusjaya Moenzir
Tata Letak : Jaumat Dulhajah
Pewawancara : Drs. Nurhalim Tanjung
Transkripsi : Ninien S. Agusjaya

Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Diterbitkan oleh : Yayasan Penerbit Biografi Indonesia

Cetakan Pertama, Oktober 1998
Dicetak oleh : Oriza Sativa Communication

________________________________________________________________________________

Brave, brave were the soldiers
who lived through the fights;
But the bravest press’d to the front and fell,
unnamed,
unknown.


- The Bravest Soldiers, Walt Whitman
________________________________________________________________________________

Simpang Kampung Melati, Perbaungan

1. Kesultanan Serdang nan Megah



Oi, alangkah megah!

Hingga kini saya masih menyimpan gambaran itu dalam pikiran, potret tentang istana kayu bertingkat empat yang berdiri anggun di tengah-tengah persawahan hijau. Begitu kukuhnya, sehingga jika dipandang berlama-lama, akan terasa istana itu bersatu dengan bumi, menjadi batang raksasa yang tumbuh dan menyembul dari permukaan tanah.

Jika angin menerpa, batang-batang padi yang bersebar di sekelilingnya akan tersibak hingga ke pucuk-pucuk. Bergelora riuh, layak sebuah pesta keriaan yang tak kunjung berakhir. Tanaman itu menari dalam ritme gelombang gemulai, mengelu-elukan kecemerlangan istana.

Dari jauh sayup terdengar gemericik air meliuk melanggar tebing dan bebatuan sungai Perbaungan, memberi musik pengiring alami sebagai ucap terimakasih kepada Pencipta atas kesuburan yang dianugerahkan.

Meski keseluruhan istana terbuat dari batang-batangan kayu dan papan, namun keindahannya tak kalah dengan istana pualam berubin marmar. Keanggunannya mencuat jelas dengan sedikit kesan angker. Sebuah istana memang seharusnya bercitra demikian, agar pantulan jiwa dan status penghuninya menjadi kentara. Lagipula, istana tetaplah istana, meski di mana letak dan bentuknya.

Berdiam di lingkungan istana pastilah sangat berbeda dengan tinggal di rumah biasa. Kemegahannya lebih berada dalam hati, karena hal itu cenderung bersangkut-paut dengan perasaan.

Perasaan megah itu masih saya rasakan hingga sekarang. Kenangannya apa lagi. Entah untung atau rugi, tetapi saya selalu mengingatnya sebagai sesuatu yang indah, karena kehidupan di lingkungan istana Kesultanan Serdang itu sangat dekat dengan kalbu. Meski titik koordinat persisnya kini sudah tak bisa lagi dipastikan oleh mata awam, namun agar lebih mudah, dapatlah saya gambarkan bahwa istana Serdang terletak di sekitar kota Perbaungan sekarang, sekitar 400 meter dari simpang Kampung Melati, di mana titi Sei Perbaungan berada.

Menurut hikayat lama yang pernah dituturkan oleh orangtua-orangtua jaman dulu, Kesultanan Serdang didirikan oleh Tuanku Umar. Beliau adalah putra Raja Deli yang tersingkir akibat bertengkar hebat dengan kakandanya Panglima Pasutan. Pokok pertikaian adalah tahta kerajaan Deli.

Meski tersisih, namun rakyat dari beberapa kawasan tetap mengakui keberadaannya. Kepala Urung Sunggal merga Surbakti Gajah, Kepala Urung Senembah merga Barus dan Kepala Urung Tanjong Morawa merga Saragih Dasalak masih mengakuinya sebagai keturunan berdarah biru, sehingga mereka mendaulat Tuanku Umar menjadi Raja Serdang.

Tentu saja hal itu menyulut amarah Raja Deli. Peperangan tidak hanya tak terelakkan, tetapi juga berlangsung terus-menerus tanpa henti. Bahkan ketika Belanda memasuki Sumatera untuk menguasai dan menjajah, pertikaian masih terus berlanjut.

Namun Kesultanan Serdang tetap survive. Perang ternyata tidak membuat mereka hancur, malah menempa mereka menjadi kuat. Bahkan pada masa pemerintahan Sultan Thafsinar Basyarsyah yang merupakan cucu Tuanku Umar, Serdang menjadi sebuah kerajaan yang sangat makmur. Kekuatannya berlipat ganda, karena hubungan dengan kerajaan sekitar, terutama dengan raja-raja Batak dijalin sangat mesra.

Dalam suasana sentosa demikian, hasil bumi semakin berlimpah-ruah. Hal ini memancing kedatangan pedagang-pedagang dari Tanah Alas yang membeli hasil bumi Serdang untuk dibawa ke Penang melalui sungai Serdang.

Kemakmuran negeri terus berkesinambungan saat Sultan Thafsinar digantikan oleh Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah. Hubungan antar kerajaan terus ditingkatkan hingga ke Tanah Rencong. Bahu membahu, Serdang dan Aceh menggalang kekuatan bersama. Bahkan di tahun 1854 Sultan Basyaruddin memperoleh gelar penghormatan dari raja Aceh, dinobatkan sebagai Wazir Sultan Aceh.

Penggalangan kekuatan itu antara lain merupakan upaya untuk membendung pengaruh kolonialisme Barat, yaitu Belanda, Inggeris dan Perancis yang berniat menancapkan kuku di Sumatera.

Demikian hebat perlawanan yang digerakkan, bahkan hingga di akhir hayatnya, Sultan Basyaruddin tak pernah menyerah kepada Belanda. Sikap itu diteladani pula oleh putra mahkota yang menggantikannya, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Dialah Sultan yang saya kenal, karena hubungan kami terjalin sebagai cucu dan Atok, meski tidak secara langsung. Maksud saya, Atok saya yang sebenarnya adalah adik kandung beliau, Tengku Muhammad Idris yang diberi jabatan sebagai Wakil Sultan.

Atok kandung saya, Tengku Muhammad Idris memiliki empat anak, yaitu Tengku Muhamad Anif, Tengku Nazrun (ayah saya) dan Tengku Nizam. Ada pula seorang putri bungsu, namun usianya tak dipanjangkan oleh Yang Maha Kuasa, meninggal dunia sewaktu masih kecil.

(Bersambung ke bagian 2: Berbaur dengan Masyarakat Awam)

Rabu, April 23, 2008

Desperate Households

"My country, right or wrong" is a thing that no patriot would think of saying,
except in a desperate case.
It is like saying "My mother, drunk or sober."
- G. K. Chesterton (1874 - 1936)

Kita memang tidak tinggal di Wisteria Lane. Karena itu, hidup kita tidak seputus-asa mereka, Bree, Susan, Gabrielle dan Lynette. Dan tidak perlu bunuh diri seperti Mary Alice. Namun kita juga tidak seberuntung mereka, yang meski diberi predikat Desperate Housewives, tetap saja tidak pernah khawatir akan pengadaan hidangan di meja makan.

Kita akan termangu seusai memelototi foto seorang ibu tua duduk menunggu jerangan di belakang rumah gedeknya. Api mengepul dari pembakaran kayu. Tidak Elpiji, tidak minyak tanah yang memasakkan makanan di panci usang. Bahan bakar itu bukan alatnya, meski satu kali tatkala bulan purnama, pernah terbersit keinginan untuk memiliki kompor minyak Butterfly, atau bahkan kompor gas Rinnai.

Tapi dia buru-buru menepisnya. Merasa bersalah. Mungkin marah, dan menyesal punya pikiran seperti itu. Ada juga rasa dosa karena sudah melanggar janji agar tidak bermimpi tentang modern conveniences, hal-hal yang bisa membuat hidup lebih mudah. Karena di hari-hari ini, semua itu bagai arok di buruang tabang tinggi, punai di tangan dilapehkan. Apalagi setelah suaminya yang kuli bangunan meninggal. Punya punai di tangan saja sudah susah, kenapa musti berharap lain?


Perempuan berusia 70 tahun ini selalu duduk dengan kedua tangan tengadah. Mula-mula hal itu dilakukan dengan sengaja, karena dia ingin menerima sesuatu pemberian, dari manusia, dari pemerintah atau dari Tuhan. Seperak dua perak akan sangat berguna untuk menyambung hidup, dalam arti yang harfiah. Namun entah mengapa, bertahun-tahun ini, kedua telapak itu refleks menengadah, selalu terlentang menghadap langit.

Toh pemberian tak kunjung datang. Bahkan Subsidi Langsung Tunai (SLT) pun tak jatuh menimpa garis telapaknya. Petugas dari Badan Pusat Statistik (BPS) selonong saja tanpa alasan. Mungkin garis tangan yang salah, tidak ada guratan di bukit keberuntungan. Atau karena postur tubuh gemuk, BPS melihatnya sebagai orang cukup makan. Bisa jadi juga, karena dia lupa tempat menyimpan KTP. Tapi apakah jika tanpa KTP, otomatis dirinya bukan lagi penduduk Indonesia, dan hilang hak sebagai warga negara? Di sela-sela minimnya pendidikan, dia tahu, KTP cuma soal administrasi. Keindonesiaannya tidak menjadi sahih hanya lantaran KTP. Rambut, daging dan seluruh indranya yakin bahwa dia pemilik tanah ini. Dia tidak perlu cerita tentang nenek moyangnya yang sudah ada di Jawa 1.8 juta tahun, hanya untuk diakui sebagai anak bangsa. Dia tidak perlu hapal Pancasila dan lagu Indonesia Raya untuk menjadi Indonesia. Umur sudah tua, masalah hidup sangat berat, dan hari-hari dipaksa sibuk dengan urusan perut.

Besar kemungkinan, satu-satu kesalahan adalah karena dia cuma perempuan miskin dengan tangan tengadah. Tinggal di bantaran Kali Caringin dan bukan di Wisteria Lane. Sehingga petugas BPS yang khawatir mengotori ujung pantalon tidak menghampirinya. Kesalahan bukan pada bunda yang mengandungnya, tetapi kepada garis tangan. Dia tahu, sudah ada presiden baru pilihan rakyat yang akan memberi perbaikan terhadap hidupnya. Lihatlah wajah diam dan tulus Pak SBY itu, sukar dipercaya dari wajah itu keluar keputusan yang menyengsarakan.

Karena itu tetaplah tabah. Bertahan. Dia tidak ngerti hitung-hitungan Pak Ical, tapi menerima dengan rela. Cuma ketika harga minyak tanah dan kebutuhan lain meroket tinggi, dan dia tak mampu beli lagi, kerelaannya terusik, berubah menjadi keterpaksaan. Hatinya menggerutu, tapi itupun cuma sebentar. Sebagai warga negara yang baik, dia harus selalu ikut. Cuma, dia merasa ada sesuatu yang menggelitik hati, dan nyaris tersenyum. Kok sekarang banyak orang berusaha mendapatkan predikat ‘miskin’, sama dengan ketika banyak orang berusaha mendapatkan predikat sarjana dengan ijazah dan perguruan palsu, ya?

“Pokoknya sekarang mah berat. Perang aja sekalian..,” seseorang berkata. Begitulah kalau perut tidak terisi, otak tidak bisa mikir dan perangai jadi mokal. Sang ibu tua tidak serta merta setuju, karena dia pernah merasakan perang ketika banyak orang-orang mati dengan luka berdarah. Di masa kini, kalaupun banyak orang-orang akan mati, selain bukan karena teroris, pastilah mati tanpa berdarah karena sakit atau perut kosong. Sangat beda kan? Dia juga ingat tahun-tahun sekitar awal 60-an, tatkala harus ikut antri untuk memperoleh beras catu, gula catu, sabun cuci catu dan keperluan rumah tangga catu lainnya. Toh semua kerabat masih bisa bernapas dan sehat-sehat saja. Di saat-saat krisis ekonomi beberapa tahun silam pun, dia juga masih bertahan. Demonstran datang dan pergi, presiden gonta-ganti, toh segenap handai tolan hidup. Memang di sinilah hebatnya penduduk negeri ini. Di goyang gempa, dilanda tsunami, diharubiru, dicekoki harga selangit -namakan apa saja- eh, tetap bisa bertahan. Hidup, lagi!

Mudah-mudahan cuma sedikit orang yang tidak menyadari bahwa hidup tidak hanya untuk kita di hari ini saja. Masih ada hidup orang lain, anak dan cucu kita, yang berhak menikmati Indonesia. Kita perlu pikirkan keluarga-keluarga yang ini hari terpaksa mengirit keras dengan mengurangi jatah gizi dan susu bagi anak-anaknya. Semua membubung, dengan atau tanpa subsidi 100 ribu rupiah sebulan, daya beli masyarakat sebenarnya sudah merosot jauh. Pikir sajalah, seratus ribu sebulan, bisa dibeliin apa seh?

Ini ancaman besar bagi masa depan bangsa. Menurut data, jumlah balita kurang gizi mencapai 23 juta jiwa. Jika tidak dicermati dan disikapi dari sekarang, menurut Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI, maka akan tercipta Generasi Otak Kosong. Penyikapan melalui SLT memang salah satu jalan keluar. Tapi yang gampang, bukan yang baik. Hendaknya hanya menjadi program darurat dalam tiga bulan. “Ini SLT harus sementara dan hanya sarana kedaruratan. Sesudah itu harus diselesaikan melalui penciptaan lapangan kerja. Orang miskin akan tetap miskin meski diberi baju baru dan jam tangan baru. Orang miskin akan lepas dari kemiskinan kalau diberi pekerjaan. Diberi kesempatan menyalurkan kemampuan produktif yang ada pada dirinya di dalam proses produksi,” kata Ekonom Sri Edi Swasono.

Saya jadi teringat ucapan Chesterton yang lain. Penulis dan penyair heretik Inggeris ini bilang: “Charity is the power of defending that which we know to be indefensible. Hope is the power of being cheerful in circumstances which we know to be desperate” Kita tidak pernah punya cita-cita untuk jadi orang miskin. Tak ada yang kepingin jadi duafa. Dulu, tidak ada ayah bunda yang berdoa agar anaknya suatu saat kelak akan memperoleh SLT. Terus menerus menengadah tangan dan meletakkan di posisi bawah, sangatlah tidak terpuji. Orang-orang akan menjauh. Di luar negeri, banyak orang malu mengaku dari Indonesia, negeri yang banyak berhutang. Harusnya tangan kita bisa memberi. Atau paling tidak mengacung-acung seperti Presiden saat sedang beramanat. Body languange sangat diperlukan, wajah sumringah tanpa kerut dibutuhkan, senyum perlu dilebarkan, agar masyarakat merasa bahwa kenaikan BBM ini adalah persoalan anteng. Agak beda dengan dulu, Andi Malarangeng sekarang paling piawai dalam soal begini, selalu berusaha melihat dari sudut cerah,
positive thinking even in negative situation.

Hoi tunggu, entah kenapa, secara tidak sengaja di telinga saya tiba-tiba mengalun suara Barbra Streisand, ....where are the clowns, they ought to be clown, quick send in the clowns...., sementara di mata saya terpampang bulir air yang merayap di pipi Charlie Chaplin saat di belakang panggung. Seorang penghibur sebenarnya tetap punya tangis bagi diri sendiri, meski harus senantiasa tersenyum lebar di depan publik.

Tampaknya kita harus bertepuk tangan untuk diri kita masing-masing. Itu salah satu cara untuk menjadi optimis. Atau nonton komedi slapstick di TPI. Memaksa diri tertawa atas lawakan yang tidak lucu. Perut memilin? Senyum sajalah, perut lapar bisa hilang dengan ngobrol dan tidur. Yakinlah dunia akan ikut senyum juga. Aksi demonstrasi pun punya senyum di sela-selanya. The mass of men lead lives of quiet desperation, ucap Henry David Thoreau. Dengan senyum ketenangan kita bisa menjadi orang yang paling mengerti akan berbagai kebijakan. Lagipula kita khawatir juga, seandainya ketidakakuran diartikan sebagai sikap yang tidak mau mengerti dan tidak cinta kepada negeri ini. Pemuka-pemuka bangsa yang berlagak bijaksana bilang, kita harus mencintai Indonesia, dalam keadaan makmur dan dalam keadaan terpuruk. Padahal kita tahu, kalimat itu hanya diucapkan terpaksa, ketika berada dalam keadaan putus-asa.

Ini pahit! Ini pilihan pahit! Tapi harus ditelan. Apa boleh buat. Kita memang tidak tinggal di Wisteria Lane, tapi tinggal di pelosok-pelosok Indonesia dan hidup berhimpit-himpit di tempat yang pantas diberi nama Hysteria Lane. Kita mungkin manusia-manusia histeris yang rindu berkata-kata tapi tak punya suara, ingin berteriak tapi tak punya tenaga. Kitalah Desperate Household, yang kini semata mencoba bertahan hidup -dalam arti harfiah- dengan setiap hari berusaha menghidangkan nasi dan lauk pauk di meja makan, untuk keluarga bersahur, berbuka puasa dan nanti, untuk menjamu handai tolan di hari raya Ied yang fitri.

The years of living dangerously. Di manakah Tuhan hari-hari ini?

(dimuat di majalah B-Watch edisi 04, 2006)

Selasa, April 22, 2008

Pieces of April, 1995

Ada camar, mungkin pula elang
yang menyambar ikan berenang.
pada saat kita duduk di siang terik,
mengunyah pesanan
sepiring kwetiau dan goreng udang tepung.

Ada nyanyi dalam hati,
yang tidak seperti musik runyam di loudspeaker
dengan bunyi kresek dan tempo yang kecepatan.

Ingin aku bersandar-sandar padamu.......,
tatkala kita berbincang mengenai eksistensi
dan status kehidupan masing-masing.

Tidak menyakitkan memang!
Malah kita bisa tersenyum dan mengatakan,
mereka, yang masing-masing kita miliki
adalah manusia yang komplit,
meski kita juga menyadari :
mereka bukan mimpi-mimpi kita,
tetapi itulah yang terbaik hingga kini.

Entah mengapa aku merasa tegar dan kukuh
mendengar tuturanmu.
Padahal kemarin, aku sering remuk tak berbentuk
jika membayangkanmu lagi dan lagi.

Mudah-mudahan
Tuhan tidak membiarkan kita merobek hati sendiri.

Belawan, Sabtu, 29 April 1995

Mengikuti Lawatan Presiden RI

Teroris dan Jerebu
di Sela-sela ASEAN & EAS Summit


Izharry Agusjaya Moenzir, Wakil Pemimpin Umum Harian Riau Mandiri & Harian Sijori Mandiri, beberapa waktu lalu diundang untuk mengikuti Kunjungan Kerja Presiden RI pada Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN ke-XI dan Pertemuan Asia Timur di Kuala Lumpur, Malaysia. Dia juga ikut dalam Kunjungan Resmi Presiden RI ke Bangkok, Thailand. Berikut laporan dan kesan lawatannya.

Muhibah itu bermula di Bandara Kemayoran. Minggu 11 Desember 2005 pagi pukul 05:00 WIB saya harus hadir di sana, begitu rujukan Garibaldi Sujatmiko, Kepala Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden ketika briefing di Istana Negara sehari sebelumnya. Subuh masih berkabut, cahaya mentari belum mengusap punggung Jabotabek. Tapi kami sudah siap. Kesibukan bandara yang sepi sudah terlihat sejak dini. Penjagaan keamanan lebih rapi dan Mbak Darmastuti sudah giat menerima dan mengurus kopor-kopor kami. Sebagai Koordinator Wartawan, wanita yang baru tiga bulan memegang jabatan itu di Setpres, cukup dan harus cekatan. Dia tampaknya telah mengerti, bahwa berurusan dengan rombongan wartawan musti lebih sigap, proaktif dan agak cerewet. Dia tentu harus bertekad supaya segala tetek-bengek urusan wartawan tidak mengganggu kelancaran acara Kunjungan Presiden RI ke Malaysia dan Thailand. Maklum, wartawan kan bukan sosok yang mudah diatur-atur.

Perjalanan ini cukup lama untuk seorang presiden. Tujuh hari -dari 11 hingga 17 Desember 2005- meninggalkan tanah air memang dinilai sebagai waktu kunjungan yang panjang. Apalagi untuk negara yang masih menyisakan persoalan-persoalan dalam negeri. Bukankah presiden harus bekerja keras untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa, mulai dari korupsi, harga yang membubung naik, flu burung, kelaparan di Yokuhimo dan segala macam urusan lain? Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu tidak mau dan tidak boleh dicap masyarakat sebagai ‘presiden jalan-jalan’, seperti predikat yang pernah ditempelkan orang kepada salah seorang presiden sebelumnya. Apalagi jika ternyata, tugas yang dihadapi SBY di luar negeri itu bisa membantu Indonesia dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri. Toh, from outside looking in, from abroad managing things.

Teng 06:30 WIB, Boeing 737-400 lepas landas meninggal bumi Indonesia. Tujuan pesawat yang bisa dijuluki Indonesia Airforce One itu, adalah Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Rombongan cukup ramping, hanya sekitar 100 orang. Itupun sudah termasuk team advance dan staf cadangan. Ini sangat berbeda dengan masa lalu, ketika Pak Harto atau Presiden RI lain melawat ke manca negara. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra juga mengakui hal itu di tengah obrolan kami di coffee shop Hotel Nikko, Kuala Lumpur beberapa hari kemudian. Perbedaan lain yang sangat gamblang bagi rombongan wartawan adalah soal biaya. Tidak seperti dulu, kini cuma biaya perjalanan yang ditanggung oleh Rumah Tangga Kepresidenan, sementara akomodasi dan lain-lain dibebankan kepada perusahaan pers masing-masing.

Dan itu bukan biaya rendah. Informasi mengatakan, untuk akomodasi hotel selama enam malam di luar negeri, ke 14 wartawan yang masuk dalam rombongan, masing-masing harus merogoh kocek sekitar 1.500 USD, dengan perincian 250 USD setiap malamnya. That’s a lot of money! Bayangkan, arigene duit sekitar 15.000.000 rupiah bukan kecil, terutama bagi koran-koran daerah yang tidak sekuat koran nasional. Makanya, bagaimanapun lawatan kenegaraan bersama Presiden itu harus sangat dimanfaatkan, dimaksimalkan dan dimaknai, agar jumlah itu tidak terasa berat. Jalan keluar lain adalah room-sharing. Beruntunglah saya, ketika Kurniawan Mohammad, Wartawan/Redaktur Nasional Harian Jawa Pos Surabaya mengajak saya berkolaborasi mengeroyok biaya yang tinggi itu. Rupanya hanya kami berdua yang mewakili media daerah, karena selebihnya adalah wartawan-wartawan dari media besar di Jakarta, seperti TVRI, MetroTV, RCTI, TV7, LKBN Antara, Kompas, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, RRI, Radio Elshinta dan Radio Trijaya. Apalagi instansi yang saya sebut terakhir ini mengutus langsung Tito Sulistyo, Direktur Utama-nya, yang memang sudah dimaklumi berkantung tebal. Tito duduk di kursi D dengan saya yang berada di F deretan tujuh, bersama Mayjen Bambang Sutedjo, Sekretaris Militer Presiden di kursi C, dan Djoko Hardono, Dirjen Protokol & Konsuler Deplu/KPN di A, mengisi empat dari total enam kursi. Persis di belakang saya duduk Andi Malarangeng, Staf Khusus Presiden Bidang Informasi/Juru Bicara, bersanding dengan Dino Patti Djalal, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional/Juru Bicara. Tampaknya, agak terhormat juga positioning itu, mengingat teman-teman wartawan lain berada pada dua barisan belakang, berenam sederetan. Entah mengapa demikian, saya kurang mengerti. Untuk tidak pusing-pusing, saya menanggapnya saja sebagai penghargaan yang diberikan kepada seorang wartawan senior yang sudah 33 tahun menggeluti jurnalistik.

Saya tidak merasa terasing di bangku itu. Sekitar sudah saya kenal baik dan mereka juga telah mengenal saya sejak lama. Andi Malarangeng adalah sobat yang selalu saya hadirkan sebagai narasumber ketika saya masih sebagai Pemimpin Redaksi Radio Trijaya Network. Armaya Tohir, Juru Foto Presiden, yang sejak dulu selalu saya panggil dengan dengan nama kecilnya Beck, adalah kawan lama di istana. Begitu juga Garibaldi. Sementara Yusril adalah teman berdiskusi di sela-sela kopi dan rokok, jauh sebelum dia membentuk Partai Bulan Bintang. Menlu Hassan Wirajuda termasuk menteri yang sering mengundang saya pada breakfast-gathering di Pejambon, dan Kepala BKPM Lutfie sering bertemu di Mercantile Athletic Club. Paling-paling, saya hanya perlu menyodorkan kartu nama kepada beberapa orang saja, termasuk Emirsyah Satar, CEO Garuda Indonesia yang belum lama dilantik. Pendek kata, hanya segelintir saja sosok yang baru saya salam-kenal di dalam perut pesawat itu.

Hal ini membuat saya merasa luwes dan tenteram. Luwes karena komunikasi bisa langsung cair, dan tenteram karena saya yakin 90 persen, bahwa pesawat ini akan selamat sampai di tujuan. Biasanya, semakin sering naik pesawat, ditambah dengan peningkatan usia dan kekhawatiran akan gangguan teror, saya selalu terpikir mengenai keselamatan terbang. Tapi kali ini saya tenteram, yakin pesawat ini sudah teramat sangat disterilkan pihak pengamanan dari ulah-ulah teroris. Turbulence juga tidak masuk dalam ­ fear-factor, karena saya tahu persis, jadwal keberangkatan pesawat GA-01 ini bisa saja disesuaikan jika ada gangguan cuaca.

Maka sayapun merasa lapang. Begitu juga ketika mendarat di KLIA dan bergegas ke Hotel Shangri-La dengan iringan voorrijders untuk menghadiri Third Asean Business and Investment Forum. Di sana, Kepala Negara menyampaikan keynote speech bertajuk “Moving ASEAN Forward: Sustaining the Momentum”. Ratusan tamu sudah menunggu presentasi itu, dan belasan orang bertanya kepada Presiden. Di tengah acara yang ketat itu, saya memperhatikan penerimaan khalayak terhadap Indonesia-ku, sekaligus menyimak presiden-ku saat menyampaikan pidato tertulis dalam bahasa Inggeris. Kewibawaan SBY terkesan tinggi dan kharismanya membuat ruang meeting menjadi penuh pukau. Terutama ketika Beliau menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan audience. Terus terang saya agak kaget melihat kefasihannya. Saya, yang selama ini jarang melihatnya berkomunikasi dalam bahasa Inggeris, diam-diam dirayapi rasa bangga melihat komunikasi internasional yang lancar itu. ‘Now you’ve seen my President, don’t you?” canda hati saya.

Kuala Lumpur adalah ibukota yang tak beda dengan Jakarta. Kota yang sudah saya kenal sejak 1971. Setiap Hari Kemerdekaan Malaysia 31 Agustus, saya selalu mencoba menyempat diri ke sana, karena di hari itu seakan-akan seluruh tanah jiran itu sedang merayakan ulang tahun saya yang jatuh pada tanggal yang sama. Dan dua tahun lalu, saya juga diajak Bachrul Hakim, Senior Vice President / Direktur Komersial Garuda Indonesia ke sini. Saat itu, Garuda menandatangi perjanjian kerjasama dengan Malaysia Airlines dan kami menginap di Hotel Nikko, yang cuma berjarak 15 menit jalan kaki dari Menara Kembar Petronas. Bersama rombongan SBY kali ini, kami juga menginap di Nikko, membuat saya tidak asing dengan liku-liku arsitekturnya. Saya hapal ruang demi ruang dan bahkan saya masih melihat petugas concierge yang sama, bertubuh bulat, jenaka dan suka menyapa warga Indonesia dengan logat Betawi.

Tapi siang ini saya belum bisa menikmati kamar Nikko yang selesa, karena dari Shangri-La, rombongan langsung menuju Kuala Lumpur Convention Center (KLCC). Di sana, Presiden disambut dengan senyum lebar Pak Lah, sebutan akrab Yang Amat Berhormat (YAB) Dato’ Seri Abdullah Ahmad Badawi, Perdana Menteri ke-5, yang juga merangkap Menteri Keselamatan Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Malaysia.

Pertemuan tete-a-tete antara mereka berlangsung hingga pukul 16:40 (M’sia), yang kemudian dilanjutkan dengan First Indonesia-Malaysia-Thailand - Growth Triangle (IMT-GT) Summit. Saya agak heran juga melihat ada kata First di topik itu, karena setahu saya, IMT-GT sudah lebih 10 tahun digalang bersama. Tapi no problemo, saya lebih melihat itu sebagai kesepakatan dan semangat baru dari tiga negara, karena pastilah banyak issue-issue baru yang perlu dijembatani dan ditanggulangi. Kehadiran para Gubernur dari daerah di Indonesia yang berbatasan langsung dengan kedua negara itu juga menunjukkan bahwa Pertemuan Puncak itu ingin mencapai kesepakatan nyata antar negara, tidak sekedar wacana semata. Ketua Komisi DPR-RI juga menuturkan tentang kemajuan yang dicapai. Kepada kerumunan wartawan dalam dan luar negeri, Theo Sambuaga menuturkan segala hal, mulai dari masalah perdagangan, keamanan dan lingkungan menjadi topik-topik yang dibahas. Ini hal yang menarik buat media Malaysia. Mereka bertanya soal jerebu, asap dari kebakaran hutan di Indonesia yang mengganggu mereka. Mereka juga mau tahu soal Noor Dien M. Top. Sama dengan keingintahuan Sofyan, supir Malaysia yang membawa rombongan kami pulang ke hotel. Saya menjawab sekenanya: “Makanya jangan kirim lagi teroris ke Indonesia.” Ternyata dia lebih lihai menjawab. “Bukannye kite ekspor Pak, tapi Indonesia minte, kite cume impor saje. Ye tak?”

Saya terbahak atas candanya. Paling tidak dengan tertawa, rasa letih saya hilang. Everybody seems to be OK. Lawatan RI-1 ini memang ditujukan untuk membuahkan tindak nyata yang secara langsung bisa diaplikasikan. Karena itulah SBY memerintahkan agar segala instansi resmi terkait dari Indonesia hadir di K.L. untuk urun rembuk. Keikutsertaan Ketua Umum Kadin M.S. Hidayat secara jelas memberi gambaran kemutlakan itu.

Tapi hari pertama belum usai. Malam itu juga, SBY dengan rombongan terbatas menghadiri Informal Working Dinner dengan Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN di Hotel Mandarin. Tidak semua wartawan boleh ikut, kecuali RRI, LKBN Antara, TVRI dan media televisi lainnya. Wartawan media cetak dan siar-swasta yang tidak ikut menggunakan waktu untuk menulis dan melaporkan kegiatan hari pertama. Redaksi di koran masing-masing sudah menunggu. Lewat pukul 23:00 (M’sia) saya ngobrol panjang dengan Yusril di coffee-shop. Sengaja saya tulis namanya di sini, karena pertemuan kami lebih bernuansa human-relation. Mengenakan kemeja jeans, dia tidak tampak sebagai Mensesneg, sehingga ketika akan kembali ke kamar, petugas hotel melarangnya memasuki lift khusus berkarpet merah. Saya terpaksa menerangkan bahwa Beliau itu adalah Secretary of State, namun Yusril langsung selonong masuk ke lift umum bersama dengan tetamu lain.

No problemo. Everybody is OK. Walaupun saya masih tertanya-tanya dalam hati dan belum sempat meraba, mengapa kawan saya ini sering bermasam bibir. Besok, saya akan coba tanya hal itu kepadanya. Mudah-mudahan dia juga OK.
(bersambung)

Senin, April 21, 2008

Prof. DR. H. S. HADIBROTO : Dari Gelar Bangsawan Ke Gelar Akademis

Penulis : IzHarry Agusjaya Moenzir

Pewawancara : IzHarry Agusjaya Moenzir & Nurhalim Tanjung
Foto Ilustrasi Sampul : Iskandar Leonardi
Penyunting : R. M. Subanindyo Hadiluwih, SH, MBA

Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Diterbitkan oleh : Institut Bina Bisnis Indonesia (IBBI) & Perhumas, Medan

Cetakan Pertama, Maret 1997
Dicetak oleh : PT Satria Deli Perkasa
________________________________________________________________________________
.......Buku ini sepenuhnya saya persembahkan buat istri tercinta, Aisyah Rahman Hasibuan, yang kobaran semangatnya selalu saya kagumi. Terimakasih atas hidup yang bernilai, atas kesetiaan, keindahan dan kebahagiaan, Tanpa Aisyah, saya tidak mungkin menjadi seorang Hadibroto.
- Prof. DR. H. S. Hadibroto, Medan, 8 Oktober 1996
________________________________________________________________________________

1. Layak Sepur di Atas Rel

Subuh merekah, mengusir malam gelap yang basah. Dan adzan dari masjid di sudut jalan sudah terdengar nyaring membangunkan. Langit di Timur mulai memerah, pertanda matahari sebentar lagi akan menyembulkan diri. Pepohonan masih gelap, jalanan masih sepi. Cuma sesekali terdengar langkah terburu-buru dari beberapa orang yang ingin mengejar sholat subuh di masjid.

Seperti biasa di musim penghujan, matahari selalu malas menyorotkan cahaya. Dengan lemah sinarnya akan mencoba menembus kerapatan dedaun bambu yang bergesekan satu sama lain, untuk menghalau embun yang tiarap di rerumputan.

Suasana gerimis pagi itu pastilah sangat sejuk, apalagi angin semilir berhembus masuk melewati ventilasi, merasuk hingga di tempat tidur, membuat banyak orang enggan bangkit untuk memulai harinya. Tidur pasti lebih enak.

Namun tidak demikian halnya di rumah saya di Pekalongan. Meski dingin sering membuat hati ingin berpeluk dengan bantal dan guling, bahkan meninggikan selimut hingga ke jakun, namun kebiasaan di rumah kami tidaklah demikian.

“Bangun Dji! Mandi. Nanti keduluan matahari.”

Demikian biasanya ibu membisikkan ucapan selamat paginya di telinga saya. Dia lantas menguakkan tirai, membuka jendela dan sebelum keluar, menyapa lagi.

“Hayo, nanti ketinggalan Mas-mu.” ujarnya.

Meski sering malas, tetapi saya pasti akan beringsut bangun. Bagi kami hal itu merupakan awal kegiatan harian yang tak boleh dirubah. Ianya sudah ada dan diberlakukan sejak lama, mungkin sejak saya belum lahir. Suasana pagi selalu hiruk pikuk dan sibuk. Tidak ada malas-malasan atau mengantuk yang berlebihan. Semuanya ligat membuka hari, berebutan ke kamar mandi, berlarian ke masjid.

Adalah ibu yang selalu membiasakan kami dengan hal-hal seperti itu. Bangun pagi, berwudhu untuk kemudian sholat, sudah menjadi salah satu dari beragam menu kehidupan keluarga Brotosuwignyo. Tidak ada yang mengeluh atau mengomel. Mempersoalkan juga tidak. Apalagi ribut-ribut dan protes. Meskipun hal itu bukan peraturan resmi, namun kami menjalankannya dengan rela dan sukacita, layak sepur di atas rel yang berjalan sesuai arahan.

Setelah membangunkan saya, biasanya ibu akan bergegas ke dapur untuk memasak air. Sudah dapat dipastikan, seceret teh manis akan diraciknya. Untuk ayah, segelas besar kopi tubruk yang rada pahit akan terhidang, persis tatkala beliau selesai berolahraga pagi.

Bagi ayah, segelas besar kopi di pagi hari adalah suatu kemewahan yang sangat pribadi. Jarang sekali dia memperoleh keistimewaan begitu di tempat lain. Sebagai pegawai kantor keuangan yang selalu dihadapkan pada masalah uang dan belasting, kesibukannya tak bisa diukur dari jumlah jam. Daerah pekerjaan kontrolir pajak selalu menerobos daerah-daerah pelosok, dan tak ada waktu buat kopi barang secangkir.

Kopi yang tersuguh adalah perlambang kecintaan isteri kepada suami. Mungkin demikian adanya, sehingga ibu tak pernah lupa. Cuma, tidak setiap hari ayah bisa menikmati kopi buatan ibu. Dalam sebulan, barangkali hanya enam-tujuh kali saja, karena selebihnya dia berada di pedalaman.

Meski berdomisili di Pekalongan, namun seperti saudara-saudara yang lain, saya dilahirkan di Tegal, pada 29 Maret 1919. Menurut ibu, sudah menjadi keharusan baginya untuk pulang ke Tegal jika saat melahirkan tiba.

Di Tegal, wanita yang bernama Siti Chasanah ini akan merasa lebih nyaman. Konon, keluarga Haji Abdul Hamid yang berdiam di Gili Tugel 12 itu, punya macam-macam cara untuk meladeni puterinya yang akan melahirkan cucu bagi mereka.

Kehamilan, bagaimanapun juga tetap merupakan suatu peristiwa sakral yang musti punya upacara-upacara tersendiri, demi keselamatan jabang bayi dan ibunya. Banyak yang dipantangkan, tetapi banyak juga yang diharuskan sebagai syarat.

Wanita berbadan dua pantang makan di depan pintu, sambil berjalan, dan sekali-kali tidak boleh makan di waktu magrib. Sementara yang diharuskan juga banyak, seperti mengantun¬gi benda tajam dan mandi bunga. Wanita hamil juga mengenal upacara mitoni, yaitu pada saat usia kehamilan mencapai tujuh bulan. Untuk keselamatan semuanya, akan dibuatkanlah tumpengan atau bancakan yang berisi sayur-mayur dengan segala sesuatu yang berada di alam. Bancakan itu lantas dikirimkan kepada keluarga, kerabat dan tetangga untuk disantap.

Karena cuma numpang lahir, Tegal bagi saya bukanlah kota yang punya banyak kenangan. Paling-paling tempat itu hanya mengingatkan saya akan saat-saat bermanja pada Mbah Kaji Kakung dan Mbah Kaji Puteri.

Sesungguhnyalah mereka keluarga santri yang saleh. Sebutan Kaji yang saya gunakan untuk memanggil mereka berasal dari kata Haji, sebagaimana lazimnya orang-orang sekampung memanggil mereka dengan rasa hormat.

Dari kakek dan nenek pihak ibu inilah saya memperoleh dasar-dasar Islam yang kukuh. Mereka, dalam setiap kesempatan, selalu menyuguhkan kami cerita-cerita tentang Nabi Muhammad S.A.W. Terutama bila Ramadhan telah tiba. Pada saat-saat seperti itu, sembari menunggu beduk magrib, mereka akan duduk di kursi goyang teras depan, dan kami berselonjor di lantai, menyimak apa yang disampaikan.

Dengan modal agama Islam yang kuat, saya memulai pendidikan dini dengan bersekolah di Hollands Inlandse School (H.I.S). Status dan kedudukan ayah yang cukup baik membuat saya bisa bersekolah di tempat yang mendingan itu. Kata ibu, anak pintar harus mendapat pelajaran yang bagus, dan boleh belajar di sekolah Belanda.

Benarkah saya anak yang pintar? Saya tidak menyadarinya. Angka rapport saya memang tidak ada enam-nya, semua tujuh ke atas, bahkan ada yang ponten sepuluh. Padahal saya tak belajar banyak dan tak menghapal banyak. Apa adanya saja. Bagi saya itu wajar dan lumrah, layak sepur di atas rel yang berjalan sesuai arahan.

Ibu tampaknya senang dengan keberadaan kami. Meski ayah selalu ke daerah-daerah terpencil, ibu tak pernah merasa sepi. Dialah tipikal wanita Jawa yang lugu. Swargo nunut, neroko katut. Selagi di dunia, jadi isteri, melahirkan keturunan. Kemudian masuk dapur, masak. Cuci baju lantas seterika. Mendidik anak. Mengajar ngaji, membaca dan berhitung. Tidak lebih tidak kurang. Wajar dan sederhana.

Kami juga tidak banyak bersaudara, cuma enam orang saja. Waktu itu, enam anak belum apa-apa, karena banyak keluarga yang punya anak lebih dari selusin. Akan halnya keluarga kami, enam rasanya sudah merepotkan, mengingat ayah yang sering tak ada.

Karena itulah Mbakyu Sukanti, sulung di antara kami, langsung diambil anak oleh Bu De Oemi sejak jabang bayi. Di masa kecil, saya tak begitu mengenalnya. Yang paling saya kenal adalah abang nomor dua. Mas Suhardjo inilah yang merupakan teman sepermainan yang awet, sejak kecil hingga dewasa. Usia kami hanya terpaut dua tahun. Kemana-mana kami selalu sama, mandi sama, sekolah sama dan tidur pun sama.

Di bawah saya masih bersusun adik-adik lain. Sutikno yang persis di bawah saya adalah anak periang dan suka tertawa. Namun usianya tak panjang, dia meninggal sewaktu berusia sembilan tahun. Saya tidak tahu persis penyakitnya, kecuali sebelum meninggal dia mengalami demam panas yang tinggi.

Saya merasa kehilangan dengan kepergian Sutikno, karena dia merupakan teman bergelut dan berkejar-kejaran. Kami bertiga dengan Mas Hardjo adalah anak-anak yang bisa tertawa berlayang-layang, tetapi bisa marah-marahan berkelahi.

Dua adik kecil saya yang lain, Sudjati dan Sutari, adalah perempuan pendiam yang tidak banyak bicara. Mereka bermain berdua saja, seakan saya dan saudara-saudara lain tidak ada di dunia mereka. Jika saya nakal menggodanya, mereka tak pernah menentang. Paling-paling lari masuk rumah mencari ibu dan mengadu.

Saya sayang kepada mereka. Ayah, ibu dan semuanya. Di tengah merekalah saya bernafas, menggeliat dan belajar hidup untuk jadi manusia. Padahal apa yang terjadi esok tak pernah bisa jelas. Hidup di alam penjajahan memang demikian, tanpa kepastian akan masa depan.

Namun keluarga Brotosuwignyo tak pernah mempersoalkan yang belum terlihat. Hidup adalah kelumrahan tanpa pretensi. Jika keluarga bisa makan dan anak-anak bisa sekolah, maka mimpi akan cukup. Apa adanya saja. Kami bahkan tidak pernah merancang hal-hal muluk atau merayakan hari-hari istimewa. Satu-satunya hari besar yang membuat kami bergembira adalah Idul Fitri, saat sekolah diliburkan dan baju baru dikenakan.

Yang lain adalah kewajaran, layak sepur di atas rel.
(bersambung ke bagian 2: Mata Berkaca, Hati Tersedu)

Di Atas Cora Princess

Apa yang kuperoleh di sini?

Wajah-wajah berminyak
dan wangi parfum yang meledakkan hidung
bercampur bersama tawa dan ketegangan,
dengan dingin yang membekukan jemari.

Di antara kartu-kartu yang bertebar
dan chips yang bercorak warna
aku tenggelam tak berbentuk.
Memang ada kalanya tawa menggelegar
jika angka 21 bisa terkumpul.

Entahlah.

Aku cuma makan, minum dan nonton film.
Ada juga yang bagus, seperti Backfire.
Atau aku cuma akan nyanyi-nyanyi di karaoke :
“Faded photograph,
covered now with lines and creases,
tickets torn in half, memory in bits and pieces.”

Sembari meneguk Tia Maria,
aku ingat kau.
Angin laut yang tak membawa debu mengusap wajahku.

Apa yang kuperoleh di sini?

Di tengah baur uang yang bertumpuk,
aku toh masih merindukan es teler dekat Medan Plaza.
Entahlah.

Mungkin karena aku berharap bisa jumpa kau di situ.
Maret 1992

Minggu, April 20, 2008

Obituari : Jaffar Siddiq Hamzah

Hakikat Hidup dan Nilai Tajarud

“Aceh Nanggroe Darussalam, land of the free, home of the brave......”

Jika aral tak merintangi, pada 8 Februari 2007 ini, Irwandi Yusuf pastilah dilantik sebagai Gubernur Aceh Nanggroe Darussalam. Serentak bersama pria tegar itu, akan dilakukan juga penabalan para Kepala Daerah di Serambi Mekah. Sebuah ganjaran bagi perjuangan panjang, yang tak pernah lekang di musim panas dan lapuk di musim hujan? Semata-mata nilai kemenangan seperti itukah yang dituju oleh orang-orang konsisten dalam cita-cita tajarud.

Ada perasaan yang terhenyak ke pelosok kosong ketika hal ini menjadi buah pemikiran. Aceh sebagai suku dan Aceh sebagai area, telah lama bertungkus-lumus mencari nilai kebebasannya. Kebebasan yang kemudian sering dimuradifkan dengan kemerdekaan. Kemerdekaan yang jadi momok pihak lain dan kemerdekaan yang dilarang. Sementara pencarian akan kebebasan itu telah membuat manusia-manusia yang tak pernah menggeram, menjelma menjadi sosok-sosok yang selalu menggemeretakkan rahang dan mengeraskan dagu. Mata yang sayu pun menyiratkan api. Mereka bakar apa yang jadi aral, mereka hanguskan dalam kobaran. Warna paras yang keras.

Bandara Changi Singapura, 17 Agustus 1991. Inilah yang membawa pikiranku kembali ke saat bertemu Jaffar Siddiq Hamzah di Changi. Dalam waktu dua jam, langit akan merekah. Di tengah keterburu-buruan mengejar pesawat United Airlines menuju Taipei, sebuah suara menyapa pelan.

“Maaf. Abang dari Indonesia, ya?” Aku menoleh dan mendapatkan wajah keras seorang pria kurus berkulit hitam. Kacamatanya besar dan rahangnya menyiku, hampir 90 deradjat. “Aya sudah perhatikan Abang dari tadi. Pasti abang orang Indonesia,” sambungnya.

Bah! Ternyata tujuan kami sama, menuju San Francisco dengan pesawat UA 826. Via Taipei. Kalau begitu ceritanya, marilah kita duduk bersebelahan. Sehingga dalam masa belasan jam, kita bisa bertukar kisah. Kata Jaffar, dia orang Aceh. Dari pelafasannya aku sudah tahu sejak awal. Tujuannya Bouder, AS, untuk memperdalam Ilmu Hukum. Kami akan berpisah di San Francisco, karena aku menuju Chicago untuk kemudian ke Washington DC.

Sungguh subuh yang luar biasa. Mendapatkan Jaffar sebagai kawan, rasa kantukku hilang. Jaffar memeriahkan pesta proklamasiku. Meski terkesan diam, Jaffar punya banyak kisah menarik. Klop denganku yang banyak kecek. Aktivis bertemu wartawan, tak beda lepat pisang bertemu daun, lengket satu sama lain, membuat kami tak tidur sepanjang terbang, bertutur tentang hakikat kehidupan dan nilai kebebasan.

Jaffar memang sangat Aceh. Tinggal di Lhokseumawe. Dia memandang hormat kepada kehidupan dan sangat mengagungkan kebebasan. Dia ingin Aceh memiliki semua itu kembali. Sudah lama itu jadi impian kelompoknya.

“Tapi aya bukan GAM, Bang,” sergahnya. Mungkin dia melihat sekilas ruas ragu di kilatan tatapku. Maklumlah, saat itu semua orang takut pada pihak-pihak garis keras yang memegang senjata, baik GAM, maupun tentara. Dan Jaffar bukan tentara. Dia berdiri di warna abu-abu, tidak menjadi hitam atau putih. Dia cuma anak Indonesia yang berkeinginan melihat segalanya melalui suryakanta hukum, melihat kesalahan sebagai sesuatu yang harus diberi pinalti dan melihat kebenaran sebagai sesuatu yang harus dibela.

Apakah GAM itu sesungguhnya bertindak benar? Apakah tentara itu hakikatnya bersikap betul? Jaffar pasti punya jawaban. Cuma tiba-tiba dia menjadi tidak-fasih. Mungkin hatinya bimbang, sehingga perlu berhati-hati bicara. Jika merasa tidak pasti dengan kalimat pilihannya, dia memilih diam. Namun dia tak pernah bisa menyembunyikan bahasa tubuhnya. Terutama ketika mengepal jemari saat mengisahkan nilai kebebasan.

Hingga tiba di San Francisco International Airport, aku merasa sudah bisa memasuki sukma Jaffar. Aku tahu denyut jantung dan tarikan napasnya. Aku hapal jumlah bekas jerawat yang ada di wajahnya. Aku yakin dia bukan GAM. Tapi dia tak pernah menyalahkan GAM. Yang pasti, dia bukan tentara dan juga tak mengatakan tentara bertindak salah.

Kami beriringan di sepanjang koridor menuju gerbang pemeriksaan paspor. Dia terpisah dan tak terlihat di teras ruang tunggu. Meski celingukan, aku tak bisa menemu bayangnya. Sosok kecilnya hilang di tengah keramaian bule dan negro yang bongsor. Dan aku tak segera bisa melupakan Jaffar. Khawatir dia akan menemui kesulitan mencari penginapan atau bus menuju Bouder. Kucoba menindih perasaan. Jaffar pasti aman-aman saja. Suatu saat, sepulang dari Bouder, pastilah dia akan lebih bijak memilah-milah kebenaran dan kesalahan, sehingga bisa menyumbangkan hukum yang bersih, untuk Indonesia-nya dan Indonesia-ku.

*

Kantor Harian Waspada, April 1993. Satpam tempatku bekerja bilang, ada tamu yang mau ketemu. Jaffar Siddiq Hamzah. Berwajah optimis. Dijabatnya tanganku erat. Kuraih bahunya dan kupeluk tubuhnya dalam-dalam. Malam itu kami berkisah lagi habis-habisan, tentang hidup dan cita-cita kebebasan, tentang penindasan yang tak pernah henti. Tentang pengalaman di luar negeri dan Aceh yang tetap di titik nadir. Kemana kita akan pergi?

“Aya mau ke Lhokseumawe dulu, Bang. Melihat orangtua.” Jawabannya sederhana dan jitu. Jaffar tak bicara tentang Aceh yang ingin merdeka, karena bayang-bayang itu belum mengkristal. Betapapun dia berhasil menggambarkan kehidupan nisbi para inong bale dengan anak-anak tanpa ayah, namun tak ada carut marutnya dalam menuturkan karut marut Aceh. Jaffar berkisah datar, meski suaranya menggeletar menghadapi ketidakpastian hari esok. Masa depan Aceh memang tak bisa dibayang, apalagi dirancang. Beratus-ratus nyawa telah melayang, beratus-ratus insan hidup meregang, terpanggang dalam desir peluru dan ancaman mati di tikungan jalan. Baginya, kepastian yang pendek adalah mentakzimkan ayah dan ibu yang ada di kampung, melepas rindu dan merunduk memohon restu.

*

Medan ­1994 - 1996. Kami semakin sering bersama. Hampir setiap pagi kami duduk di warung sudut jalan di depan kantor LBH, makan nasi soto atau kari kambing. Jaffar sudah berpraktek hukum, membela beberapa perkara dan masuk sebagai anggota tim pembela Muchtar Pakpahan. Dia sering meminjam handycam-ku untuk merekam penindasan terhadap wanita dan kanak-kanak pekerja.

Dia kenalkan pacar Pilipina-nya. Gadis berkacamata dengan gerai rambut lurus. Perempuan yang bermukim di Amerika ini sedang menulis skripsi tentang Aceh. Jaffar membantu dan ingin mengawininya. Silahkan, saranku. Tapi karena kawin butuh uang, kami pun mencari investor untuk membangun perumahan warga asing di Lhokseumawe. Jaffar sangat serius, meskipun akhirnya bisnis itu gagal dan dia cuma bisa buka warung kecil di depan UMSU.

“Aya cari uang bukan cuma untuk kawin, tapi untuk bantu adik-adik juga,” katanya. Jaffar akhirnya memang menikahi perempuan Pilipina-nya dan berangkat ke Amerika menemui mertua. Sebelum berangkat dia datang bersama Syarifuddin, adiknya.
“Aya mau pamit Bang. Siapa tahu ndak jumpa lagi.”

Maka, Jaffar pun pergi, hilang dalam gelap malam. Aku sama sekali tak khawatir, karena dia akan segera menuju negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Land of the free and a home of the brave. Aku sama sekali tak menindih perasaan, karena Jaffar pasti bahagia.

*

Jakarta, Agustus 2000. Sepulang dari gedung MPR mengikuti Sidang Tahunan hari ke dua, jantungku bergemuruh. Radio Trijaya tempatku bekerja sebagai Pemimpin Redaksi menyiarkan berita yang meruntuhkan kalbu. Jafar Siddiq Hamzah dilaporkan hilang! Menurut adik perempuannya, sudah hampir dua bulan Jaffar tak pulang ke rumah dan tak pernah bertelepon.

Kali ini aku sangat-sangat khawatir. Perasaanku sobek. Di mana Jaffar? Mudah-mudahan seperti biasa, dia akan muncul kembali untuk mengibarkan bendera merah putih 17 Agustus pada peringatan sembilan tahun persahabatan kami. Masih berjuta halaman cerita yang bisa kami tuturkan, mengupas arti kehidupan dan nilai kebebasan. Akankah suatu saat Jaffar muncul lagi agar kami dapat bicara?

Tapi Jaffar ternyata tak pernah kembali. Ya Allah! Di sebuah perbukitan sepi, petani pedalaman menemui tubuhnya terikat di sebatang pohon. Lelehan darah yang mengalir dari puluhan luka lebar telah mengering oleh angin dingin yang lewat. Kacamatanya jatuh di lumpur dekat kaki, retak dan pecah seperti idealismenya.

Entah siapa yang menghabisi. GAM? Tentara? Tak pernah aku dengar ­kisah lanjutan itu. Salah apa dia? Salahnya mungkin karena dia tidak menyandang bedil. Bukan orang yang berpihak. Bukan GAM dan bukan tentara. Dia adalah korban, pelanduk di tengah pertarungan para gajah. Menjadi abu-abu ternyata tidak bisa menyelamatkan jiwa.

*

Plaza Indonesia, Januari 2007. Tanpa sengaja aku bertemu Syarifuddin, adik almarhum. Menggigir batin memeluknya. Sosok yang pernah menggemeretakkan rahang dan dagu itu kini sudah jadi pria dewasa. Lebih diam, lebih wibawa dengan rahang menyiku, hampir 90 deradjat. Abangnya telah tiada, tetapi Syarifuddin mengapurancang. Dan dihormati.

“Aya akan dilantik jadi Wakil Bupati, Bang,” bisiknya sambil memelukku.

Airmataku leleh dalam rongga. Kemenangan dan kehormatan selalu datang kepada orang-orang yang terinjak-injak. Ternyata kematian Jaffar dan orang-orang seperti dirinya tak pernah sia-sia. Merekalah yang mengantar Irwandi Yusuf dan jajarannya untuk menciptakan kemerdekaan di Aceh Nanggroe Darusssalam, tanah tajarud, rumah orang-orang yang tak pernah didera takut.

(Dimuat di Majalah B-Watch, edisi Februari 2007)

Minggu, April 13, 2008

Obsesi

Kucari-cari berkas wajahmu di antero kota.
Gedung-gedung tinggi,
jalanan berdebu
dan billboard yang terpampang nyalang
tak menyiratkan kau ada di situ.
Aku kehilangan!

Aku berjalan kaki dengan tangan di saku,
menerawang ke dalam batin,
dan menemu,
selama ini aku telah terlalu tegar.
Tetapi kaku!

Maka aku pun mencari-cari wajahmu
di rindang pepohonan kota
di antara teman-teman kita.

Ingin aku,
kau datang untuk melunakkan hati laki-lakiku,
memberitahuku
bahwa hidup juga bisa sangat penuh rasa
dan menangis tidaklah hal yang memalukan,
meski bagi pria tua sepertiku.

C, aku ingin menyusupkan kepalaku ke dadamu
berhenti istirahat di sana dan menarik napas yang dalam
mengatup mata seraya berkata :
“Kutemui kenyamanan
saat mendengar degup jantungmu!
Medan, Kamis 6 April 1995

SudutBidik Episode 85 @ QTV & TVSwara

Perkembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia
(Tayang di TVSwara 12 Desember 2007, di QTV 13 & 14 Desember 2007)

"Sistem Peringatan Dini Tsunami merupakan sistem penanganan bencana Tsunami. Sistem itu adalah mengobservasi, menganalisa, mendesiminasi dan mengkomunikasikan ke masyarakat. Ini yang disebut sebagai end to end system," ujar Dr. Ir. Idwan Suhardi - Deputi Menteri Negara Ristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Iptek, pada acara mingguan SudutBidik Iptek di QTV yang dipandu oleh Izharry Agusjaya Moenzir.
Pada acara yang bertema Tsunami Early Warning System (TEWS) itu, Idwan Suhardi tampil bersama Dr. P.J. Prih Harjadi - Deputi Bidang Sistem Data dan Informasi BMG dan Ir. Sugeng Triutomo, DESS - Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Bakornas PB.

Menimpali Idwan Suhardi, Ir. Sugeng mengatakan, Tsunami Early Warning System merupakan penyampaian informasi yang jelas dan efektif melalui suatu lembaga yang jelas dengan melakukan empat langkah yaitu observasi, analisa, desiminasi dan komunikasi. Dari aspek struktural, kita bermain dengan teknologi, bagaimana kesiapan manusia untuk mengambil langkah sesuai habit. Kebiasaan masyarakat itu tumbuh dengan sendirinya, apabila dilakukan upaya-upaya untuk mulai membiasakan cara-cara masyarakat menanggapi setiap informasi yang diterima.

Upaya kebijakan untuk membangun suatu sistem peringatan dini di Indonesia berlandaskan pada UU No.24/2007 yang mengatur legislasi, kelembagaan, perencanaan dan pendanaan. Mengingat Tsunami bukan satu-satunya bencana di Indonesia, maka sistem peringatan dini yang lain juga perlu diatur. Oleh karena itu jelas bahwa komponen struktur yang dibangun harus diikuti dengan komponen kultur.

"Dalam UU No.24/2007 diatur tentang kemampuan masyarakat dan pemerintah daerah yang harus profesional dalam penanggulangan bencana. Kita akan terus berusaha melanjutkan dan mengembangkan kemampuan, baik dari sisi kelembagaan, kelengkapan peralatan dan kemampuan sumberdaya manusi, termasuk anggaran hingga tercapai apa yang diinginkan," lanjut Ir. Sugeng.

Sementara itu Dr. Prih mengatakan, TEWS adalah usaha yang dilakukan untuk memberi peringatan dini kepada masyarakat dalam mengetahui bahaya Tsunami melalui komponen-komponen yang ada, yaitu harus mempunyai sistem monitoring, informasi harus segera disampaikan, harus ada yang menerima dan mengerti informasi yang diterima, serta menindaklanjutinya untuk disampaikan kepada masyarakat.

Alat-alat yang dipasang adalah (1) Seismometer produksi BMG, yaitu alat untuk memonitor getaran yang disebabkan pergerakan lempeng bumi, (2) Sea Service Monitoring / Tide Gauge & GPS produksi Bakosurtanal, yaitu alat yang memonitor perubahan tinggi permukaan air laut dan (3) Buoy yang diproduksi BPPT, yaitu alat untuk memonitor pergerakan lempeng dan tekanan di dasar laut.

Dr. Idwan Suhardi juga menjelaskan tanggung jawab Ristek terhadap iptek, di antaranya koordinasi dengan instansi terkait untuk mengintegrasikan Peringatan Dini Tsunami, karena keterlibatan seluruh instansi dan infrastruktur sesuai dengan UU no.24/2007. UU ini merupakan progress yang benar, siapa melakukan apa, dan bagaimana peran Pemerintah Daerah. Beliau juga menghimbau komunitas iptek dan lintas sektoral agar peringatan dini lebih menekankan sifat longterm untuk menjadikan habit masyarakat Indonesia.

Berkaitan dengan UU no.24/2007, BMG telah mampu menyampaikan informasi kepada masyarakat kurang dari 5 menit melalui: (1) SMS (terutama kepada pejabat pengambil keputusan : Presiden, Menteri, Pejabat Daerah), (2) Fax Otomatis, (3) Alarm, (4) Website dan (5) Mengubah dari Fax ke Voice, serta melalui radio siaran seperti Radio Elshinta.

Dengan target bahwa sistem ini mampu memberi peringatan paling lambat 5 (lima) menit setelah kejadian gempa, seluruh komunitas Iptek di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi (antara lain BMG, Bakornas PB, BPPT, LIPI, ITB, Departemen Dalam Negeri, Pemda, instansi terkait) bahu-membahu menciptakan dan mengembangkan kemampuan dalam observasi, assessment, implementasi dan diseminasi informasi serta meningkatkan kesiapan masyarakat (community preparedness) yang menjadi dasar untuk mengambil tindakan darurat yang diperlukan (emergency response).

Pada akhir perbincangan, Dr. Prih menghimbau agar masyarakat turut membantu pengamanan alat TEWS agar jangan dirusak, supaya informasi tentang bencana dapat disampaikan kepada masyarakat, khususnya di daerah terpencil. "Marilah kita sama-sama merawat alat ini agar tetap dapat dioperasikan dalam waktu lama,' katanya. - dicuplik dari http://www.ristek.go.id/

Jumat, April 11, 2008

Anak Malam

Kuketuk jantung malam dalam perjalanan baja
Aku pergi menemu malam
Di ujung aku berpaling, hanya musik transisi
Dan kau yang membekas dari imaji

Suara-suara asing merangkak sepanjang dinding
Siapa yang menimbuni lahatnya sendiri
Hidup jadi memburu cemas
Dan engkau yang terlepas

Kuketuk jantung waktu dengan tapak perunggu
Aku pergi menemu hari
Begini lebih baik: menyanyi, menyanyi
O, tidurlah anak malam, tidurlah si buah hari

(Dibacakan pada acara Rest & Relax, Prambors Rasisonia, 6 Oktober 1982)

Miris

There are no accidents, only nature throwing her weight around.
After the bomb, nature will pick up the cards we have spilled,
shuffle them, and begin her game again.
- Camille Paglia

Miris. Begitu setiap kita mendengar gelegar ledakan. Ada perasaan tercabik-cabik, jatuh pada kebimbangan dan kenestapaan. Alangkah dunia menjadi tempat tidak aman dan nyaman, tidak mampu memberi jaminan keselamatan anak manusia. Tidak hanya di Irak dan New York, tetapi juga di Bali dan Jakarta. Di sebarang tempat. Di seluruh penjuru. Dan kita tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Kita hanya mendengar gelegar membahana. Bubungan asap. Runtuhnya kaca-kaca jendela. Pagar dan bangunan yang terkuak dan sompal. Bau daging terbakar, serpihan tubuh manusia. Darah, airmata dan kepiluan. Tragedi yang pada tahun-tahun belakangan ini jadi sangat akrab, layak tamu yang berkunjung pada waktu-waktu tertentu. Dan kita masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Menurut saya, tidak salah jika masyarakat menyadari bahwa tidak ada satu kekuatanpun di dunia ini yang bisa melindungi mereka dari ancaman bom. Apapun yang dikatakan orang, bom akan terus meledak,” ujar ucapan Stanley Baldwin yang pernah tiga kali menjadi Perdana Menteri Inggris di kurun 1923-1937. Begitulah kerentanan kita sebagai warga.
Ketidakpercayaan kepada pemerintah atau badan apapun di pemerintahan tersirat dalam ungkapan itu. Toh para teroris selalu punya cara untuk meledakkan bom, kita selalu tidak terlindungi.

Sikap ini menyiratkan kepasrahan. Seharusnya kita tak boleh menyerah begitu saja. Lihatlah kehati-hatian kita. Sampai ini hari pun kita masih terus diperiksa jika melangkah masuk ke sarana publik. Mobil-mobil kita masih dihentikan di pintu gerbang. Buka pintu, buka bagasi, periksa kolong, dan kita pun harus menyediakan tubuh untuk digerayangi dengan tangan atau pelacak metal. Apa lagi yang tak kita partisipasikan?

But bombs are unbelievable until they actually explode. Dalam Riders in the Chariot, novelis Patrick White melantangkan kalimat ini. Kita tidak bisa percaya, kok ada sih orang yang tega melakukan peledakan dan merengut nyawa orang?

Tampaknya, kita tidak sedang berurusan dengan jenis manusia lain. Kita ternyata sedang berhadapan dengan ujud yang tak berujud, mungkin iblis, atau paham penuh angkara dan rasa sakit hati yang dalam. Kita rupanya tidak berseteru dengan hal-hal nyata yang bisa diraba, tetapi sedang dimusuhi oleh abstraksi yang berkelebat di bawah horison kesadaran. Segaris pola pikir sesat yang menjadi senjata paling berbahaya di muka bumi, kata William Orville Douglas.

Alangkah celaka hidup ini, karena untuk sebuah kebebasan di negeri merdeka, kita harus membayar dengan hilangnya kehidupan itu sendiri. Gelegar bom akan terus membahana. Kita tak bisa berbuat apa-apa. Kehilangan kebebasan adalah malapetaka, dan ketika kebebasan itu tercerabut, maka manusia terperangkap dalam proses rangkuman awal dan akhir kehidupan.

Pada saat-saat begini, kita cuma bisa runduk dalam doa. Ada memang sebersit harap yang bergaung, selalu mumbul setiap kali kita bermusibah, agar petaka tak terulang lagi. Kita sadar ini bukan permainan dan tidak akan menjadi bahan mainan. Kita tak ingin mengikuti pola pikir sinis pengarang AS yang kita kutip di atas, ”Tidak ada kecelakaan, ini cuma alam yang sedang melemparkan beban. Setelah bom meledak, alam akan kembali mengumpulkan kartu-kartu yang berserakan, mengocok serta membaginya lagi, dan mulai dengan permainan baru.”

Miris memang. Ternyata kita tetap tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Juli 2004

C.R.U.M.B.L.I.N.G.D.O.W.N.

Jika Tuhan memang ada,
pastilah Dia mengamatiku saat ini.

Sudah berbulan-bulan aku merasa bukan diri lagi.
Keanehan dan gelegak impuls terangkat ke udara
dalam bentuk gelembung yang mudah terpecah.

Siapakah aku, Han?

Angkara tebal menyatu di ubun
menggerakkan tindak durjana
menghardik kepada siapa saja,
tanpa pikir dan penuh murka.

Masihkah aku manusia, Han?

Hari ini, aku terpukul dan terpental ke sudut.
Dan dalam remang yang padam, kutelaah lagi namaku
dan kupertanyakan takdirMu.

Aku tak lagi mengerti diri
dan makna yang Kau toreh di telapak ini.

Pupus sudah, segala mimpi hilang terbang
dan aku terhuyung-huyung berjalan,
satu langkah, dua langkah
dan gedebum!
Aku terjatuh!

Han, jika Kau memang betul-betul ada,
adakah Kau melihatku?

Medan, Selasa, 5 September 1995

Kamis, April 10, 2008

Kutukan Sepi, Sunyi dan Kelu

Mulutku berkabut di Seattle. Ketika berada di kota itu pada 1991, dingin kerap menggigit tulang. Setiap subuh ketika harus bergerak meninggalkan apartemen, kunaikkan kerah tinggi-tinggi sehingga dagu tenggelam dalam baju. Seperti biasa, aku harus berjalan kaki ke warung McDonald di taman berbunga itu, menyantap breakfast murah dengan menu sederhana, scrambled egg, hash brown, daging sapi dan segelas kopi panas.

Dari jauh, gunung Rainier yang 4.392 meter mengirimkan salju ke hatiku. Ada sepi yang kelu, membersitkan rindu kepada Indonesia dan ingat tatkala menembang lagu Rayuan Pulau Kelapa di bangku SD. Dan terkenang Rini, Bima dan Brama, tiga kecilku yang terpaksa menunda keceriaan bergumul-gumul di tempat tidur. Di sini, di Washington State ini, aku musti mengejar ilmu, untuk dipakai mencari rezeki di tanah air.

Berjalan sendiri di jalur sepi. Mungkin ini memang kodrat anak manusia. Setiap kehidupan memilikinya sebagai sebuah etape yang harus dilalui. Bukan hanya para dewa yang harus digodok di kawah Candradimuka, tetapi manusia lebih lagi. Malah harus lebih dahsyat gojlokannya. Dunia, kata orang-orang bijak, adalah sebuah arena percobaan yang panjang, tempat manusia diuji kepantasan untuk masuk ke alam yang lebih baik atau yang lebih buruk. Surga atau neraka.

Namun surga atau neraka sebenarnya sudah sejak lama bersarang di pikiran manusia. Kitab Bhagavad-Gita mengutip kalimat yang pernah diucapkan, bahwa neraka memiliki tiga pintu gerbang, yaitu nafsu seksual, kemurkaan dan ketamakan. Sementara Salman Rushdie dalam buku Imaginary Homelands mengatakan bahwa dewa, setan, surga dan neraka akan lenyap saat manusia kehilangan kejujuran nurani.

Maka akupun berjalan, sendiri di pagi berembun, menyusuri kaki lima, menendang kaleng-kaleng pepsi-cola dan melindas tissue kumal yang entah bekas siapa di bawah sol sepatu. Langit lembayung Amerika yang memayungi kota tertusuk oleh Space Needle. Surga dan neraka terasa dekat dengan kepala, seakan tersekat di sela-sela keikalan rambut.

Menjalani kodrat dengan pasrah adalah hal yang utama, meski terkesan gemulai tidak bersemangat. Para demonstran yang sering berkeliling di Bundaran Hotel Indonesia pasti tidak menyukai ini. Hidup harus menggerutu, menghardik-hardik, penuh teriak dan ancaman. Harus ada poster-poster yang diacu-acukan ke udara. Protes, bahkan terhadap takdir. Dan hidup memang bukan jalan lurus lempang, melainkan petualangan menunggang roller-coaster.

Sementara di Pike’s Place Market, teriakan lain riuh terdengar. Para penjual ikan itu saling berlemparan ikan, melesat jitu di antara kerumunan pembeli. Tak ada yang meleset, tergelincir atau lepas jatuh ke lantai. Dengan sepiring udang goreng dan sebotol Evian, aku merasa hidup yang aneh sedang menjalar di sini.

Apa sebenarnya yang kita cari? Kebebasan berjalan sendiri dalam kehidupan yang jauh dari sanak ini, mungkin sebuah kutukan. Man is condemned to be free, ujar Jean-Paul Sartre, filsuf Perancis itu dalam Existentialism is a Humanism. Dalamnya mungkin ada keindahan, selebihnya hanya sepi, sunyi dan dingin. Maka tulangku gemeretuk dan mulut semakin berasap, berkabut-kabut. Jemari yang menggapai, beku kaku dilumuri salju.

31 Juli 2004

Lunch in the Rain


Han,
tertatih-tatih aku takut
mengerling gerai rambutmu.
Di saat hari yang keras
malam yang sibuk
komplit menyiksa kita.
Ah, jiwaku yang liar
Mengapa pula ia menghinggapi jiwa polosmu?

Menteng Plaza, 18 Maret 2004

Selasa, April 08, 2008

GESANG : MENGALIR MELUAP SAMPAI JAUH

Penulis : IzHarry Agusjaya Moenzir
Illustrasi Sampul : Syaukat Banjaransari
Desain Sampul : Andi Rivai & David Harlen
Penyunting : Venus Khasanah
Tata Letak : Rinda Olina

ISBN : 979-6 66-279-5
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Diterbitkan oleh : Yayasan Penerbit Biografi Indonesia, PT Balai Pustaka (Persero),
Bank Duta dan Direktorat Jenderal Seni & Budaya, Departemen Pariwisata Seni & Budaya

Cetakan Pertama, September 1998
Dicetak oleh : PT Balai Pustaka
________________________________________________________________________________
“Aku percaya,
bumi emas tanah airku
sepanjang masa ‘kan menghijau selalu.
Dan di sana, ,
hutan-hutan rimbun memanggil hujan......”

Kr. Bumi Emas Tanah Airku - Gesang (1963)
________________________________________________________________________________
Ketika Hujan Turun di Surakarta

1 . Selamat Tinggal, Soetadi!

Besok aku akan dibawa ke dokter. Bapak dan ibu sudah mengatakan demikian. Keputusan itu bukan hal yang biasa, mengingat selama ini penyakit yang kuderita cukup diusir dengan ramuan kampung. Apa boleh buat, penyakitku semakin hari semakin melemahkan sendi, dan kelihatannya tidak bisa disembuhkan oleh jamu dan rebusan dedaunan. Harus dicari jalan keluar yang lain.

Memang, sejak lahir pada 1 Oktober 1917 itu, badanku sering demam tanpa sebab. Setiap bulan panas tubuhku kambuh, seakan berlangganan saja layaknya. Demam tinggi, mata berair dan bibir pecah-pecah berdarah. Perih sariawan itulah yang membuat aku sering menangis.

Meski tubuhku panas, namun angin yang menyelusup lewat kisi-kisi dan bawah daun pintu selalu membuat aku menggigil dingin. Guna menangkalnya, aku hanya bisa melipat kedua belah tangan di depan dada dan meringkukkan kaki dalam-dalam.

Di luar, malam yang jatuh semakin terpuruk ke dalam sunyi. Hanya gemeretuk gigiku yang mengganggu keheningannya, terdengar keras hingga ke ujung jalan. Mataku nanar, mengecil panas. Racauan bibirku menyangkutkan erangan di langit-langit kamar. Serasa ada gelembung-gelembung kapas di sana, besar dan kecil berganti-ganti. Terkadang meletus dan pecah bertaburan. Dinding bergerak kencang layak komedi putar. Di dalamnya aku terperangkap tanpa dapat berbuat apa-apa. Aku menangis lagi, lebih keras.

Pintu terbuka dan berkas-berkas cahaya menyambar. Sesosok tubuh bergegas mendekati. Punggung tangannya yang dingin menempel di keningku. Aku melenguh seperti kerbau.

“Wah, panasnya naik lagi. Dikompres ya, Di?” Sapa ibu lembut.

Aku tak mengerti ucapannya. Usiaku belum cukup untuk mengartikan sebuah kalimat. Tetapi aku mengerti kelembutan suara dan arti sentuhan. Itulah penyambung rasa dan jiwa antara anak dan orangtua.
Hingga kini, aku tidak pernah tahu apa nama penyakitku itu. Meski kedatangannya mirip seorang sahabat yang menjenguk setiap bulan, aku tak mengenalnya. Terkadang dia pergi begitu saja, tanpa pamit dan tak berkata apa-apa. Atau berlalu setelah aku meminum cairan pahit yang digodok mbakyu Sukarti. Namun tak jarang ia menetap, bandel menggerogoti dari dalam, membuat aku terkapar di batas kesadaran. Jika sudah demikian, maka hanya suntikan jarumlah yang bisa menghalau.

Dokter tua berkacamata itu memeriksaku tanpa kata. Keningnya berkerut. Kemudian dengan tersenyum dia mengambil jarum besar, dan tanpa tedeng aling-aling menusukkannya ke pantatku. Aku menangis dan dia berlalu. Kepada bapak dibungkuskannya obat yang lebih pahit daripada jamu buatan mbakyu. Serbuk putih itu harus kutelan dengan segala cara, agar segera memulihkan kondisi.

Aku selalu menggerutu melihat puyer itu. Rasa pahit yang tersekat di celah-celah gigi sangat mungkin membuat muntah. Karenanya, sebuah pisang atau permen akan sangat membantu dalam proses makan obat yang menjemukan itu. Namun demikian, diam-diam aku berterimakasih juga, karena dua hari kemudian selera makanku mulai timbul. Bubur dengan kecap bisa lancar masuknya. Dan di hari ke empat wajahku kembali cerah dan geliatku penuh, kembali bertenaga.

Tetapi, begitulah. Bulan depan, aku pasti terbaring lagi tanpa daya, diserang lagi oleh demam yang sama, berulang kali sepanjang tahun. Maka seperti yang dituturkan kepadaku, bapak kemudian mengusulkan pergantian nama, karena nama Soetadi bisa jadi tak cocok buatku.

“Siapa tahu namanya keberatan, ujar bapak kepada ibu.
“Mas ini bagaimana ya? Nama itu kan sudah bagus.”
“Ya, aku tahu. Tapi nggak ada salahnya juga diganti.”
“Nama itu pemberian mbahnya. Jangan diganti sembarangan.”
“Ya nggak sembarangan to. Bilangin saja kita mau ganti. Rasanya mereka akan mengerti. Kita kan ingin anak ini sehat dan hidup panjang umur.”

Ibu akhirnya manggut. Meski nama Soetadi pemberian mbah kakung itu cukup bagus dan enak didengar, tetapi bapak tetap berkeras untuk menggantinya, agar aku sehat sepanjang masa. Bagiku, hal itu tidak bermakna apa-apa. Sama saja. Mungkin mereka benar, nama punya hubungan dengan cara dan jalan hidup. Si sakit-sakitan bisa sembuh dengan pergantian nama.

Maka ketika bubur merah-putih dihidangkan kepada seluruh handai tolan yang diundang datang, punahlah Soetadi, nama yang diberikan semenjak aku lahir. Selamat tinggal nama lahirku! Namaku lantas berganti dengan Gesang, sesuatu yang sangat jelas maknanya. Ketakutan keluarga, yaitu bila sewaktu-waktu aku tak bisa meneruskan hidup hanya karena nama Soetadi terlampau berat, membuat mereka mengambil keputusan, bahwa putera bungsu keluarga Martodihardjo ini harus disinonimkan dengan kehidupan itu sendiri.

Dalam bahasa Jawa, gesang berarti hidup. Pastilah mereka mengharap agar penyakit tak akan menghentikan nyawaku. Aku harus hidup, sesuai namaku. Dan boleh percaya boleh tidak, setelah nama Gesang dilekatkan ke diriku, aku tak sakit-sakit lagi. Meski tubuhku tidak sekekar mas Jawahir dan mas Yazid, namun untuk jatuh sakit tidak lagi segampang dulu.

Bagiku, kepercayaan masyarakat Jawa itu terasa benar adanya. Nama identik dengan nasib, berkaitan langsung dengan takdir dan bisa mendatangkan keuntungan. Mudah-mudahan.
(bersambung ke bagian 2: Kepergian Putri Rembulan)