Senin, April 28, 2008

GONJING (Unauthorized Biography of Soeharto)

________________________________________________________________________________
"Kembali kepada warga negara biasa, itu tentunya juga lebih terhormat,
tidak kurang terhormat daripada Presiden,
asalkan bisa memberikan pengabdian kepada negara dan bangsa.
Jadi diharapkan,
jangan dinilai saya sebagai penghalang daripada semuanya.
Tidak sama sekali!"- Soeharto
________________________________________________________________________________
1. Sanggupkah Habibie?

Kuning emas. Itulah warna pagi di Kamis 22 Mei tahun 1998 hari ini. Matahari yang bertengger di pangkal Timur menyemburatkan cahaya pada langit biru muda, bersih tanpa sepotong awan. Saya amati keleluasaan itu dari halaman belakang, saat menggelitik si beo yang setia dengan potongan jagung.

Hari ini saya punya waktu yang panjang untuk bercengkerama dengannya. Tidak perlu bergesa-gesa, seperti beratus dan beribu hari yang telah lalu. Dengan masih berkain sarung, saya nikmati pagi yang mewah ini. Sungguh sudah sangat lama hal itu luput dari diri. Sepanjang ingatan, pagi mewah seperti ini terakhir kali saya nikmati di Kemusuk, sewaktu masih kecil dulu.


Di dusun kecil tempat kelahiran itu, suasana pagi selalu menjadi hiburan alami. Garis-garis sinar memenggal-menggal gugusan awan sehingga terlihat bagai permainan cahaya, menjadi lukisan yang menakjubkan mata. Ada kedamaian di sana, milik setiap warga desa yang paling hakiki.


Pagi ini, kedamaian itu kembali menyentuh sanubari. Terimakasih Tuhan, telah Kau bebaskan diri dari sebuah rutinitas. Terimakasih atas matahari itu, langit bersih dan kelegaan ini. Biarlah saya nikmati hari pertama menjadi seorang warga biasa, tidak lagi sebagai Presiden.


Setelah 32 tahun memimpin bangsa, dalam segala bentuk suka dan duka, saya akhirnya punya waktu untuk diri sendiri. Di hari tua ini, di ujung perjalanan usia, akan saya rasakan kembali kenikmatan memiliki diri sendiri, sesuatu dari masa lalu yang pernah hilang, meski samar dan berbaur lengang.


Akhir-akhir ini, kelengangan terasa sangat dominan menguasai lingkup seputar saya. Kemarin di Istana Negara, hal yang sama juga terjadi, ketika atas keyakinan yang datang menjelma, beban tugas memimpin bangsa saya turunkan dari pundak. Saya menyatakan berhenti dari jabatan Presiden. Cukuplah semuanya. Saya kapok. Sudah saya coba berikhtiar dengan segala upaya, namun kelihatannya tidak ada lagi orang-orang yang benar-benar bisa teguh berdiri di belakang saya. Bahkan Akbar Tandjung dan belasan teman-temannya yang masih berstatus Menteri secara tertulis menolak untuk saya dudukkan di kabinet baru. Apa ini?


Saya tiba-tiba merasa adanya sebuah kekuatan dahsyat yang sedang menghantam saya. Para mahasiswa masih menduduki gedung MPR, semakin hari semakin membesar dengan penggabungan unsur kekuatan lain. Pria bawel Amin Rais yang pernah saya bantu juga ada di sana. Emil Salim yang selama ini pendiam secara mendadak bersuara lantang. Harmoko yang dulu selalu menunduk-nunduk, kini mulai menyengirkan gigi.


Namun mereka tidak saya masukkan dalam pertimbangan. Satu-satunya alasan saya berhenti hanyalah rakyat. Saya ingin anak bangsa di negara yang berdaulat ini dapat merasa tenteram tanpa dibayangi rasa takut.


Jika saya memang dianggap sebagai penghalang, saya mundur. Dan secara konstitusional, jabatan saya serahkan kepada wakil presiden. Memang ada rasa ringan saat menyerahkan tampuk itu kepada Habibie, tapi hanya sebintik kecil. Hati saya masygul. Kuatir. Sanggupkah dia?


Sendi-sendi tubuh saya terasa ngilu jika memikirkan itu. Bisakah Habibie memperbaiki kecentangperenangan yang sudah terjadi, yang penuh kobar api dan jerit tangis itu? Apakah ini merupakan jalan penyelesaian daripada masalah? Adakah jaminan bahwa kerusuhan seperti 14 Mei tidak akan timbul lagi? Siapa tahu, nanti Habibie juga harus mundur lagi.


Kalau begitu terus menerus, dan hal itu menjadi kejadian yang berulang dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, dengan sendirinya negara dan bangsa kita akan kacau, seolah-olah tidak mempunyai landasan dalam menjamin kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Sedangkan kita memiliki dasar Pancasila dan UUD 45. Berarti memiliki konstitusi. Kalau konstitusi itu tidak dipegang teguh oleh setiap warganegara, tentu daripada negara dan bangsa akhirnya akan menjadi tidak akan langgeng. Ganti-berganti akan membawa akibat ada yang setuju atau tidak, yang berarti akan membawa pertentangan lebih tajam, mungkin sampai kepada pertumpahan darah, mungkin juga sampai pada perang saudara dan lain sebagainya.


Kalau ini terjadi, siapa yang rugi? Tentu juga daripada bangsa kita sendiri. Semua akhirnya menjadi sebuah ketidakpastian yang mutlak. Seperti saya, mereka juga sadar, pada setiap saat, kapan saja dan di mana saja, bisa terjadi bentrokan keras yang menelan korban.


Ah, alangkah merah darah mereka. Helaan napas yang panjang membuat rongga hidung saya terasa panas. Meski saya tahu bentrokan itu tidak akan sampai ke mari, tapi hati saya telah cabik-cabik. Ya Allah, berilah keampunan pada keangkaraan kami. Berikan arah kepada rakyat negeri ini, tunjukkan cara untuk berbicara, menyelesaikan segala masalah-masalah bangsa dengan komunikasi yang baik.


Seandainya saja setiap orang kini mendongakkan kepala ke atas dan melihat langit emas yang cerah ini, mungkin tiada lagi kesumat dan hujat yang dilontarkan. Semua akan memiliki kedamaian, sesuatu yang datang dari-Mu Tuhan, untuk dinikmati.

(1999 - Bersambung ke Bagian 2. Tinggal Gelanggang Colong Melayu)

Tidak ada komentar: