Selasa, April 08, 2008

GESANG : MENGALIR MELUAP SAMPAI JAUH

Penulis : IzHarry Agusjaya Moenzir
Illustrasi Sampul : Syaukat Banjaransari
Desain Sampul : Andi Rivai & David Harlen
Penyunting : Venus Khasanah
Tata Letak : Rinda Olina

ISBN : 979-6 66-279-5
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Diterbitkan oleh : Yayasan Penerbit Biografi Indonesia, PT Balai Pustaka (Persero),
Bank Duta dan Direktorat Jenderal Seni & Budaya, Departemen Pariwisata Seni & Budaya

Cetakan Pertama, September 1998
Dicetak oleh : PT Balai Pustaka
________________________________________________________________________________
“Aku percaya,
bumi emas tanah airku
sepanjang masa ‘kan menghijau selalu.
Dan di sana, ,
hutan-hutan rimbun memanggil hujan......”

Kr. Bumi Emas Tanah Airku - Gesang (1963)
________________________________________________________________________________
Ketika Hujan Turun di Surakarta

1 . Selamat Tinggal, Soetadi!

Besok aku akan dibawa ke dokter. Bapak dan ibu sudah mengatakan demikian. Keputusan itu bukan hal yang biasa, mengingat selama ini penyakit yang kuderita cukup diusir dengan ramuan kampung. Apa boleh buat, penyakitku semakin hari semakin melemahkan sendi, dan kelihatannya tidak bisa disembuhkan oleh jamu dan rebusan dedaunan. Harus dicari jalan keluar yang lain.

Memang, sejak lahir pada 1 Oktober 1917 itu, badanku sering demam tanpa sebab. Setiap bulan panas tubuhku kambuh, seakan berlangganan saja layaknya. Demam tinggi, mata berair dan bibir pecah-pecah berdarah. Perih sariawan itulah yang membuat aku sering menangis.

Meski tubuhku panas, namun angin yang menyelusup lewat kisi-kisi dan bawah daun pintu selalu membuat aku menggigil dingin. Guna menangkalnya, aku hanya bisa melipat kedua belah tangan di depan dada dan meringkukkan kaki dalam-dalam.

Di luar, malam yang jatuh semakin terpuruk ke dalam sunyi. Hanya gemeretuk gigiku yang mengganggu keheningannya, terdengar keras hingga ke ujung jalan. Mataku nanar, mengecil panas. Racauan bibirku menyangkutkan erangan di langit-langit kamar. Serasa ada gelembung-gelembung kapas di sana, besar dan kecil berganti-ganti. Terkadang meletus dan pecah bertaburan. Dinding bergerak kencang layak komedi putar. Di dalamnya aku terperangkap tanpa dapat berbuat apa-apa. Aku menangis lagi, lebih keras.

Pintu terbuka dan berkas-berkas cahaya menyambar. Sesosok tubuh bergegas mendekati. Punggung tangannya yang dingin menempel di keningku. Aku melenguh seperti kerbau.

“Wah, panasnya naik lagi. Dikompres ya, Di?” Sapa ibu lembut.

Aku tak mengerti ucapannya. Usiaku belum cukup untuk mengartikan sebuah kalimat. Tetapi aku mengerti kelembutan suara dan arti sentuhan. Itulah penyambung rasa dan jiwa antara anak dan orangtua.
Hingga kini, aku tidak pernah tahu apa nama penyakitku itu. Meski kedatangannya mirip seorang sahabat yang menjenguk setiap bulan, aku tak mengenalnya. Terkadang dia pergi begitu saja, tanpa pamit dan tak berkata apa-apa. Atau berlalu setelah aku meminum cairan pahit yang digodok mbakyu Sukarti. Namun tak jarang ia menetap, bandel menggerogoti dari dalam, membuat aku terkapar di batas kesadaran. Jika sudah demikian, maka hanya suntikan jarumlah yang bisa menghalau.

Dokter tua berkacamata itu memeriksaku tanpa kata. Keningnya berkerut. Kemudian dengan tersenyum dia mengambil jarum besar, dan tanpa tedeng aling-aling menusukkannya ke pantatku. Aku menangis dan dia berlalu. Kepada bapak dibungkuskannya obat yang lebih pahit daripada jamu buatan mbakyu. Serbuk putih itu harus kutelan dengan segala cara, agar segera memulihkan kondisi.

Aku selalu menggerutu melihat puyer itu. Rasa pahit yang tersekat di celah-celah gigi sangat mungkin membuat muntah. Karenanya, sebuah pisang atau permen akan sangat membantu dalam proses makan obat yang menjemukan itu. Namun demikian, diam-diam aku berterimakasih juga, karena dua hari kemudian selera makanku mulai timbul. Bubur dengan kecap bisa lancar masuknya. Dan di hari ke empat wajahku kembali cerah dan geliatku penuh, kembali bertenaga.

Tetapi, begitulah. Bulan depan, aku pasti terbaring lagi tanpa daya, diserang lagi oleh demam yang sama, berulang kali sepanjang tahun. Maka seperti yang dituturkan kepadaku, bapak kemudian mengusulkan pergantian nama, karena nama Soetadi bisa jadi tak cocok buatku.

“Siapa tahu namanya keberatan, ujar bapak kepada ibu.
“Mas ini bagaimana ya? Nama itu kan sudah bagus.”
“Ya, aku tahu. Tapi nggak ada salahnya juga diganti.”
“Nama itu pemberian mbahnya. Jangan diganti sembarangan.”
“Ya nggak sembarangan to. Bilangin saja kita mau ganti. Rasanya mereka akan mengerti. Kita kan ingin anak ini sehat dan hidup panjang umur.”

Ibu akhirnya manggut. Meski nama Soetadi pemberian mbah kakung itu cukup bagus dan enak didengar, tetapi bapak tetap berkeras untuk menggantinya, agar aku sehat sepanjang masa. Bagiku, hal itu tidak bermakna apa-apa. Sama saja. Mungkin mereka benar, nama punya hubungan dengan cara dan jalan hidup. Si sakit-sakitan bisa sembuh dengan pergantian nama.

Maka ketika bubur merah-putih dihidangkan kepada seluruh handai tolan yang diundang datang, punahlah Soetadi, nama yang diberikan semenjak aku lahir. Selamat tinggal nama lahirku! Namaku lantas berganti dengan Gesang, sesuatu yang sangat jelas maknanya. Ketakutan keluarga, yaitu bila sewaktu-waktu aku tak bisa meneruskan hidup hanya karena nama Soetadi terlampau berat, membuat mereka mengambil keputusan, bahwa putera bungsu keluarga Martodihardjo ini harus disinonimkan dengan kehidupan itu sendiri.

Dalam bahasa Jawa, gesang berarti hidup. Pastilah mereka mengharap agar penyakit tak akan menghentikan nyawaku. Aku harus hidup, sesuai namaku. Dan boleh percaya boleh tidak, setelah nama Gesang dilekatkan ke diriku, aku tak sakit-sakit lagi. Meski tubuhku tidak sekekar mas Jawahir dan mas Yazid, namun untuk jatuh sakit tidak lagi segampang dulu.

Bagiku, kepercayaan masyarakat Jawa itu terasa benar adanya. Nama identik dengan nasib, berkaitan langsung dengan takdir dan bisa mendatangkan keuntungan. Mudah-mudahan.
(bersambung ke bagian 2: Kepergian Putri Rembulan)

Tidak ada komentar: