Jumat, April 11, 2008

Miris

There are no accidents, only nature throwing her weight around.
After the bomb, nature will pick up the cards we have spilled,
shuffle them, and begin her game again.
- Camille Paglia

Miris. Begitu setiap kita mendengar gelegar ledakan. Ada perasaan tercabik-cabik, jatuh pada kebimbangan dan kenestapaan. Alangkah dunia menjadi tempat tidak aman dan nyaman, tidak mampu memberi jaminan keselamatan anak manusia. Tidak hanya di Irak dan New York, tetapi juga di Bali dan Jakarta. Di sebarang tempat. Di seluruh penjuru. Dan kita tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Kita hanya mendengar gelegar membahana. Bubungan asap. Runtuhnya kaca-kaca jendela. Pagar dan bangunan yang terkuak dan sompal. Bau daging terbakar, serpihan tubuh manusia. Darah, airmata dan kepiluan. Tragedi yang pada tahun-tahun belakangan ini jadi sangat akrab, layak tamu yang berkunjung pada waktu-waktu tertentu. Dan kita masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Menurut saya, tidak salah jika masyarakat menyadari bahwa tidak ada satu kekuatanpun di dunia ini yang bisa melindungi mereka dari ancaman bom. Apapun yang dikatakan orang, bom akan terus meledak,” ujar ucapan Stanley Baldwin yang pernah tiga kali menjadi Perdana Menteri Inggris di kurun 1923-1937. Begitulah kerentanan kita sebagai warga.
Ketidakpercayaan kepada pemerintah atau badan apapun di pemerintahan tersirat dalam ungkapan itu. Toh para teroris selalu punya cara untuk meledakkan bom, kita selalu tidak terlindungi.

Sikap ini menyiratkan kepasrahan. Seharusnya kita tak boleh menyerah begitu saja. Lihatlah kehati-hatian kita. Sampai ini hari pun kita masih terus diperiksa jika melangkah masuk ke sarana publik. Mobil-mobil kita masih dihentikan di pintu gerbang. Buka pintu, buka bagasi, periksa kolong, dan kita pun harus menyediakan tubuh untuk digerayangi dengan tangan atau pelacak metal. Apa lagi yang tak kita partisipasikan?

But bombs are unbelievable until they actually explode. Dalam Riders in the Chariot, novelis Patrick White melantangkan kalimat ini. Kita tidak bisa percaya, kok ada sih orang yang tega melakukan peledakan dan merengut nyawa orang?

Tampaknya, kita tidak sedang berurusan dengan jenis manusia lain. Kita ternyata sedang berhadapan dengan ujud yang tak berujud, mungkin iblis, atau paham penuh angkara dan rasa sakit hati yang dalam. Kita rupanya tidak berseteru dengan hal-hal nyata yang bisa diraba, tetapi sedang dimusuhi oleh abstraksi yang berkelebat di bawah horison kesadaran. Segaris pola pikir sesat yang menjadi senjata paling berbahaya di muka bumi, kata William Orville Douglas.

Alangkah celaka hidup ini, karena untuk sebuah kebebasan di negeri merdeka, kita harus membayar dengan hilangnya kehidupan itu sendiri. Gelegar bom akan terus membahana. Kita tak bisa berbuat apa-apa. Kehilangan kebebasan adalah malapetaka, dan ketika kebebasan itu tercerabut, maka manusia terperangkap dalam proses rangkuman awal dan akhir kehidupan.

Pada saat-saat begini, kita cuma bisa runduk dalam doa. Ada memang sebersit harap yang bergaung, selalu mumbul setiap kali kita bermusibah, agar petaka tak terulang lagi. Kita sadar ini bukan permainan dan tidak akan menjadi bahan mainan. Kita tak ingin mengikuti pola pikir sinis pengarang AS yang kita kutip di atas, ”Tidak ada kecelakaan, ini cuma alam yang sedang melemparkan beban. Setelah bom meledak, alam akan kembali mengumpulkan kartu-kartu yang berserakan, mengocok serta membaginya lagi, dan mulai dengan permainan baru.”

Miris memang. Ternyata kita tetap tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Juli 2004

Tidak ada komentar: