Kamis, April 03, 2008

Kecemasan di tengah Keemasan

“Ah well, perhaps one has to be very old
before one learns how to be amused rather than shocked”
- Pearl Buck
Tujuh tahun lalu, saya merasa terpaksa ketika mengunjungi Batam. Persinggahan saya di kota pulau ini hanyalah karena kepentingan berhemat, karena dengan menyinggahi Batam, saya dan keluarga hanya perlu membayar fiskal 100.000 rupiah per orang, agar dapat menyeberang ke Singapura.

Batam adalah kota yang kering, ketika itu. Gunung gundul terselip di antara hutan-hutan yang semakin ciut. Panas dan gersang. Saya berkeringat. Tidak ada objek pandang yang membuat lega. Sehingga untunglah saya cuma singgah.

Bulan lalu, saya datang lagi di Batam. Sejak dari bandara Hang Nadim, syaraf saya dipaksa mengingat-ingat gambaran yang pernah tercetak di batang pikiran. Saya masih ingat Nagoya (karena namanya bernuansa Jepang), saya masih ingat Jodoh (karena namanya unik) dan masih terkenang Bukit Senyum (karena dari situ bayang-bayang Singapura dapat terlihat). Selebihnya saya tidak kenal.

Batam yang kini terpampang di mata adalah Batam yang totally different. Terperanjat memang, tetapi saya tiba-tiba merasa tidak dalam keadaan terpaksa. Ada geliat aneh di ranah ini. Pulau yang pernah saya kunjungi ini, sekarang telah melakukan metamorfosis yang mengundang beratus-ratus pertanyaan.

Dan saya menyukainya.

Secara fisik, Batam kini adalah emas. Gedung-gedung tinggi bertingkat bermunculan, layak mencuat begitu saja pada suatu malam dari perut bumi. Roda kehidupan berputar cepat, dari pagi ke pagi, tiada henti. Hampir setiap sudut kota berjaga, setia menunggu matahari pagi, seperti juga warung-warung pujasera yang terus terbuka hingga subuh. Inilah kota yang penuh desah nafas.

Dari segi penampilan, Batam ibarat gadis bergincu dan berpupur tebal, dengan giwang bulat besar bertengger di kedua belah telinga. Menggiurkan. Sebagai teras wilayah republik yang dekat ke Singapura, Batam society secara sempurna meng-copy kota jirannya. Mulai dari mobil, rumah, lifestyle hingga kehidupan malam menggeliat manja di sini.

Karakter kota yang menjadi bagian provinsi Kepulauan Riau ini menjadi aneh. Inilah pulau yang mampu memenuhi seribu keinginan. Hampir semua kemungkinan bisa terjadi di sini, karena kota ini memang menawarkan peluang. Magic place of dream where everything is possible.

Dan saya terkaget-kaget.

Sebagai kota dari provinsi termuda, Batam sedang beranjak dari satu fase ke fase berikutnya. Pulau yang tidak lagi bisa tidur ini menyuguhkan keperawanannya untuk disentuh. Meski Peraturan Daerah Kependudukan (Perdaduk) -yang melarang warga daerah lain memasuki Batam- sedang digalakkan, percayalah, tak ada yang bisa membendung orang menuju ke kesempurnaan. Modernisasi terus berjalan dengan langkah tegap.

Apa boleh buat. Memang sudah begitu jalan ceritanya. Baik atau jelek, semua sudah hadir di Batam. Kehidupan malam Jakarta mungkin tak sehebat ini. Layak pendulum yang bergerak ekstrim dari satu sisi ke sisi lainnya, begitulah Batam mendentangkan genta di pikiran saya. Para turis asing, terutama dari Singapura, berjejal-jejal di pulau persinggahan ini. Di sinilah pelacuran marak. Perjudian mengiringi. Penyelundupan menyertai. Quo vadis?

Dan saya cemas.

Tetapi kalimat Pearl Buck, novelis Amerika yang pernah meraih Nobel dan Pulitzer, dalam China, Past and Present sedikit menghibur saya. “Seseorang perlu menjadi tua sebelum tahu cara terpesona, ketimbang hanya terkaget-kaget,” tulisnya. Dan saya sadar, ini cuma kecemasan saya di tengah keemasan Batam.
Tajuk Harian Sijori Mandiri, Agustus 2004

Tidak ada komentar: