Minggu, April 20, 2008

Obituari : Jaffar Siddiq Hamzah

Hakikat Hidup dan Nilai Tajarud

“Aceh Nanggroe Darussalam, land of the free, home of the brave......”

Jika aral tak merintangi, pada 8 Februari 2007 ini, Irwandi Yusuf pastilah dilantik sebagai Gubernur Aceh Nanggroe Darussalam. Serentak bersama pria tegar itu, akan dilakukan juga penabalan para Kepala Daerah di Serambi Mekah. Sebuah ganjaran bagi perjuangan panjang, yang tak pernah lekang di musim panas dan lapuk di musim hujan? Semata-mata nilai kemenangan seperti itukah yang dituju oleh orang-orang konsisten dalam cita-cita tajarud.

Ada perasaan yang terhenyak ke pelosok kosong ketika hal ini menjadi buah pemikiran. Aceh sebagai suku dan Aceh sebagai area, telah lama bertungkus-lumus mencari nilai kebebasannya. Kebebasan yang kemudian sering dimuradifkan dengan kemerdekaan. Kemerdekaan yang jadi momok pihak lain dan kemerdekaan yang dilarang. Sementara pencarian akan kebebasan itu telah membuat manusia-manusia yang tak pernah menggeram, menjelma menjadi sosok-sosok yang selalu menggemeretakkan rahang dan mengeraskan dagu. Mata yang sayu pun menyiratkan api. Mereka bakar apa yang jadi aral, mereka hanguskan dalam kobaran. Warna paras yang keras.

Bandara Changi Singapura, 17 Agustus 1991. Inilah yang membawa pikiranku kembali ke saat bertemu Jaffar Siddiq Hamzah di Changi. Dalam waktu dua jam, langit akan merekah. Di tengah keterburu-buruan mengejar pesawat United Airlines menuju Taipei, sebuah suara menyapa pelan.

“Maaf. Abang dari Indonesia, ya?” Aku menoleh dan mendapatkan wajah keras seorang pria kurus berkulit hitam. Kacamatanya besar dan rahangnya menyiku, hampir 90 deradjat. “Aya sudah perhatikan Abang dari tadi. Pasti abang orang Indonesia,” sambungnya.

Bah! Ternyata tujuan kami sama, menuju San Francisco dengan pesawat UA 826. Via Taipei. Kalau begitu ceritanya, marilah kita duduk bersebelahan. Sehingga dalam masa belasan jam, kita bisa bertukar kisah. Kata Jaffar, dia orang Aceh. Dari pelafasannya aku sudah tahu sejak awal. Tujuannya Bouder, AS, untuk memperdalam Ilmu Hukum. Kami akan berpisah di San Francisco, karena aku menuju Chicago untuk kemudian ke Washington DC.

Sungguh subuh yang luar biasa. Mendapatkan Jaffar sebagai kawan, rasa kantukku hilang. Jaffar memeriahkan pesta proklamasiku. Meski terkesan diam, Jaffar punya banyak kisah menarik. Klop denganku yang banyak kecek. Aktivis bertemu wartawan, tak beda lepat pisang bertemu daun, lengket satu sama lain, membuat kami tak tidur sepanjang terbang, bertutur tentang hakikat kehidupan dan nilai kebebasan.

Jaffar memang sangat Aceh. Tinggal di Lhokseumawe. Dia memandang hormat kepada kehidupan dan sangat mengagungkan kebebasan. Dia ingin Aceh memiliki semua itu kembali. Sudah lama itu jadi impian kelompoknya.

“Tapi aya bukan GAM, Bang,” sergahnya. Mungkin dia melihat sekilas ruas ragu di kilatan tatapku. Maklumlah, saat itu semua orang takut pada pihak-pihak garis keras yang memegang senjata, baik GAM, maupun tentara. Dan Jaffar bukan tentara. Dia berdiri di warna abu-abu, tidak menjadi hitam atau putih. Dia cuma anak Indonesia yang berkeinginan melihat segalanya melalui suryakanta hukum, melihat kesalahan sebagai sesuatu yang harus diberi pinalti dan melihat kebenaran sebagai sesuatu yang harus dibela.

Apakah GAM itu sesungguhnya bertindak benar? Apakah tentara itu hakikatnya bersikap betul? Jaffar pasti punya jawaban. Cuma tiba-tiba dia menjadi tidak-fasih. Mungkin hatinya bimbang, sehingga perlu berhati-hati bicara. Jika merasa tidak pasti dengan kalimat pilihannya, dia memilih diam. Namun dia tak pernah bisa menyembunyikan bahasa tubuhnya. Terutama ketika mengepal jemari saat mengisahkan nilai kebebasan.

Hingga tiba di San Francisco International Airport, aku merasa sudah bisa memasuki sukma Jaffar. Aku tahu denyut jantung dan tarikan napasnya. Aku hapal jumlah bekas jerawat yang ada di wajahnya. Aku yakin dia bukan GAM. Tapi dia tak pernah menyalahkan GAM. Yang pasti, dia bukan tentara dan juga tak mengatakan tentara bertindak salah.

Kami beriringan di sepanjang koridor menuju gerbang pemeriksaan paspor. Dia terpisah dan tak terlihat di teras ruang tunggu. Meski celingukan, aku tak bisa menemu bayangnya. Sosok kecilnya hilang di tengah keramaian bule dan negro yang bongsor. Dan aku tak segera bisa melupakan Jaffar. Khawatir dia akan menemui kesulitan mencari penginapan atau bus menuju Bouder. Kucoba menindih perasaan. Jaffar pasti aman-aman saja. Suatu saat, sepulang dari Bouder, pastilah dia akan lebih bijak memilah-milah kebenaran dan kesalahan, sehingga bisa menyumbangkan hukum yang bersih, untuk Indonesia-nya dan Indonesia-ku.

*

Kantor Harian Waspada, April 1993. Satpam tempatku bekerja bilang, ada tamu yang mau ketemu. Jaffar Siddiq Hamzah. Berwajah optimis. Dijabatnya tanganku erat. Kuraih bahunya dan kupeluk tubuhnya dalam-dalam. Malam itu kami berkisah lagi habis-habisan, tentang hidup dan cita-cita kebebasan, tentang penindasan yang tak pernah henti. Tentang pengalaman di luar negeri dan Aceh yang tetap di titik nadir. Kemana kita akan pergi?

“Aya mau ke Lhokseumawe dulu, Bang. Melihat orangtua.” Jawabannya sederhana dan jitu. Jaffar tak bicara tentang Aceh yang ingin merdeka, karena bayang-bayang itu belum mengkristal. Betapapun dia berhasil menggambarkan kehidupan nisbi para inong bale dengan anak-anak tanpa ayah, namun tak ada carut marutnya dalam menuturkan karut marut Aceh. Jaffar berkisah datar, meski suaranya menggeletar menghadapi ketidakpastian hari esok. Masa depan Aceh memang tak bisa dibayang, apalagi dirancang. Beratus-ratus nyawa telah melayang, beratus-ratus insan hidup meregang, terpanggang dalam desir peluru dan ancaman mati di tikungan jalan. Baginya, kepastian yang pendek adalah mentakzimkan ayah dan ibu yang ada di kampung, melepas rindu dan merunduk memohon restu.

*

Medan ­1994 - 1996. Kami semakin sering bersama. Hampir setiap pagi kami duduk di warung sudut jalan di depan kantor LBH, makan nasi soto atau kari kambing. Jaffar sudah berpraktek hukum, membela beberapa perkara dan masuk sebagai anggota tim pembela Muchtar Pakpahan. Dia sering meminjam handycam-ku untuk merekam penindasan terhadap wanita dan kanak-kanak pekerja.

Dia kenalkan pacar Pilipina-nya. Gadis berkacamata dengan gerai rambut lurus. Perempuan yang bermukim di Amerika ini sedang menulis skripsi tentang Aceh. Jaffar membantu dan ingin mengawininya. Silahkan, saranku. Tapi karena kawin butuh uang, kami pun mencari investor untuk membangun perumahan warga asing di Lhokseumawe. Jaffar sangat serius, meskipun akhirnya bisnis itu gagal dan dia cuma bisa buka warung kecil di depan UMSU.

“Aya cari uang bukan cuma untuk kawin, tapi untuk bantu adik-adik juga,” katanya. Jaffar akhirnya memang menikahi perempuan Pilipina-nya dan berangkat ke Amerika menemui mertua. Sebelum berangkat dia datang bersama Syarifuddin, adiknya.
“Aya mau pamit Bang. Siapa tahu ndak jumpa lagi.”

Maka, Jaffar pun pergi, hilang dalam gelap malam. Aku sama sekali tak khawatir, karena dia akan segera menuju negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Land of the free and a home of the brave. Aku sama sekali tak menindih perasaan, karena Jaffar pasti bahagia.

*

Jakarta, Agustus 2000. Sepulang dari gedung MPR mengikuti Sidang Tahunan hari ke dua, jantungku bergemuruh. Radio Trijaya tempatku bekerja sebagai Pemimpin Redaksi menyiarkan berita yang meruntuhkan kalbu. Jafar Siddiq Hamzah dilaporkan hilang! Menurut adik perempuannya, sudah hampir dua bulan Jaffar tak pulang ke rumah dan tak pernah bertelepon.

Kali ini aku sangat-sangat khawatir. Perasaanku sobek. Di mana Jaffar? Mudah-mudahan seperti biasa, dia akan muncul kembali untuk mengibarkan bendera merah putih 17 Agustus pada peringatan sembilan tahun persahabatan kami. Masih berjuta halaman cerita yang bisa kami tuturkan, mengupas arti kehidupan dan nilai kebebasan. Akankah suatu saat Jaffar muncul lagi agar kami dapat bicara?

Tapi Jaffar ternyata tak pernah kembali. Ya Allah! Di sebuah perbukitan sepi, petani pedalaman menemui tubuhnya terikat di sebatang pohon. Lelehan darah yang mengalir dari puluhan luka lebar telah mengering oleh angin dingin yang lewat. Kacamatanya jatuh di lumpur dekat kaki, retak dan pecah seperti idealismenya.

Entah siapa yang menghabisi. GAM? Tentara? Tak pernah aku dengar ­kisah lanjutan itu. Salah apa dia? Salahnya mungkin karena dia tidak menyandang bedil. Bukan orang yang berpihak. Bukan GAM dan bukan tentara. Dia adalah korban, pelanduk di tengah pertarungan para gajah. Menjadi abu-abu ternyata tidak bisa menyelamatkan jiwa.

*

Plaza Indonesia, Januari 2007. Tanpa sengaja aku bertemu Syarifuddin, adik almarhum. Menggigir batin memeluknya. Sosok yang pernah menggemeretakkan rahang dan dagu itu kini sudah jadi pria dewasa. Lebih diam, lebih wibawa dengan rahang menyiku, hampir 90 deradjat. Abangnya telah tiada, tetapi Syarifuddin mengapurancang. Dan dihormati.

“Aya akan dilantik jadi Wakil Bupati, Bang,” bisiknya sambil memelukku.

Airmataku leleh dalam rongga. Kemenangan dan kehormatan selalu datang kepada orang-orang yang terinjak-injak. Ternyata kematian Jaffar dan orang-orang seperti dirinya tak pernah sia-sia. Merekalah yang mengantar Irwandi Yusuf dan jajarannya untuk menciptakan kemerdekaan di Aceh Nanggroe Darusssalam, tanah tajarud, rumah orang-orang yang tak pernah didera takut.

(Dimuat di Majalah B-Watch, edisi Februari 2007)

Tidak ada komentar: