Jumat, April 25, 2008

TENGKU NURDIN : Bara Juang Nyala di Dada

Penulis : IzHarry Agusjaya Moenzir
Tata Letak : Jaumat Dulhajah
Pewawancara : Drs. Nurhalim Tanjung
Transkripsi : Ninien S. Agusjaya

Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Diterbitkan oleh : Yayasan Penerbit Biografi Indonesia

Cetakan Pertama, Oktober 1998
Dicetak oleh : Oriza Sativa Communication

________________________________________________________________________________

Brave, brave were the soldiers
who lived through the fights;
But the bravest press’d to the front and fell,
unnamed,
unknown.


- The Bravest Soldiers, Walt Whitman
________________________________________________________________________________

Simpang Kampung Melati, Perbaungan

1. Kesultanan Serdang nan Megah



Oi, alangkah megah!

Hingga kini saya masih menyimpan gambaran itu dalam pikiran, potret tentang istana kayu bertingkat empat yang berdiri anggun di tengah-tengah persawahan hijau. Begitu kukuhnya, sehingga jika dipandang berlama-lama, akan terasa istana itu bersatu dengan bumi, menjadi batang raksasa yang tumbuh dan menyembul dari permukaan tanah.

Jika angin menerpa, batang-batang padi yang bersebar di sekelilingnya akan tersibak hingga ke pucuk-pucuk. Bergelora riuh, layak sebuah pesta keriaan yang tak kunjung berakhir. Tanaman itu menari dalam ritme gelombang gemulai, mengelu-elukan kecemerlangan istana.

Dari jauh sayup terdengar gemericik air meliuk melanggar tebing dan bebatuan sungai Perbaungan, memberi musik pengiring alami sebagai ucap terimakasih kepada Pencipta atas kesuburan yang dianugerahkan.

Meski keseluruhan istana terbuat dari batang-batangan kayu dan papan, namun keindahannya tak kalah dengan istana pualam berubin marmar. Keanggunannya mencuat jelas dengan sedikit kesan angker. Sebuah istana memang seharusnya bercitra demikian, agar pantulan jiwa dan status penghuninya menjadi kentara. Lagipula, istana tetaplah istana, meski di mana letak dan bentuknya.

Berdiam di lingkungan istana pastilah sangat berbeda dengan tinggal di rumah biasa. Kemegahannya lebih berada dalam hati, karena hal itu cenderung bersangkut-paut dengan perasaan.

Perasaan megah itu masih saya rasakan hingga sekarang. Kenangannya apa lagi. Entah untung atau rugi, tetapi saya selalu mengingatnya sebagai sesuatu yang indah, karena kehidupan di lingkungan istana Kesultanan Serdang itu sangat dekat dengan kalbu. Meski titik koordinat persisnya kini sudah tak bisa lagi dipastikan oleh mata awam, namun agar lebih mudah, dapatlah saya gambarkan bahwa istana Serdang terletak di sekitar kota Perbaungan sekarang, sekitar 400 meter dari simpang Kampung Melati, di mana titi Sei Perbaungan berada.

Menurut hikayat lama yang pernah dituturkan oleh orangtua-orangtua jaman dulu, Kesultanan Serdang didirikan oleh Tuanku Umar. Beliau adalah putra Raja Deli yang tersingkir akibat bertengkar hebat dengan kakandanya Panglima Pasutan. Pokok pertikaian adalah tahta kerajaan Deli.

Meski tersisih, namun rakyat dari beberapa kawasan tetap mengakui keberadaannya. Kepala Urung Sunggal merga Surbakti Gajah, Kepala Urung Senembah merga Barus dan Kepala Urung Tanjong Morawa merga Saragih Dasalak masih mengakuinya sebagai keturunan berdarah biru, sehingga mereka mendaulat Tuanku Umar menjadi Raja Serdang.

Tentu saja hal itu menyulut amarah Raja Deli. Peperangan tidak hanya tak terelakkan, tetapi juga berlangsung terus-menerus tanpa henti. Bahkan ketika Belanda memasuki Sumatera untuk menguasai dan menjajah, pertikaian masih terus berlanjut.

Namun Kesultanan Serdang tetap survive. Perang ternyata tidak membuat mereka hancur, malah menempa mereka menjadi kuat. Bahkan pada masa pemerintahan Sultan Thafsinar Basyarsyah yang merupakan cucu Tuanku Umar, Serdang menjadi sebuah kerajaan yang sangat makmur. Kekuatannya berlipat ganda, karena hubungan dengan kerajaan sekitar, terutama dengan raja-raja Batak dijalin sangat mesra.

Dalam suasana sentosa demikian, hasil bumi semakin berlimpah-ruah. Hal ini memancing kedatangan pedagang-pedagang dari Tanah Alas yang membeli hasil bumi Serdang untuk dibawa ke Penang melalui sungai Serdang.

Kemakmuran negeri terus berkesinambungan saat Sultan Thafsinar digantikan oleh Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah. Hubungan antar kerajaan terus ditingkatkan hingga ke Tanah Rencong. Bahu membahu, Serdang dan Aceh menggalang kekuatan bersama. Bahkan di tahun 1854 Sultan Basyaruddin memperoleh gelar penghormatan dari raja Aceh, dinobatkan sebagai Wazir Sultan Aceh.

Penggalangan kekuatan itu antara lain merupakan upaya untuk membendung pengaruh kolonialisme Barat, yaitu Belanda, Inggeris dan Perancis yang berniat menancapkan kuku di Sumatera.

Demikian hebat perlawanan yang digerakkan, bahkan hingga di akhir hayatnya, Sultan Basyaruddin tak pernah menyerah kepada Belanda. Sikap itu diteladani pula oleh putra mahkota yang menggantikannya, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Dialah Sultan yang saya kenal, karena hubungan kami terjalin sebagai cucu dan Atok, meski tidak secara langsung. Maksud saya, Atok saya yang sebenarnya adalah adik kandung beliau, Tengku Muhammad Idris yang diberi jabatan sebagai Wakil Sultan.

Atok kandung saya, Tengku Muhammad Idris memiliki empat anak, yaitu Tengku Muhamad Anif, Tengku Nazrun (ayah saya) dan Tengku Nizam. Ada pula seorang putri bungsu, namun usianya tak dipanjangkan oleh Yang Maha Kuasa, meninggal dunia sewaktu masih kecil.

(Bersambung ke bagian 2: Berbaur dengan Masyarakat Awam)

Tidak ada komentar: