Senin, April 28, 2008

Iqbal Mustafa : Garis Lurus dengan Idiosyncrasy

Dia tidur dalam lelap yang panjang. Kata orang, tidur mendengkur tanpa mimpi adalah tidur yang sempurna. Namun Iqbal Mustafa tidak mendengkur dalam tidurnya. Dia terlanjur hilang dalam tidur yang kekal.

Iqbal Mustafa, adalah teman kami yang komplit. He almost had anything in this world. Sejak di SMA dulu, dia adalah pemuda yang menggemaskan. Adalah sikap pemalunya yang membuat demikian. Wajahnya yang keren -kata orang mirip bintang film Perancis Alain Delon- menambah rasa simpati, membuat teman-teman putri sering cekikikan menggodanya. Tetapi dia tak begitu menggubris hal semacam itu. Peraturan yang tegas dari keluarga membuat Iqbal rajin belajar dan selalu meraih ranking tinggi di sekolah. Hidupnya terbentang antara belajar dan bermusik, karena sebagai kegiatan luar sekolah, dia diharuskan orangtuanya belajar bermain piano.

Sebuah garis kehidupan yang lurus memang telah disiapkan untuk Iqbal muda. Warna kehidupan hitam-putih secara tegas telah digariskan buatnya. Dengan datar dan sabar, dia jalani semua. Meski akhirnya dia menikah -dengan Linda- pada usia muda, namun kepatuhan kepada kodrat membuat dia menjalani hidup nyaris tanpa cacat. Sembari berkuliah di Fakultas Kedokteran USU, Iqbal mengisi kocek keluarga dengan bermain piano di pub di beberapa hotel yang ada di Medan.

Saya ingat suatu malam berpuluh tahun silam, kami berjanji bertemu di Hotel Danau Toba, Medan. “Datanglah, kau lihatlah pulak aku main di sana,” katanya mengajak saya ke Jungle Bar yang berada di sayap kanan hotel bintang lima itu. Iqbal tau saya sering menulis kritik musik dan ingin agar saya bisa menrunkan tulisan tentang dirinya di tengah-tengah atmosfir bar yang dikunjungi banyak tamu asing itu. Di sanalah kami pernah berbincang dalam pengaruh alkohol dengan tokoh musik dunia, Maurice Gibb dari the Bee Gees itu.

Sayapun menulis kiprah musiknya di koran Waspada. Setelah itu kami bertambah akrab, sering duduk menikmati minuman dan berbincang tentang apa saja. Di Batik Cafe, kami duduk dan bicara tentang banyak topik, mulai dari faham eksistensialisme yang dicetuskan Soren Aabye Kierkegaard, filsuf Denmark yang menyoroti keberadaan individu, hingga ke buku Thus Spake Zarathustra tulisan Friedrich Nietzsche. Kami agung-agungkan kalimat “Behold, I teach you the Superman. The Superman is the meaning of the earth. Let your will say: The Superman shall be the meaning of the earth!”

Kami memerlukan itu sebagai penguat diri. Kehidupan remaja yang gonjang-ganjing saat itu membuat kami harus melihat nilai-nilai baru, untuk berdiri di samping nilai-nilai spiritual yang baku. Dan Iqbal adalah teman bicara yang lawas. Dia bisa berbincang tentang apa saja di saat mana saja. Dia bahkan bisa ikut dalam suasana yang entah bagaimana. Dan ketika akhirnya dia ikut dalam kelompok musik The Great Session bersama Teruna Jasa Said, Iqbal menjadi faktor yang memperkuat pengaruh band itu di blantika musik tanah air.

Di panggung-panggung musik, Iqbal adalah sosok yang tegar. Permainan keyboard-nya membuat orang terkagum. Firth of Fifth, lagu kelompok Genesis yang rumit itu dilahapnya seperti musik pop biasa. Tangan menari di atas toest, menghingarbingarkan penampilan Great Session yang penuh fenomena.

Those were the days! Saat kehidupan tidak membutuhkan banyak renungan. Begitupun kemanisan masa muda harus ditinggalkan, dan Iqbal harus menjalani profesinya sebagai seorang dokter. Dan dia menjadi dokter yang tangguh. Ini dia buktikan hingga akhir hayat.

Menurut penuturan seorang teman, beberapa hari sebelum menghembuskan nafas terakhir, Iqbal berada di Makassar untuk menghadiri simposium kedokteran. Di sana, Iqbal yang sedang memimpin persidangan, jatuh menggelosoh di kursi. Dia dipapah para sejawat, langsung diberi perawatan dan diistirahatkan di hotel. Keesokan hari, merasa dirinya segar, Iqbal kembali memimpin sidang. Tidak ada sesuatu yang terjadi, kecuali kondisi tubuh yang menurun.

Konon Iqbal sempat bertelepon ke istrinya di Jakarta, untuk mendaftarkan namanya di RS Harapan Kita, tempat dia berpraktek selama ini. Permintaan dipenuhi, namun begitu landing di Soekarno-Hatta, Iqbal tidak ke Harapan Kita, dan langsung pulang ke rumahnya di jalan Cimahi.

Keletihan membayang di wajahnya yang bersih. Setelah beres-beres, Iqbal beristirahat di kamar. Rebahan sebentar untuk mengembalikan kesegaran. Tidak ada sebarang tanda. Pada jam makan malam, anaknya berniat membangunkan, namun karena sang papa terlihat pulas, niat itu urung. Namun beberapa waktu kemudian, anaknya berniat membangunkan lagi. Ada kecurigaan, mengapa posisi tidur Iqbal tak berubah, mengapa tetap seperti beberapa jam lalu?

Kehebohan pun terjadi. Iqbal diusung ke rumah sakit MMC, karena diduga hanya pingsan. Namun jawaban dari dokter di ICU MMC menghentakkan kesadaran: Dokter Iqbal sudah tiada!

Maka mendunglah hari-hari kami. Kabar berkibar, berita tentang kepulangan Iqbal menyeruak ke seluruh kota tempat teman-temannya berdomisili. Saya yang sedang berada di Batam segera mengirim SMS ke Una yang sedang berada di Singapore, setelah Bambang Sen dan Alfred Mantik menges-em-es saya.

Dekat subuh, dalam tidur saya bermimpi, bertemu Iqbal di tukang pangkas sedang berbalut kain putih. Saya pikir dia sudah meninggal, tapi dia bangkit dan berkata dengan senyum manisnya, “Siapa bilang aku mati. Bohong itu.”

Ya, saya percaya bisikan Iqbal dalam mimpiku. Iqbal tak pernah mati bagi diri kami, teman-teman yang pernah dikenalnya. Dia sungguh sebuah pribadi yang komplit, sekaligus kompleks, penuh dengan tanda tanya dan misteri. Kehidupan Iqbal di akhir usianya tidak banyak diketahui orang. Pertemuan terakhir saya adalah pada saat acara kumpul-kumpul anak Medan di Hotel Mulia Jakarta, dua tahun lalu.

Iqbal masih tetap ada. Di hati kami dia bagai muara, tempat pertemuan dan pertemanan beragam tabiat dan kelakuan. Bagaikan jemarinya ketika memainkan piano melantunkan Firth of Fifth, begitulah dia menggambarkan ‘muara’ lagu itu. Masih terus terbayang senyum manisnya, santun tingkahnya dan idiosyncrasies-nya, yaitu cara bertindak, cara berpikir dan perasaannya yang kadang terasa ganjil bagi lingkungan sekitarnya. Karena memang, setelah berada di puncak karir, Iqbal banyak menyepi, banyak sendiri dan menjauh dari kerumunan, tidak terlihat lagi wira-wiri di tengah dunia gemerlap kota Jakarta.

So long, pal! Banyak yang kau tinggalkan buat kami, sehingga ingatan akanmu tak akan lekas pergi. You’re such a superman, and you will still live in this heart of ours.

Dr. Iqbal Mustafa was born in 1950 in Amsterdam, Holland.
He died abruptly and unexpectedly at his home in Jakarta, Indonesia, on July 18, 2004

Tidak ada komentar: