Senin, April 07, 2008

Trip to USA, 1991

1. Perjalanan Wartawan Penulis

Kujentikkan jemari berbunyi. Tak pelak lagi, ini pastilah akan menjadi perjalanan panjang yang menakjubkan. Seperti Alice dari dunia dongeng yang memasuki alam keajaiban dengan mata membelalak, aku akan merasa dan mencatat setiap detik daripadanya. Bukan hanya karena perjalanan ini akan sangat memukau dan bisa merubah dasar-dasar rangka berpikir dan berbuat, tetapi juga karena perjalanan ini memang dirancang untuk para wartawan penulis seperti diriku.

Artinya, International Visitor Program (IVP) yang kuikuti ini memang laik disebarluaskan, agar pengalaman itu bisa dirasakan oleh mereka yang belum pernah dan berkeinginan menjalaninya. Jika bagi orang-orang yang sudah sering keliling dunia kisah ini akan menjadi sangat dangkal, itu soal lain. Mereka yang sudah lebih banyak melihat dunia ketimbang aku, tentu memiliki pengalaman yang lebih hebat. Namun apakah mereka mencatatnya untuk orang lain?

Mudah-mudahan ada.

2. Degup Kekuatiran

Dari Medan, aku dijadwalkan berangkat pada Rabu malam, 14 Agustus 1991 dengan menumpang pesawat Garuda. Tidak ada yang mengantar, karena memang tidak perlu. Aku sudah terbiasa tidak diantar-antar. Terlampau sering bepergian, membuat segalanya jadi lumrah. Semakin sering semakin biasa. Lagipula istri dan anak-anakku yang masih kecil-kecil itu tetap tidak bisa melewati penjaga bandara dengan mudah. Paling hanya mengantar sampai pintu kaca. Dan jika mereka berdiri di Waving Galery, angin dingin yang jahat di keterbukaan Polonia itu bisa membuat mereka demam. Atau pilek.

Perpisahan bukanlah hal yang menyenangkan, meski cuma sehari-dua. Kata orang bijak, perpisahan adalah kematian sesaat. Akan ada tangis. Perasaan sedih. Pengantar dan orang yang diantar akan terbungkus rasa cengeng. Apakah itu perlu? Buat apa sebenarnya? Capek-capekin badan dan mengiba-ibakan perasaan saja.

Aku melepas punggung dari sandaran kursi. Kugerakkan leher ke kiri kanan, mengibas rasa jemu yang mulai meronta. Kulirik jam tangan dan melihat jarum pendek sudah melewati angka delapan. Penundaan 120 menit yang diumumkan tanpa nada suara bersalah itu sungguh sebuah sikap yang keterlaluan. Tidak senonoh. Jam berapa pula nanti tiba di Jakarta? Hanya ke-Indonesian-ku yang sudah terbiasa dengan waktu karet sajalah yang membuat aku tidak marah. Ini sangat lumrah, normal dan manusiawi.

Ruang keberangkatan sudah mulai senyap. Restoran-restoran bandara sudah berbenah, sebentar lagi akan menutup kegiatan. Tidak ada penumpang lain kecuali kami, sekitar 50 orang yang akan bertolak ke Jakarta.

Letih dan agak mengantuk, kucoba menghitung waktu yang tersisa. Aku harus berada di Jakarta sesegera mungkin, karena menurut konfirmasi dari Konsulat Jenderal Amerika Serikat (AS) di Medan, kehadiranku di Kedutaan AS di Merdeka Selatan dijadwalkan pada Jumat pagi.

Semuanya serba tiba-tiba dan gopoh-gopoh. Kabar pasti tentang keberangkatan itu datang di hari Selasa 13 Agustus, saat aku sedang mengikuti seminar Public Relations di Hotel Danau Toba International Medan.

“Tembusan surat dari Embassy sudah kami terima. Aslinya pasti sudah dikirim langsung ke Waspada,” ujar Djasamen Saragih, senior staf Konsulat Jenderal AS di Medan itu.

Aku tak mau buang waktu. Selesai sesi pertama, aku langsung turun dan berangkat ke kantor. Sepuluh menit kemudian sudah berada di kamar redaksi. Kuhampiri meja yang masih kosong. Tak ada surat tergeletak. Kuangkat telepon dan kusapa Sekretariat.

“Kak Lily? Ada surat buat saya, Kak?”
“IzHarry, ya? Sebentar ya, kakak lihat dulu.”

Suaranya hilang dari balik telepon. Hatiku berdegup. Ada kekuatiran. Jangan-jangan surat itu nyasar atau digelapkan. Hal itu sangat biasa terjadi di kantor surat kabar tempatku bekerja ini. Setiap orang selalu ingin tahu urusan orang lain. Bukan karena sifat kewartawanan yang sudah menyatu dalam hati, tetapi semata karena masalah perebutan rezeki. Banyak undangan konperensi pers yang tidak sampai ke Redaksi, karena begitu sampai di meja Satpam di gardu bawah, sudah diambil oleh tangan-tangan jahil, karena undangan konperensi pers berarti makan prei dan amplop berisi uang.

“Belum ada, Iz,” jawab Kak Lily. “Nanti kalau ada Kakak antar ke atas.”

Aku penasaran. Tetapi terhadap Kak Lily aku percaya. Dia wanita berbudi, putri dari pemilik surat kabar ini. Usianya sudah separuh baya. Dan sangat tak mungkin dia mengincar kesempatan seperti wartawan-wartawan lain.

Meski percaya, namun tak urung aku merasa bergalau. Ingat akan undangan tahun lalu yang ditujukan kepada Edi Elison. Sewaktu undangan itu datang ke Waspada, dia sudah pindah kerja ke Mimbar Umum. Surat tak bertuan itu kemudian sampai ke Managing Editor.

“Wah, ini harus dibatalkan. Dia kan sudah pindah. Kalau bisa diganti dengan orang lain saja,” ujarnya.

Selintas memang masuk akal. Bang Edi sudah hengkang dari kantor ini untuk gaji yang lebih besar di Mimbar Umum. Bagi beberapa orang, Edi itu dinilai pengkhianat. Tidak loyal.

“Rasanya tidak mungkin, Un,” jawabku.

Teruna melengak. Heran, dia menatapku.

“Kenapa tidak? Kan si Edi ini diundang atas nama Waspada. Sekarang dia tidak di Waspada lagi, tentu kita boleh mengajukan penggantian.”

Selintas memang masuk akal. Teruna Jasa Said, putra pemilik harian ini berpandangan benar. Tetapi tidak demikian cara yang berlaku di Konsulat Jenderal AS itu. Aku tahu persis, undangan itu cenderung ditujukan untuk pribadi seseorang, bukan kepada lembaga. Dan ini bukan undangan yang baru dibuat kemarin sore. Sudah sejak tahun lalu nama orang yang akan diundang masuk ke Kementerian Luar Negeri AS. Pastilah pertimbangannya sangat banyak, dan tidak bisa dipahami dengan gampang.

“Aku rasa tidak bisa,” kataku menggeleng.

Meski aku ini Assistant Managing Editor dan wakilnya langsung, namun aku tak harus selalu mengangguk. Aku bahkan harus menyodorkan informasi akurat agar dia tidak melakukan hal yang bisa membuat malu. Nama Waspada sangat besar di Sumatera Utara. Ini koran bergengsi.

“Cobalah kau urus dulu. Kan lebih baik jika kau yang berangkat, Har,” bujuknya.
“Nggak bisa, Un. Malu kita nanti. Aku tahu persis, undangan ini tak bisa diganti. Bahkan kalau bang Edi tidak bisa, mereka tidak akan menggantinya dengan orang lain. Ini kan program yang sudah disusun sejak tahun lalu.”
“Coba dululah,” pintanya lagi.

Tapi aku tetap menolak. Meski kenal dengan orang-orang Konsulat AS, aku tak akan melakukan hal itu. Aku tidak mau terlihat dungu. Padahal secara pribadi aku juga kurang suka kepada Edi Elison, sejak dia marah-marah karena tulisannya yang membela PSMS kuedit habis-habis atas perintah Pemimpin Redaksi. Hubunganku dengan Bang Edi memang tidak pernah mesra. Begitupun, aku tak akan coba-coba menggagalkan keberangkatannya.

Melihat kebekuanku, Teruna lantas memanggil Aidi Yursal, staf desk Luar Negeri yang sedang mengamati teleks.

“Aidi, ini ada undangan dari USIS. Buat si Edi Elison. Coba kau ke Konsulat, terangkan bahwa si Edi ini sudah tidak kerja di Waspada lagi. Dan kalau bisa diganti orangnya. Entah si Harry kek, entah kau kek. Terserah. Yang penting jangan si Edi.”

Aku diam. Kata-kataku sudah cukup. Tetapi Una masih mau mencoba. Silahkan saja. Lagipula dia tidak salah. Dia hanya tidak memahami dan harus menjaga nama lembaganya. Memang ada benarnya juga, karena bukankah undangan yang dikirim oleh United States Information Service itu karena Edi Elison banyak menurunkan artikel-artikel tentang AS di halaman-halaman koran harian Waspada?
(bersambung)

Tidak ada komentar: