Sabtu, Juni 28, 2008

The Richness of Life

Memory is history recorded in our brain,
memory is a painter,
it paints pictures of the past and of the day.
- Grandma Moses (1860 - 1961) U.S. painter


Buku tentang Hendra Wijaya? Why not?


Ketika keluarga almarhum meminta kesediaan saya menulis kata sambutan untuk buku tentang pemusik jazz handal ini, saya bersukacita. Bukan karena merasa dihargai atau dinilai sebagai orang dekat, namun karena memang seharusnya kenangan terhadap Hendra Wijaya dihidupkan. Men ought to remember those friends who were absent as well as those who were present, begitu kata sejarawan Yunani, Diogenes Laërtius.


Bukalah Google. Carilah nama Hendra Wijaya. Banyak memang, namun bukan Hendra Wijaya yang piawai bermain keyboard ini. Hendra Wijaya-Hendra Wijaya yang tercatat di sana adalah Hendra Wijaya yang tercatat sebagai pebulutangkis, desainer, kolektor komik, peraih hadiah ilmu fisika dan profesi lain lagi. Tetapi cerita tentang pemusik jazz ini sangat minim, hanya tampil dalam satu-dua berita. Itupun tidak berdiri sendiri sebagai sosok, namun selalu berkait dengan Ireng Maulana, konconya dalam bermusik. Di Google, kita cuma bisa memperoleh kisah tentang Hendra yang pernah bergabung dengan Ireng Maulana All Stars pada tahun 1981 dan pagelaran jazz “Ireng Maulana & Friends - The Legend is Back”, yang diadakan untuk menghormati dan mengenang dua musisi terbaik Indonesia yang sudah almarhum, yaitu pemain bass Perry Pattiselanno dan pemain piano Hendra Wijaya.


Ini mungkin disebabkan oleh jangkauan ingatan pendek yang kita miliki. Sulit mengingat, dan tragisnya: sangat mudah melupakan. Sehingga kita sering tidak merasa kehilangan. And when he is out of sight, quickly also is he out of mind. Demikian Thomas à Kempis, pendeta German yang juga penulis itu tentang sosok teman. Orang yang jarang kita temui, mendadak bisa tersaput hilang dari ruang memori. Dan ketika suatu saat bertemu lagi, kita pun blank, lupa segala sesuatu tentang dirinya, bahkan nama saja pun kita tak tau. Padahal bisa jadi orang tersebut banyak memberi andil dalam hidup kita.


Hendra Widjaja ini misalnya. Saya pertama berkenalan dengannya di tahun 1973, sesaat setelah dia meraih gelar juara pada National Electon Festival se Indonesia. Saya tahu dia hebat. Namun penilaian saya itu gugur ketika tak lama sesudah itu, di Tokyo Yamaha International Electon Festival, dia menyabet pula gelar Juara Dua. Dia ternyata tidak hebat. Dia luar biasa!


Karena itulah, ketika saya akan mengadakan jamuan makan untuk menyambut rombongan pengusaha dari Amerika, saya mencari Hendra. Saya membutuhkan seorang pianis berkelas untuk menghibur ke 60 tamu bule itu. Saya perintahkan staf untuk mencari dan mengundang pria yang terkesan diam itu. Ternyata tidak mudah juga. Sebagai juara baru, jadwalnya penuh dan hampir tidak punya waktu untuk tampil di pesta-pesta kecil, apalagi di rumah! Begitu pikir saya.


Namun, Hendra datang dengan senyum mengembang, bersosialisasi dengan keramahan yang cair dan bermain dengan kecekatan jemari yang lincah. Lagu-lagunya meluncur anggun tanpa cacat, membuat tetamu terpana. Lagu-lagu standar Amerika disuguhkannya nyaris sempurna, mulai dari ciptaan George Gershwin, Rhapsody in Blue dan Someone to Watch Over Me, hingga gubahan Irving Berlin Cheek to Cheek, sampai kepada musik-musik piano yang disuguhkan oleh Carmen Cavallaro dalam film The Eddy Duchin Story, seperti La Vie En Rose, Manhattan dan You’re My Evrything. Dan sudah tentu jazz! Kecintaan Hendra kepada jenis musik ini membuat seluruh ruang di rumah saya menggemakan musik piano dari pianis jazz ternama seperti Earl ‘Fatha’ Hines, Jelly Roll Morton dan Bill Evans.


What a memorable night! Bertahun-tahun kemudian, ketika saya berkunjung ke Amerika, teman-teman yang dulu pernah saya undang ke jamuan makan selalu bertanya tentang Hendra. Lagi-lagi Hendra. Dan saya selalu suka menjawab mereka, karena saya pun akhirnya banyak tau tentang Hendra.


Memang, sejak pesta kecil di rumah, keluarga kami menjadi sangat akrab. Istrinya Syenni adalah nyonya rumah yang ramah, pantas menjadi public-relations yang handal bagi karir suaminya. Kedua anaknya - Fei dan Carina- adalah anak-anak yang pintar, manis dan santun. Saya juga punya banyak kenangan dengannya. Salah satu yang masih menggantung di ruang ingat adalah ketika kami memenuhi undangan TV Hongkong dan Taiwan. Hendra memukau penonton dengan performansi yang prima. Saya bersyukur menjadi teman baik Hendra dan sekaligus bangga, karena Indonesia mempunyai Maestro bernama Hendra Widjaja.


Namun kini dia telah tiada. Hendra sudah pergi, melanglang di ranah abadi yang dijanjikan Tuhan, meninggal dunia karena kanker di Rumah Sakit MMC pada 6 November 2005. Album terakhirnya bersama Ireng Maulana yang berjudul Sweet Jazzy masih hangat, dan kita masih harus selalu menyimpan kenangan atasnya. Kenangan adalah sejarah yang terpatri di otak manusia, kenangan adalah pelukis, yang mengguratkan unsur warna masa lalu dan masa kini.


Sering-sering di rumah, jika malam sudah larut dan hening, di telinga saya masih terngiang ketukan toest-toest piano, melantunkan musik untuk jiwa, untuk kehidupan yang fana. Hendra Wijaya ternyata masih hidup di relung-relung jiwa saya. Begitu juga di kehidupan Syenni, Fei dan Carina yang penuh berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.


Buku tentang Hendra Wijaya? Why not? Hal-hal seperti inilah yang membuat orang-orang tidak lupa. Sehingga di hari-hari selanjutnya, jika ada yang ingin tau, mereka tinggal mengelik Google untuk mengetahui siapa sebenarnya Hendra Wijaya yang berdedikasi tinggi dalam musik jazz tanah air. Dan saya yakin, buku ini juga layak disusun di rak, untuk kepustakaan kita bersama. Ternyata, the richness of life lies in the memories we have forgotten.

Bogor, 28 Juni 2008
Ditulis untuk Paul Kusumawijaya
sebagai Kata Sambutan Buku Hendra Wijaya

Rabu, Juni 25, 2008

Tatkala Dialog Verbal Menjadi Nol *

(Gita Kalbu Hias Dwi Untari Menayang, Perempuan Tabah Setia)

“Above all, we must pay attention to the gestures that make us who we are.”
Orhan Pamuk (1952 - )

Telah tiga tahun aku belajar menikmati napasmu. Inilah kemampuan mutakhirku, dapat memahami perasaanmu hanya dengan mendengar aliran udara masuk dan alunan udara keluar melalui hidung tirusmu. Gelombang dada dan perut yang turun naik, kini lebih mengartikan gejolak rasa dan kondisi hatimu.

Sebelum hari yang menjatuhkan vonis itu, aku tak pernah mengerti semua ini. Bahkan kedip matamu tadinya cuma bernilai biasa. Komunikasi kita tak bersandar pada isyarat, walaupun dulu saat di Kampus Taman Sastra UI, beberapa pekan setelah kita berkenalan, aku rajin menunggu matamu berkedip, sebagai tanda kau sedang berusaha mengantarkan rasa. Tapi kau tak memberiku gelombang magnetis itu. Kau bukan pria genit yang nakal. Kau serius, tak memerlukan gesture untuk melahirkan cinta.

“Kita punya kalimat,” demikian kiranya maksud hatimu. Mengikut alur itu, aku lantas percaya pada kedahsyatan huruf. Kau mahir dalam berkata. Terkesan atas kekuatan susunan kalimatmu yang mampu menyihir para mahasiswa, aku memujamu setinggi hati. Dan menerimamu sebagai pasangan hidup, ketika batin kita terhubung oleh gelombang rasa yang sama. Maka pada hari ke delapan, bulan ke delapan dan era tahun 1900 yang ke-88, kita ucapkan ikrar berumahtangga, saling mengasihi, saling menghargai, saling menjaga. Kita janjikan: akan selalu bersama, dalam sedih dan gembira, dalam sakit dan sehat, sampai kematian datang memisah.

Vic, every moment spent with you is a moment I treasure.

Aku tak ingin semuanya berakhir. Tak ingin pisah darimu. Seandainya kematian memang bisa ditangkal, aku ingin ada di sampingmu sepanjang usia bumi. Di ruas hatiku, getar jiwamu tak akan pernah memudar. Kaulah harta karun bagiku dan bagi Adilla Paramarta, putra semata wayang kita yang sedang beranjak remaja. Engkau selalu menempati relung-relung batin kami.

Sekarang ini, kami memang sudah kehilangan kalimat-kalimatmu dan kefasihanmu berkata. Semua dialog verbal mendadak nol. Semua dirampas pada Selasa penghujung Mei tiga tahun lalu. Palu godam raksasa yang menghantam, menghenyakku sehingga tak lagi bisa bersuara. Menurut cerita temanmu, sore tatkala kau menguji mahasiswa-mahasiswa S3 di Kampus Universitas Indonesia Salemba, kepalamu mendenyutkan rasa sakit yang hebat. Oleh karena itu kau lantas keluar, gontai berjalan menuju ruang dosen untuk meredamnya dengan rokok, kopi dan istirahat.

Menurut cerita mereka, sempat terdengar ada suara gelas pecah di ruang tempatmu mengaso, membersit lewat kisi-kisi dan sempat disimak oleh penjaga ruang kuliah. Namun Pak Tua itu tidak berani membuka pintu. Baru sekitar setengah tujuh malam, dosen temanmu menemukan kau tergeletak lesu di lantai, di antara kursi meja yang kaku. Kau lemah dan tak punya daya. Mereka melarikanmu ke Rumah Sakit St. Carolus, langsung ke Unit Gawat Darurat. Tapi kau tetap tak sadar diri. Aku yang datang dengan kepanikan memelukmu dengan tangis panjang.

Papa, I just want to hold you close and feel your heart so close to mine.

Kaulah cinta yang terbaring dalam selimut putih dengan selang-selang alit yang memenuhi kujurmu. Kau diam, tidak ada bebunyian. Wajahmu datar, tiada mimik. Tanganmu tak bergerak, tanpa gesture yang bisa diartikan. Begitu sampai malam. Dan kami tak bisa membiarkanmu terus begitu, tak boleh menunggu berlama-lama. Upaya harus digencarkan dan keputusan harus diambil.

Menjelang dinihari kami boyong kau ke Tangerang, menuju Rumah Sakit Siloam Gleneagles di Karawaci. Kondisimu membuat aku seperti orang gila, Pa. Kata para ahli, pendarahan di batang otak yang kau alami tidak bisa dioperasi. Apalagi sempat terdengar prediksi, secara medis kemungkinan hidupmu cuma tinggal lima persen. “Tanpa mendahului Tuhan, secara medis kemungkinan hidup Victor cuma lima persen. Dan jika pun tetap bertahan hidup, ia akan mengalami kelumpuhan,” kudengar itu selentingan, karena tak ada yang berniat mengatakan kepadaku secara terbuka.

Lima persen? Apakah itu berarti kematianmu sudah 95 persen? Oh Tuhan, ternyata kita cuma manusia rentan. Suamiku rebah tak bergerak, terjerembab dalam batas ambang sadar-tidak sadar, menerawang dalam keanehan rasa, menyatu dengan dunia yang tak pernah kukenal. Di ranjang putih itu aku memandang wajah pucat. Mana kegairahannya, ya Allah!

Vic, just stay here in this moment, for all the rest of time.


Kau terbaring dengan mata mengatup, layak nyenyak tidur, sentosa tanpa gangguan mimpi. Aku menatap wajah yang letih. Sayangku, kau memang terlalu capek beberapa bulan terakhir ini. Pekerjaan sebagai dosen saja sudah membuatmu sangat kaku dengan waktu, lebih lagi setelah ditambah dengan konsekuensi dari posisi sebagai Ketua di Komisi Penyiaran Indonesia. Perjalanan melintas khatulistiwa menuju pelosok kawasan Indonesia dan luar negeri membuat pikiranmu banyak terkuras.

Tapi aku tidak mengesalkan semua itu. Sungguh aku tak berani menyesali sesuatu, yang cuma akan membuatku jadi makhluk yang tak pandai bersyukur atas pemberian Maha Kuasa. Aku hanya tau, akhir-akhir itu, waktu kita sudah mulai terkikis. Makan malam keluarga sering terlewati. Aku yang mengerti akan semangat dan idealismu memang tak pernah mencemburui apapun, kecuali menyangsikan kesehatanmu. Bayang-bayang sayu yang menaungi pijar bola matamu, membuatmu terlihat lebih tua dari usia sesungguh.

Deru perangkat air-conditioning di Gleneagles terasa menusuk. Papa kedinginankah? Tapak kakimu dingin. Tetapi kau mungkin tak merasanya, karena saat ini kau sedang berjalan-jalan di awan, berdialog dengan teman-teman di sana. Bukankah kau punya kawan di mana-mana? Jantung terus berdegup dan bibirmu yang kelu sesekali terlihat seperti mengambangkan senyum. Apakah kau sedang menyaksikan malaikat-malaikat bersayap putih menari dengan iringan harpa dan biola, atau jiwamu merasa nyaman mendengar doa-doa yang kami bisikkan, merambat masuk ke liang telinga dan hinggap di ruang kesadaranmu?

I’m feeling your heart beating and wondering what you're dreaming.

Betapapun berat penyakit yang kau derita, aku tak akan pernah bisa melepasmu. Kami tidak siap. Adilla kita masih kecil, Vic. Begitupun, dia sangat mengerti tentang Papa-nya. Sangat care, anak baik yang tau gelagat, pintar membaca situasi. Dia menjalani hari-harinya dengan ketabahan yang tidak dipunyai anak lain. Sekolahnya tidak terganggu meski aku tau sebagian besar perhatiannya terpusat kepadamu. Anak pintar itu dalam beberapa waktu lagi akan berangkat ke manca negara, mengikut program pertukaran siswa ke luar negeri. Wah, dia persis sepertimu juga, gagah melangkah ke masa depan dan selalu menomorsatukan ilmu. Dialah Akasia yang teguh berdiri, besar menaungi lingkar jalan di depan Rumah Sakit tempatmu dirawat.

Diam-diam, aku berlindung di bawah bayangnya. Itu karena aku, sering-sering kini, merasa lebih rapuh. Kami sering bergenggaman jemari saat membezukmu, menunggu pijar matamu mengerling, menanti gerak jemarimu berkata, berharap senyum tipismu mengambang dan menunggu gesture yang pas sesuai dengan gejolak jiwamu. Kami tau kau masih terus menggemakan kalimat-kalimat, cuma telinga kecil kami tak sanggup menangkap frekuensi suara dan tak punya daya untuk mengartikan sinyalmu.

“Kita tak punya kalimat,” demikian seakan-akan matamu berkata. Kini kita bersandar pada gerak, aba-aba, atau apapun namanya. Gerakan jempol kanan untuk mengiyakan, gerakan telunjuk kiri untuk menidakkan. Atau sebaliknya. Yang mana saja, it will do, asal kita saling tau. Aku akan sangat berbahagia jika kau mengerti bahwa kami semua masih dan sangat menyayangimu.

I could spend my life in this sweet surrender, I could stay lost in this moment forever.


Wewangi pinus menusuk tipis. Ada rasa akrab. Tetapi buru-buru kutepis pikiran itu. Kata orang-orang tua, tidak boleh menyukai rumah sakit. Karena rumah sakit bukan tujuan. Tidak ada orang yang bercita-cita berdiam di rumah sakit. Kecuali dokter. Menjadi pasien pasti bukan tujuan. Kau juga tak boleh menjadi pasien selamanya. Melihat semangat hidupmu yang tinggi, aku seakan memiliki keyakinan dan sangat ingin melihatmu bangkit berdiri, melangkah menggamit dan mengajakku berdansa dengan walza Strauss yang agung. Ingat saat-saat itu, sayang? Aku dalam pelukmu, kau utuh dalam dekapanku, dan kemudian kau kecup mataku.

Then I kiss your eyes, and thank God we're together.

Indah keinginan itu, meski aku tau, keinginan itu layak gelembung-gelembung sabun yang mudah pecah. Para ahli telah mengatakan, kesembuhanmu hampir mustahil. Dengan keringkihan saat ini, setiap saat kau bisa menjauh dari kami. Tapi aku percaya mukjizat. The miracle is not to fly in the air, or to walk on the water, but to walk on the earth. Ungkapan bijak dari Cina itu memagutku untuk mempercayai, kesembuhan orang-orang yang sakit bukanlah cuma tindakan manusia semata, tetapi karena gerak jemari Tuhan. Dan itu bisa terjadi terhadap siapa saja. Terhadapmu. Karena itulah kau lantas kubawa pulang, kembali ke rumah kita, untuk tidur bersama dengan Adilla di bawah atap yang sama, di dua kamar luas yang berhubungan terbuka.

I just want to stay with you in this moment forever and ever.


Nothing’s impossible.
Karena kemustahilan cuma milik orang-orang yang tidak percaya dan tidak berusaha. Padahal sinyal-sinyal, betapapun kecil, pastilah selalu ada. Itu pulalah yang tergambar pada 30 Mei lalu, saat kau genap tiga tahun dalam masa pasca stroke. Wajahmu cerah, segar dan -sungguh!- terlihat tambah muda. Puspa mengelopak dalam sanubari, ketika untuk pertama kali kau bisa melirik ke kanan, ke arahku yang berada di sisi tempat tidur. Dokter pernah memberitahu agar menanti lirikanmu. “Itu mengartikan kaki dan tangan di arah lirikan tidak lumpuh, dan secara teori akan bisa bergerak suatu saat nanti,” ujarnya.

Ya Tuhanku seorang, sangat besar arti lirikan itu. Terlalu mulukkah mimpi ini, jika di sudut batin terdalam aku menyimpan harap agar kita kembali seperti sediakala, Vic? If you’re heart is in your dream, there’s no request is too extreme, anything your heart desire, will come to you. Jangan cerca aku jika meletak harapan di bintang tertinggi, karena dalam pengamatan detik ke detik, aku melihat otot lehermu yang semakin kokoh. Kau kini bisa mengangkat sendiri kepala yang menunduk saat duduk di kursi roda.

We wish upon a star,
aku dan Adilla. Begitu selalu, juga pada saat suatu malam menunggu kantuk, tunggalku itu memanggilmu dari kejauhan. “Papa, tickle my back! Tickle my back,” begitu dia berujar berkali-kali, seperti kebiasaannya dulu menjelang tidur, ketika kau sering menggelitiknya. Dilla juga mengenang ketika di pagi hari kau selalu membangunkan dengan menyentuhkan bulu mata ke kujur tubuhnya dan mencontohkan ke pipiku.

Inilah rindu. Kangenan yang panjang dan belum berujung. Kau masih belum pulih dan doa kami belum menemu jawab. Namun kuharap kau mampu meresapkan kerinduan Dilla di ruang memory, agar canda itu bisa menyemangatimu untuk kembali ke masa kini. Bukankah kau selalu memiliki daya juang yang luar biasa?

I don't want to close my eyes and I don't want to fall asleep.


Kau masih berbaring dengan mata mengatup, layak nyenyak tidur, sentosa tanpa gangguan mimpi. Akan kubiarkan kau begitu, terus menjaga dengan janji tidak akan jatuh terkantuk. Aku ingin menyelam di hatimu yang hijau damai, sebab ada nuansa damai di situ. Dan jika nanti kau terjaga dengan kelopak mata membuka, aku akan menerobos bola matamu untuk sampai di pelosok kamar-kamar batinmu. Aku ingin lihat di sana, sesungguhnya semua utuh seperti dulu. Kau masih Victor-ku dengan lisan yang fasih dan daya dengar yang peka.

Cuma kini, bahasamu sudah beda, lain dengan orang-orang sekitarmu. Tak ada yang mengerti bahasa yang kau pakai. Tapi aku akan membuka rahasia itu dengan mengartikan segala gerak kecilmu. Novelis Turki Orhan Pamuk bilang, di atas segalanya, kita harus memberi perhatian kepada bahasa tubuh yang membuat kita jadi manusia. Karenanya, kita tak harus bercakap-cakap lagi. Kasih yang ada menyebabkan kita tak butuh huruf dan suara, hanya mata yang saling berpaut dalam sorot penuh arti, cukup membuat kita hidup dalam kebahagiaan yang abadi. Seperti lidah dalam rongga mulut, cinta itu selalu ada, walau kita tidak sering merasakannya. Begitu juga segala ketulusan kita, aku buatmu, kau buatku.

Victor sayangku,
I don't want to miss a thing.......

Bogor, Juni 2008
* Diilustrasi lagu Aerosmith untuk memorabilia: "Tiga Tahun Dalam Sakit."

Dr. Victor Menayang, MA is President of the Indonesian Broadcasting Commission, Postgraduate Teacher of Communications at the Universitas Indonesia

Kamis, Juni 12, 2008

Merawat SBY, Dirawat SBY


Ask not what your country can do for you,
ask what you can do for your country.

- John Fitzgerald Kennedy (1917 - 1963)


Bukan satu-dua kali saya mendengar orang-orang mengeluh. Bagai kerdum yang berlaga-laga, keluhan itu tanpa aturan memasuki liang telinga dan merambat ke pusat syaraf. Apalagi akhir-akhir ini. Keluhan itu semakin bertambah banyak dan sering, tumpah sebagai dampak dari kemelorotan ekonomi yang sangat dirasakan. Kebijakan yang dinilai tidak bijak, adalah hal yang paling nyaring disuarakan. BBM naik. Bubungan harga. Biaya hidup yang semakin hari semakin tinggi. Semua mahal, sulit terjangkau.


Satu-dua demonstrasi terjadi juga di depan istana, sebagai bentuk ekspresi lain dari keluhan. Mereka bergerombol, berteriak lepas ke udara bertuba, untuk kemudian dihalau pergi atau digiring masuk ke mobil bak terbuka. Setelah itu senyap. Mereka akan kembali melenguhkan keluhan lewat obrolan. Bercakap-cakap sesama kelompoknya, menggerutu dan menyuarakan complaint di bawah permukaan.


Kutubnya menjurus ke satu titik: Pemerintah. Dan di tengah kutub itu, sebagai nucleus, terdapat Presiden SBY. Ya, apa boleh buat. Menjadi orang nomor satu dan berada di atas selalu mendapat terpaan angin kencang. Apalagi menjadi Presiden Indonesia. Siapapun mengetahui hal itu. Seandainya Gaius Julius Caesar hari ini tiba-tiba hadir dan memegang tampuk sebagai Presiden Indonesia, maka taruhan iris telinga, negarawan besar ini pasti akan keteter juga. Kita hidup di alam yang gamang, dengan bumi di bawah bergetar dan langit di atas runtuh. Kemana kita akan berpegang?


Mungkin kita tidak bisa berpegang pada apa-apa atau pada siapa-siapa. Jemari kita tak lagi kuat memeluk pilar besar yang mulai retak. Kita lemah dan tak berdaya. Namun harus diingat, kita tak mudah menyerah, apalagi kalah. Karena kita bukan manusia rombeng. Kita masih percaya pada junjungan kita, Kemahaan Agung, yang mudah-mudahan masih memberi kita keyakinan. Keyakinan itulah kemudian yang membuat kita masih menggeliat, terus berupaya. Dan percaya.

Bersama kita bisa. Jargon masa Pemilu itu masih bisa dipakai saat ini. Sebab jika kebersamaan pun sudah menipis, maka asa akan menguap, hingga akhirnya kita tak punya apa-apa lagi. Selangkah demi selangkah kita berjalan, meski lambat dan tersendat, namun penuh keseriusan.

Pemerintahan SBY ini terlihat sangat serius. Dalam mengikuti perjalanan Presiden ke Malaysia dan Thailand Desember lalu, kesan itu mencuat kuat. No time to waste. Seminggu yang padat, tujuh hari yang penuh jadwal, dan siang malam yang penuh perkutatan masalah. Serta tindak nyata. Perbincangan ASEAN, pertemuan East Asian Summit dan perundingan bilateral selalu berujung kepada tindak nyata, tidak lagi sekedar wacana. Beberapa perjanjian dagang digolkan, serta beberapa kesepakatan diberi anggukan. Amin.


SBY rupanya mahir memainkan peran. Gambaran layar kaca yang selama ini masuk ke rumah-rumah, tampaknya belum meng-capture kepiawaian sang Thinking General. Di forum internasional, beliau tampil mengkilat. Ketangkasannya berdialog dalam bahasa Inggeris membuat dia cukup menonjol. Kewibawaannya membuat suasana ruangan rapat jadi terjaga. Dan gesture, bahasa tubuhnya yang selama ini terlihat agak kaku, tiba-tiba mengalir luwes dengan keakraban, tak ubahnya bagai penari kawakan yang menakjubkan. Di hadapan komunitas Indonesia di Kuala Lumpur dan Bangkok, SBY berkomunikasi dengan cara yang sangat human. No more promises, semuanya tindak nyata dengan cara-cara one minute management. Satu masalah trafficking diselesaikan dalam hitungan jam setelah Lastri yang menjadi korban, curhat kepada Ibu Negara. Malam itu juga, Kapolres Asahan AKBP Mahfud Effendi melaporkan kepada Presiden di tengah masyarakat Indonesia di Kuala Lumpur: kedua pelaku trafficking sudah ditangkap.


Suasana pertemuan dengan komunitas Indonesia itupun sangat cair. Semua orang bisa bertanya apa saja, tanpa harus di-screening lebih dulu. Ceplas-ceplos, dengan sedikit kekurangan dan kelebihan di sana-sini. Namun dari sudut komunikasi, tujuannya sampai. Information in, information out. Lugas, jelas dan tuntas. Masalah pungli di tubuh imigrasi langsung disikapi, dan tepukan riuh rendah langsung bergema.


Masihkah kita harus menggerutu? Jawabannya bisa ganda. Ya dan tidak. Ya, jika kita masih menuntut agar semua urusan harus selesai over night. Kita lupa bahwa kita tidak punya lampu Aladdin untuk digosok, dan tidak ingat bahwa Roma tidak dibangun dalam satu hari. Tidak, jika mengerti bahwa kita harus menapaki anak tangga pertama sebelum sampai ke anak tangga ke seratus. One step at the time. Tidak, jika kita yakin bahwa arah dan lajurnya sudah benar. We’re on the right track. Kita harus merawat Indonesia bersama-sama. Kita harus merawat SBY juga. Bukan malah mengharap SBY yang merawat kita. Ini perlu dituliskan, karena akhir-akhir ini terdengar juga gerutu yang menyayangkan.


“SBY kurang merawat teman,” kata mereka-mereka yang dulu pernah dekat, mengusung dan menggadang-gadangkan SBY. Ketika diwawancarai Peter Gontha di acara Impact QTV, Eggi Sudjana terkesan mengeluhkan hal itu. Sys NS bahkan mengundurkan diri dari Partai Demokrat. “Saya tidak merasa dibutuhkan di sana,” katanya jenuh. Teman lain bilang, SBY kini punya banyak teman-teman baru.


Change your friends. Begitu kata Presiden Perancis Charles de Gaulle tentang teman-temannya. Ada apa dengan teman baru? Tidak semua teman baru mencelakakan, dan tidak seluruh teman lama memberi manfaat. Tapi memang, kehati-hatian sangat dibutuhkan, agar penyaringan terhadap inner-circle berjalan akurat. Lagipula, teman memang datang dan pergi. If a man does not make new acquaintance as he advances through life, he will soon find himself left alone. A man, Sir, should keep his friendship in constant repair, ujar Samuel Johnson, penulis kamus ternama dari Inggeris.


Ini memang sulit. Sebagai nucleus, presiden memang magnit yang membuat orang ingin tersedot masuk ke medan lingkarannya. Everybody loves a winner. Tetapi itupun bukan karena semata-mata SBY seorang pemenang, tetapi lebih disebabkan penilaian yang tertanam di benak orang bahwa SBY is the ruler, yang membuat orang-orang merasa mutlak harus mendekati SBY, for good reasons or for bad reasons. Apapun.


Tapi menunggu dirawat oleh SBY rasanya kurang etis. Terkesan manja. Saya lebih cenderung memberi jempol kepada orang-orang yang berniat merawat SBY. Sebagai presiden pilihan rakyat, SBY harus dijaga dan dipagari. Jangan biarkan terkontaminasi. Jangan biarkan jalan sendiri. Jangan diamkan hingga bisa terperosok dalam blunder, baik yang tidak diciptakan, maupun yang -sengaja atau tidak sengaja- diciptakan. Beri masukan yang akurat, apapun akibatnya bagi sang penyampai.


Ketulusan dan keterbukaan hati presiden pilihan rakyat ini selalu membuka peluang bagi orang lain. Dia sedang berbuat dan harus sangat hati-hati. Pendapat penyair Jerman Bertolt Brecht tentang teman-teman pantas dicamkan. I don't trust him. We're friends, katanya. Ketidakpercayaan justru timbul karena keakraban. Karena itu sebaiknya mari kita merawat SBY. Jangan minta dirawat olehnya. Merawat presiden pilihan rakyat, dalam arti yang luas sama dengan merawat masyarakat Indonesia, dan identik dengan merawat Indonesia.


Dimuat di Majalah B-Watch, edisi Januari 2006

Dua Pekan Terakhir Bersama Jo


Anyone's death always releases something like an aura of stupefaction,
so difficult is it to grasp this irruption of nothingness
and to believe that it has actually taken place.
- Gustave Flaubert


Semangat pastilah masih tersimpan di rongga dada Julianto Soesap Albanny, Wakil Pemimpin Redaksi di Harian Riau Mandiri. Antusiasme kerja tercermin dalam setiap ayunan langkahnya, bergaung di sela-sela kompartmen yang dibatasi partisi. Pria kecil berkacamata yang selalu terburu-buru dalam bicara ini adalah kawan kami, dalam batasan waktu yang berbeda-beda.


Hari Rabu 11 Agustus adalah saat pertama kali dia kuboyong ke Pekanbaru untuk diperkenalkan kepada jajaran redaksi. Ada mimik seru di wajahnya, layak bocah sedang menghadapi mainan baru. Sejak berangkat dari Jakarta, Mas Jo -begitu beberapa teman memanggilnya- terus riuh rendah. Di pesawat dia tak memejam mata, terus mengajakku bicara.


Penuh gairah menghadapi tantangan, pria yang selalu berpuasa Senin-Kamis ini pun memutuskan bergabung. Aku merasa sangat tertolong. Tugasku akan menjadi sedikit ringan, bisa lebih fokus berkonsentrasi sebagai Wakil Pemimpin Umum Harian Riau Mandiri, Pekanbaru dan Harian Sijori Mandiri, Batam saja, tanpa harus membagi perhatian menjadi Pemimpin Redaksi. Dalam masa peralihan, Jo akan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi selama tiga bulan sebelum nanti definitif ditetapkan sebagai Pemimpin Redaksi.


Jo pun mulai adaptasi memasuki tugas barunya. Membaur dan mempesona. Meski tidak parlente, namun pribadinya yang rapi senantiasa menonjolkan keteraturan sikap hidup. Shalat tak pernah tinggal, lengkap dengan dzikir. Perangainya yang selalu lapar akan berita, membuat dia tak pernah letih menyunting dan menulis.


“Be, kita akan bikin bagus koran ini,” katanya kepadaku, sering-sering. Dia memang kerap memanggilku Babe, tetapi kadang-kadang rancu menyampuradukkan dengan panggilan Bapak, Bang, atau Kawan.


Lima belas hari di Riau Mandiri, 15 hari pula dia menjadi teman diskusi. Berdebat tentang news value, menguji kekuatan kata, menimbang resam kalimat, menata terobosan lay-out, melahirkan kekuatan redaksional dan menunggu proses cetak hingga lepas dini hari. Semua dilakukan Jo dengan senyum dan teriakan akrab. Dia memang suka teriak dan perang pendapat. Di kantor lamanya di Bisnis Indonesia dan di Harian Merdeka, dia dijuluki Profesor. Namun para redaktur cenderung menyebutnya sebagai Mister Bukan, hanya karena dia acap menyanggah pendapat orang lain dengan kata Bukan!


Di kantor ini, dia juga sering menyanggah, mencari ragam perbedaan. Baginya dunia tidak satu warna, begitu pula kisi-kisi berita. Selama 15 hari dia berdialog dengan jajaran redaksi, semua diundang rapat di ruang kerjanya yang besar. Dia selalu melihat koran daerah sebagai koran besar, mampu mengubah wajah Indonesia. Yang jelas, hari ini, kondisi Julianto yang lebih dulu berubah. Sebagai Pemimpin Redaksi dia akan berhak atas berbagai fasilitas. Tiket Pekanbaru-Jakarta-Pekanbaru setiap bulan. Mobil dinas, sebuah Phanter baru tipe Kuda berwarna merah nyalang sudah tersedia di pelataran parkir. Dia sangat menyukainya, sehingga sering memaju-mundurkan mobil itu di pekarangan rumahku, seakan mobil itu selalu salah parkir. Rumah kediaman juga akan menyusul. Sementara masih sendiri, Julianto tinggal bersamaku dulu. Kami berdua saja di rumah besar itu, hanya sesekali ditemani oleh Wimpy, supirku yang bulat jenaka. Tapi kami tidak pernah merasa sepi. Ada meja bilyar di ruang depan dan alat-alat kebugaran di ruang belakang. Meski tanpa pembantu, makanan selalu tersedia. Setiap pukul enam pagi, Wimpy sudah datang membawa nasi gurih plus rendang dan dendeng, lengkap dengan kopinya. Dan kami akan terus bercakap-cakap sepanjang 24 jam, dari buka mata hingga tutup mata.


Seusai masa adaptasi dua pekan berlalu, Julianto pamit pulang ke Jakarta.

"Sebentar saja, kawan, cuma empat lima hari,” katanya. “Mau mengabarkan kepada istri dan anak-anak bahwa saya pindah ke sini. Sekalian ambil baju-bajulah.”


Memang harusnya begitu. Bekerja jauh dari keluarga bukan berarti melupakan mereka. Bahkan sebenarnya, merantau merupakan pengorbanan untuk anak istri. Pilihan Jo sudah tepat. Apalagi tiga bulan mendatang, dia akan mendapat rumah sendiri, supaya bisa memboyong keluarga ke Riau.


Tidak ada badai di Riau, meskipun perambahan hutan secara liar masih terus terjadi. Petirpun tidak menyambar-nyambar. Namun malam itu, aku menerima telpon dari Jo.

"Kawan, saya berangkat besok pagi, sampai Pekanbaru kira-kira pukul 10," ujarnya dari seberang. “Bisa suruh Wimpy jemput?”

Aku bilang, aku sendiri yang akan menjemputnya. Tetapi dia menolak.

“Masak Komandan yang jemput? Malu saya. Biar Wimpy sajalah.”
“Gak apa-apa kok. Aku sekalian mau ke arah airport,” jawabku
tuntas.


Rabu menjelang subuh itu sama sekali memang tidak ada badai. Apalagi gelegar petir. Namun sebelum jam empat pagi, handphone-ku berdering. Agak menggerutu juga terbangun jam sebegitu. Tapi kulihat nama yang terpampang di layar: Julianto.


“Apa To?” tanyaku.

“Ini Pak Izharry? Saya adik Julianto,” kata suara pria di balik handphone.
“Lho, ada apa? Julianto mana?”
“Julianto meninggal dunia, Pak, tadi sekitar jam tiga.”


Kepalaku berputar, lepas dari leher dan bergelinding ke kasur. Tuhan! Aku tersentak duduk dan berteriak keras, bertanya penyebabnya. Kata adiknya, Julianto hilang dalam tidur. Ketika dibangunkan istri agar bersiap-siap berangkat ke bandara, tubuhnya tak memberi reaksi. Ya Allah, Julianto sudah tiada! Kuatur napasku dan kubangunkan Basrizal, Bos Besar Riau Mandiri Group. Akupun berkemas. Akan kukejar pesawat pagi menuju Jakarta. Bagaimana pun aku harus menyambangi Julianto yang telah merambah perjalanan terakhirnya.


Mendengar kepergian seorang teman pastilah membuat aura keterkejutan kita lepas, dan begitu sulit rasanya memasuki kehampaan yang tiba-tiba. Namun bagaimanapun, kita harus yakin bahwa hal itu benar-benar sudah terjadi. Waktu bergulir, tak ada yang bisa dibatalkan dan diulang kembali. Aku pun tertunduk, airmata merambah di dalam batin. Semalam kami masih memperdebatkan judul, tapi kini pria berusia 40 tahun ini sudah tiada.


Kulempar mata yang berair keluar pesawat, menatap gugusan awan bisu. Aku datang menziarahimu, Jo. Begitu tipis jarak antara hidup dan mati, sementara sentuhan jurnalistikmu masih terasa begitu hangat. Dalam tepekur, aku melenguh. Jo, hari-hari tak akan pernah sama dengan dua pekan yang kita lalui. Selamat jalan, kawan!


(Dimuat dalam versi pendek di Harian Riau Mandiri, Agustus 2004)

Jurus Pamungkas Sang Kupu-Kupu


Seandainya kawasan nusantara ini diibaratkan dunia persilatan, maka kelebat Yusril Ihza Mahendra pastilah menampilkan rangkaian jurus-jurus pendekar wahid. Apalagi saat ini, ketika dia selalu menggendong dan menebas-nebaskan pedangnya yang berat dengan lincah. Di bawah kilatan lampu sorot bersinar tajam, mantan Menteri Sekretaris Negara ini meliuk-liukkan tubuh dalam jurus-jurus silat yang beringas.


Peran sebagai Cheng Ho dilakoninya dengan utuh. Dalam jubah kebesaran seorang Admiral, Yusril tampil wibawa. “Padahal sebenarnya saya takut,” katanya di sela-sela syuting di Lapangan Golf Kemayoran. “Gerakan refleks saya terlalu cepat, sehingga kamera sering tertinggal dalam membidik.” Akibatnya, banyak adegan yang terpaksa diulang dengan gerakan diperlambat. Namun ketakutan Yusril yang sebenarnya adalah jika dia harus bertarung dengan lawan mainnya. “Pedang yang saya pakai itu pedang betulan. Tanpa ayunan tangan saya saja, pedang besar itu bisa menebas badan orang, apalagi ditambah dengan tenaga saya.”


Pria yang lahir 52 tahun lalu ini memang masih lincah dan gesit. Apalagi setelah tidak bertungkuslumus dengan masalah-masalah politik dan pemerintahan, wajahnya terlihat semakin segar. Namun dia menyangkal hal itu. “Hidup saya penuh politik dan keahlian saya adalah bidang pemerintahan. Saya bernafas dengan kedua hal itu,” jawabnya. Jadi menurutnya, kebugaran itu adalah berkat olahraga semata. Memang, selain rajin lari-pagi, Pakar Tata Negara ini masih sering bermeditasi dan melakukan latihan pencak silat. “Untuk menjaga keseimbangan antara inner-side dan outer-side,” paparnya.


Semua itu terbawa sejak masih kecil di Belitung. Dari komunitas di sekitar kampungnya, Yusril banyak belajar Pencak Silat Melayu. Di setiap keramaian dan kerumunan, dia sering tampil sebagai pesilat cilik. Pada mulanya sebagai gerak seni budaya, tapi kemudian berubah menjadi gerak olahraga dan ilmu bela diri. Apalagi ketika dia mulai sering berkunjung ke Kelenteng Fu Thiap Khien untuk mempelajari ilmu Silat Kupu-kupu.


“Silat Melayu dan silat Cina tanpa sengaja telah berpadu di gerak refleks saya,” katanya. “Sejak kelas lima SD hingga tamat SMA saya terus mematangkan jurus-jurusnya.” Pelajaran itu baru terhenti ketika Yusril meninggalkan Belitung. Kupu-kupu kecil harus terbang menuju Jakarta.


Di ibukota, Yusril mendaftar ke perguruan silat yang sering mengadakan latihan di Al-Azhar. “Tapi saya ditolak berguru di sana. Mereka bilang saya seharusnya bukan jadi murid, tetapi jadi pelatih,” katanya tertawa. “Apa boleh buat, saya berlatih saja sendiri, terus memadukan jurus-jurus itu dan menghening cipta, memperdalam meditasi.”


Dengan bimbingan seorang biksu Thailand, Yusril pun memasuki alam batin yang raya tanpa batas. Manfaatnya sangat besar, karena hal itu membuat dia tidak lagi berkutat pada keduniawian, tetapi menapak ke kebijakan spiritual. Apalagi setelah dia berhasil memodifikasi cara bermeditasi sejalan dengan napas Islam. “Saya ubah dan saya jalani sendiri. Hasilnya sangat baik, saya menjadi lebih tenang, tidak punya rasa sakit hati, bebas dari berbagai perasaan buruk yang ada,” ucap pemilik restoran Beliton Bistro ini.


Tidak merasa kehilangan karena tidak menjabat lagi? Yusril menggeleng tegas. Menurutnya, jabatan itu datang dan pergi. Diberhentikan dari kabinet sudah merupakan hal yang biasa bagi dirinya, bukan aneh lagi. Baginya tidak ada lagi peristiwa yang luar biasa. Semuanya wajar seperti embun pagi, persis ketika dia dikabarkan tidak berkenan duduk di Mahkamah Konstitusi karena cenderung ingin bertarung di Pemilu untuk menjadi Presiden.


“Begitulah alur hidup,” tutur Yusril. “Kepribadian Admiral Cheng Ho yang saya lakoni merasuk juga ke jiwa saya, membuat tekad menjadi bulat dan sadar bahwa hidup ini tak lain daripada rentetan pengabdian semata, kepada Tuhan dan kepada masyarakat.” Hmm, jurus pamungkas sang kupu-kupu mulai disusun. Bersiap-siaplah, wahai Nusantara!

(Rancangan artikel untuk Majalah Pencak Silat IPSI)

Dasar Aku!


Seharusnya aku biasa-biasa sajalah,
bergeming saja atas kehadiranmu
kembali ke ruang rutinku.

Lagipula, telahkah aku pasti dengan tindakan

dan tak akan punya rasa sesal?

Seharusnya aku cuma senyum-senyum saja dan bilang :

''Yang segini ini saja sudah cukup bikin aku berkomentar

bahwa hidup ini memang lumayan indah.''

Lagipula, tidakkah itu fantasi, fatamorgana dan maya?

Namun,

mengapa aku masih terus saja
memencet-mencet nomor teleponmu?

(Dasar aku!)

Medan, 1 September 1994

Matinya Rasa Iba

“Mercy has a human heart, Pity a human face,
Love the human form divine, and Peace the human dress.”

William Blake
(1757 - 1827)


Pak Tutang, pemangkas rambutku, sangat piawai mencukur janggut, sehingga daguku bisa licin bak permukaan lilin. Aku membutuhkan dirinya, karena jika mencukur sendiri, janggutku sudah tumbuh lagi esok hari. Tapi dengan pisau siletnya, klimisku bisa bertahan dua setengah hari. Luar biasa. Aku menjadi pelanggan Pak Tutang lewat pencarian yang panjang. Sejak Bang Dahlan mati karena jantungnya mandeg, belum pernah aku menemu pemangkas yang memuaskan.

Kehilangankah aku? Rasanya tidak, terutama jika tidak berhubungan dengan janggut.
Tetapi setiap kali akan tampil di televisi, aku mendadak sontak merasa kehilangan Bang Dahlan. Rindu pada sapuan buncah sabun, handuk kecil kaku dikanji, lincah pisau yang mengerat ranggasan bulu-bulu di permukaan wajah, suara gunting kecil memotong bulu hidung, after-shave dan olesan menthol sebelum jemarinya memijat di alis mata, kening, leher dan bahu. Syoor kali, ah!

Sekarang Bang Dahlan benar-benar sudah mati. Aku kehilangan, tapi cuma sekejap, sudah itu biasa lagi. Mati ya mati! Life goes on. Bukan karena aku sudah menemu Pak Tutang, tetapi karena -Haa!- ternyata aku sudah kehilangan rasa iba.


Perasaan untuk menyayangkan rupanya sudah lenyap dari nuraniku. Beberapa teman meninggal dunia, tetapi aku menanggapinya dingin. Mati ya mati! Life goes on. Parahnya lagi, akhir-akhir ini, aku juga tak pernah lagi merasa kasihan kepada orang lain. Pengemis yang menengadahkan telapak tangan di dekat jendela mobilku, sering kutolak dengan kibasan jari. Selintas ada cemooh yang terbersit di bawah sadar: “Enak aja minta-minta. Kerja dong!” Meskipun tidak pernah merasa jijik, namun tanpa sadar, tombol kunci pintu lantas kutekan. Seakan-akan dengan berbuat begitu, jarakku dengan mereka sudah menjadi berkilometer jauhnya.


Aku juga menemu perasaan was-was menjalar di sanubariku. Khawatir pengemis dan para gelandang itu menggedor pintu dan memecahkan kaca meminta paksa handphone-ku. Mendadak sontak, aku berubah dari manusia normal menjadi makhluk aneh. Kini aku cuma punya kecurigaan, kebencian dan ketakutan. Orang-orang pasti akan menilaiku angkuh. Aku juga merasa begitu. Terutama ketika terhenti di lampu trafik depan stasiun bis Baranangsiang Bogor, saat mematai seorang ibu yang sedang melahap nasi dan sayur bersama anaknya, hasil mengemis sepanjang hari.


Kesombonganku tersindir hebat. Mataku basah. Dan kalimat lain mencuat: Alangkah binatangnya diriku, mengapa selama ini bergeming untuk hal seperti itu? Kemana rasa kemanusiaan yang rapi terpelihara sejak kecil? Akhirnya, orang-orang seperti merekalah yang membuatku terbentur, sekaligus memberi arti pada hidup ini. Bang Dahlan dan Pak Tutang tak boleh dilupakan. Teman-teman yang berpulang musti diantar dengan layak. Ibu pengemis dan anaknya harus diperhatikan. Tangan harus dijulurkan ke orang-orang yang bertambah miskin sejak BBM dinaikkan.


Pelan dan perlahan, terasakah bahwa kita saat ini sedang bertransformasi menjadi satwa? Dan kita harus menolak. Artinya, kita harus tetap menyimpan rasa iba, agar tetap jadi manusia.

(Dimuat di Majalah Marine Business, Kolom JUST THINK, Edisi Juni 2008)