Sabtu, Juni 28, 2008

The Richness of Life

Memory is history recorded in our brain,
memory is a painter,
it paints pictures of the past and of the day.
- Grandma Moses (1860 - 1961) U.S. painter


Buku tentang Hendra Wijaya? Why not?


Ketika keluarga almarhum meminta kesediaan saya menulis kata sambutan untuk buku tentang pemusik jazz handal ini, saya bersukacita. Bukan karena merasa dihargai atau dinilai sebagai orang dekat, namun karena memang seharusnya kenangan terhadap Hendra Wijaya dihidupkan. Men ought to remember those friends who were absent as well as those who were present, begitu kata sejarawan Yunani, Diogenes Laërtius.


Bukalah Google. Carilah nama Hendra Wijaya. Banyak memang, namun bukan Hendra Wijaya yang piawai bermain keyboard ini. Hendra Wijaya-Hendra Wijaya yang tercatat di sana adalah Hendra Wijaya yang tercatat sebagai pebulutangkis, desainer, kolektor komik, peraih hadiah ilmu fisika dan profesi lain lagi. Tetapi cerita tentang pemusik jazz ini sangat minim, hanya tampil dalam satu-dua berita. Itupun tidak berdiri sendiri sebagai sosok, namun selalu berkait dengan Ireng Maulana, konconya dalam bermusik. Di Google, kita cuma bisa memperoleh kisah tentang Hendra yang pernah bergabung dengan Ireng Maulana All Stars pada tahun 1981 dan pagelaran jazz “Ireng Maulana & Friends - The Legend is Back”, yang diadakan untuk menghormati dan mengenang dua musisi terbaik Indonesia yang sudah almarhum, yaitu pemain bass Perry Pattiselanno dan pemain piano Hendra Wijaya.


Ini mungkin disebabkan oleh jangkauan ingatan pendek yang kita miliki. Sulit mengingat, dan tragisnya: sangat mudah melupakan. Sehingga kita sering tidak merasa kehilangan. And when he is out of sight, quickly also is he out of mind. Demikian Thomas à Kempis, pendeta German yang juga penulis itu tentang sosok teman. Orang yang jarang kita temui, mendadak bisa tersaput hilang dari ruang memori. Dan ketika suatu saat bertemu lagi, kita pun blank, lupa segala sesuatu tentang dirinya, bahkan nama saja pun kita tak tau. Padahal bisa jadi orang tersebut banyak memberi andil dalam hidup kita.


Hendra Widjaja ini misalnya. Saya pertama berkenalan dengannya di tahun 1973, sesaat setelah dia meraih gelar juara pada National Electon Festival se Indonesia. Saya tahu dia hebat. Namun penilaian saya itu gugur ketika tak lama sesudah itu, di Tokyo Yamaha International Electon Festival, dia menyabet pula gelar Juara Dua. Dia ternyata tidak hebat. Dia luar biasa!


Karena itulah, ketika saya akan mengadakan jamuan makan untuk menyambut rombongan pengusaha dari Amerika, saya mencari Hendra. Saya membutuhkan seorang pianis berkelas untuk menghibur ke 60 tamu bule itu. Saya perintahkan staf untuk mencari dan mengundang pria yang terkesan diam itu. Ternyata tidak mudah juga. Sebagai juara baru, jadwalnya penuh dan hampir tidak punya waktu untuk tampil di pesta-pesta kecil, apalagi di rumah! Begitu pikir saya.


Namun, Hendra datang dengan senyum mengembang, bersosialisasi dengan keramahan yang cair dan bermain dengan kecekatan jemari yang lincah. Lagu-lagunya meluncur anggun tanpa cacat, membuat tetamu terpana. Lagu-lagu standar Amerika disuguhkannya nyaris sempurna, mulai dari ciptaan George Gershwin, Rhapsody in Blue dan Someone to Watch Over Me, hingga gubahan Irving Berlin Cheek to Cheek, sampai kepada musik-musik piano yang disuguhkan oleh Carmen Cavallaro dalam film The Eddy Duchin Story, seperti La Vie En Rose, Manhattan dan You’re My Evrything. Dan sudah tentu jazz! Kecintaan Hendra kepada jenis musik ini membuat seluruh ruang di rumah saya menggemakan musik piano dari pianis jazz ternama seperti Earl ‘Fatha’ Hines, Jelly Roll Morton dan Bill Evans.


What a memorable night! Bertahun-tahun kemudian, ketika saya berkunjung ke Amerika, teman-teman yang dulu pernah saya undang ke jamuan makan selalu bertanya tentang Hendra. Lagi-lagi Hendra. Dan saya selalu suka menjawab mereka, karena saya pun akhirnya banyak tau tentang Hendra.


Memang, sejak pesta kecil di rumah, keluarga kami menjadi sangat akrab. Istrinya Syenni adalah nyonya rumah yang ramah, pantas menjadi public-relations yang handal bagi karir suaminya. Kedua anaknya - Fei dan Carina- adalah anak-anak yang pintar, manis dan santun. Saya juga punya banyak kenangan dengannya. Salah satu yang masih menggantung di ruang ingat adalah ketika kami memenuhi undangan TV Hongkong dan Taiwan. Hendra memukau penonton dengan performansi yang prima. Saya bersyukur menjadi teman baik Hendra dan sekaligus bangga, karena Indonesia mempunyai Maestro bernama Hendra Widjaja.


Namun kini dia telah tiada. Hendra sudah pergi, melanglang di ranah abadi yang dijanjikan Tuhan, meninggal dunia karena kanker di Rumah Sakit MMC pada 6 November 2005. Album terakhirnya bersama Ireng Maulana yang berjudul Sweet Jazzy masih hangat, dan kita masih harus selalu menyimpan kenangan atasnya. Kenangan adalah sejarah yang terpatri di otak manusia, kenangan adalah pelukis, yang mengguratkan unsur warna masa lalu dan masa kini.


Sering-sering di rumah, jika malam sudah larut dan hening, di telinga saya masih terngiang ketukan toest-toest piano, melantunkan musik untuk jiwa, untuk kehidupan yang fana. Hendra Wijaya ternyata masih hidup di relung-relung jiwa saya. Begitu juga di kehidupan Syenni, Fei dan Carina yang penuh berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.


Buku tentang Hendra Wijaya? Why not? Hal-hal seperti inilah yang membuat orang-orang tidak lupa. Sehingga di hari-hari selanjutnya, jika ada yang ingin tau, mereka tinggal mengelik Google untuk mengetahui siapa sebenarnya Hendra Wijaya yang berdedikasi tinggi dalam musik jazz tanah air. Dan saya yakin, buku ini juga layak disusun di rak, untuk kepustakaan kita bersama. Ternyata, the richness of life lies in the memories we have forgotten.

Bogor, 28 Juni 2008
Ditulis untuk Paul Kusumawijaya
sebagai Kata Sambutan Buku Hendra Wijaya

Tidak ada komentar: