Sabtu, November 07, 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Incheon, di Suatu Hari


Angin tipis menampar pipi saat keluar dari Korea Airlines KAL 628 di Ienchon International Airport. Kelu. Meski musim dingin datang terlambat tahun ini, tetap saja aku harus meninggikan kerah jas. Mungkin akan ditambah dengan mafela dan sarung tangan jika matahari merosot jatuh ke balik laut. Wanti-wanti yang kuterima mengatakan, di beberapa lokasi Korea Selatan, salju sudah bertabur jatuh. Dibutuhkan persiapan ekstra bagi orang yang dating ke negeri ginseng ini. Begitu juga kiranya, bagiku.

Namun dalam bus besar, terobosan dingin tidak terasa. Jong-Sub Cho, mahasiswa Korea yang mengambil Jurusan Bahasa Indonesia itu terpatah-patah mengisahkan hikayat negerinya kepadaku. Bagus juga kisah sepanjang jalan itu. Aku jadi merasa lebih lega menyusuri jalan tol di lereng gunung Chungryang, untuk menuju kawasan Songdo, tempat Hotel Ramada menjulang.

Di sana, di ruang utama hotel, seorang lagi warga Korea bersusah-payah dalam bahasa Indonesia mengelu-elukan kedatanganku. Kesopanannya bersahaja, tapi terasa terlalu mewah untuk diterima, karena aku tetap saja merasa sendiri di tengah mereka. Perjalanan ini memang tunggal, dirancang untuk satu orang dan sangat mempribadi. Karenanya, tak perlu digubris kerlingan dan cekikikan kedua perempuan muda yang menghirup mie panas di warung kecil di pojok Ramada.

Incheon yang menikamkan dingin membawaku dalam keheningannya. Di kamar memang terasa hangat, tapi aku bisa berdarah-darah dihunjam belati sepi. Tidak ada jadwal yang harus dipatuhi. Cuma dekat magrib, Jong-Sub Cho berjanji akan mengantarku ke Namdemun Sijang, pasar tradisional di kawasan kota Seoul yang berbukit. Selebihnya aku bebas dan liar seperti bola bekel. Mau gelimpangan bisa, mau jungkir balik silakan. Tergantung hasrat, terserah kaki.

Maka, lebih baik aku merentangkan kaki dan punggung di coffee-shop gelap ini, termangu-mangu sembari menghirup seseloki-dua Tia Maria untuk pemanas diri.

Adakah kedamaian itu berdiam di sini?

REMINISCENCE OF THE DAYS : Aku dan Ompung Madong


Langit menghijau menghias malam Bagaikan tidur rupanya alam. Besarnya bulan laksana talam Bintang bersinar umpama nilam Angin bertiup perlahan-lahan Membuai burung di atas dahan. Air mengalir bagai tertahan Sadar hatiku kepada Tuhan Senyap di sini di sana sunyi Satupun tidak ada berbunyi Hanyalah jangkrik mengangkat nyanyi Di dalam rumput ia sembunyi Terimakasih aku ucapkan Kepada Tuhan yang memberikan Di dalam hati aku serukan: “Alangkah indah yang kau jadikan!”

Diambil dari buku Taman Kesuma, terbitan tahun 1923

Lagu TERANG BULAN ini merindingkan bulu romaku ketika dinyanyikan oleh paduan suara murid-murid Sekolah Rakyat (SR) di Gedung Kesenian Medan. Sepanjang ingatanku, acara malam di tahun 1960 itu khusus diselenggarakan untuk menghormati almarhum Madong Lubis yang meninggal dunia beberapa bulan sebelumnya, diisi dengan pembacaan sajak dan pagelaran musik ciptaannya yang termaktub di buku Taman Kesuma 1 & 2. yang selalu dibubuhi tanda tangannya untuk menghindari penggandaan liar.

Kami sefamili diundang hadir. Aku yang saat itu masih kelas empat SR rasanya ingin ikut tampil nyanyi di panggung bersama mereka. Tapi tak bisa karena aku berasal dari sekolah lain. Jadi aku cuma terhenyak di kursi, hanyut oleh keindahan musik dan lirik. Kadang-kadang aku hanya ikut bernyanyi dalam bisikan, seperti ketika koor itu menyenandungkan LAGU BERMAIN yang dikenal sebagai lagu PETIK RAMBUTAN. Sebagian liriknya masih kuingat.

Petik rambutan, bungkus di kain Belilah kain buatan Bangka Ayolah kawan, mari bermain Mari bermain bersuka-suka. Ayo, ayo, ayo Lari, lari, lari, Ayo berlari, jangan berdiri.

Lagu ini sangat terkenal waktu itu. Lagu gembira, lagu permainan kanak-kanak. Lagu lincah yang juga sering dinyanyikan orang dewasa. Bahkan duet The Blue Diamonds , yaitu abang-adik Ruud de Wolff dan Riem de Wolff kelahiran Jakarta, setelah berimigrasi ke Belanda tahun 1949, menyanyikan lagu PETIK RAMBUTAN ini di salah satu piringan hitam mereka.

Di lain bagian, dilantunkan juga lagu KATAK LOMPAT.

Lompat, hai katak lompat Lompat ke dalam paya. Kalau terlampau cepat Boleh dapat bahaya. Elok jalan ke Simpang Dua Kiri kanan berpohon rapat. Elok juga berkawan tua Perut kenyang nasihat dapat.
Sungguh lagu-lagu bersahaja yang gampang diingat. Memberi petuah dan memperkaya kesantunan. Menyuguhkan pesan moral dan mempertinggi budi pekerti. Begitulah rentetan lagu-lagu ciptaan Madong Lubis yang bergulir, yang terus kusimak dengan takjub. Tak kusangka Ompungku ini sedemikian halus jiwanya. Padahal, kalau dia marah karena aku tidak belajar dan lupa membuat huiswerk (pekerjaan rumah), matanya yang merah membuat aku lari bersembunyi ke balik piano.

Ada seorang anak, namanya si Degil Ia suka benar, main bedil-bedil O, meriam tomong, O meriam tomong…. Ada motor siparolet, be-ka spuluh dua Ada zaman meleset, gadis bersanggul dua O, meriam tomong, O meriam tomong….

Lagu MERIAM TOMONG itu juga bukan lagu biasa. Di film Naga Bonar 1, lagu itu menjadi ilustrasi musik untuk menggambarkan kegigihan para pejuang kemerdekaan. Sepupuku pernah mengingatkan, itu lagu bukan ciptaan N.N. alias No Name karena tidak diketahui siapa penciptanya. "Lagu itu ciptaan Ompung kita," katanya.

Hal ini memang perlu diperjelas, tanpa harus memperdebatkan. Apalagi di antara lagu-lagu yang dinyanyikan malam itu, berkumandang juga lagu LANCANG KUNING.

Lancang kuning, Lancang kuning berlayar malam Hei, berlayar malam Lancang kuning, Lancang kuning berlayar malam Hei, berlayar malam Haluan menuju, haluan menuju kelaut dalam Haluan menuju, haluan menuju kelaut dalam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam Kalau nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham Hei, kuranglah faham Kalau nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham Hei, kuranglah faham Alamatlah kapal, alamatlah kapal akan tenggelam Alamatlah kapal, alamatlah kapal akan tenggelam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning, Lancang kuning menerkam badai Hei, menerkam badai Lancang kuning, Lancang kuning menerkam badai Hei, menerkam badai Tali kemudi, tali kemudi berpilih tiga Tali kemudi, tali kemudi berpilih tiga Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam

Aku menduga-duga dan melempar tanya, mengapa lagu LANCANG KUNING juga dinyanyikan di malam itu? Apakah lagu itu juga ciptaan Madong Lubis? Aku tak paham, karena usiaku saat itu bukan usia untuk bertanya. Di tengah-tengah kenakalanku saat kecil di rumah SOPO LUBIS di jalan Sungai Rengas No. 10 itu, aku memang sering melihat Ompung berlatih musik dengan teman-temannya. Salah satu temannya -menurut ibuku- adalah Lili Suheri. Mereka sering memainkan lagu LANCANG KUNING dan lagu-lagu lain.

Tapi apa perduliku? Saat itu masih sekitar tahun 1959 dan usiaku masih delapan tahun. Bergolek-golek di semen di bawah kursi malas Ompung Madong yang terbuat dari rotan saja, aku sudah merasa sentosa, karena pasti tak akan dihardik oleh ayahku yang polisi. Koran bahasa Arab miliknya yang dikirim dari Malaya sering kujadikan alas kepala sehingga dia harus menggelitikku terlebih dulu agar bisa mengambilnya. Dan kalau dia menggesek biolanya dengan perlahan, akupun terlayang-layang mengantuk.

Ah, hari-hari kemarin yang mendebarkan jantung, masih terasa hingga saat ini. Berpuluh-puluh tahun kemudian, bahkan hingga detik ini, jiwaku masih selalu menggeletar jika melantunkan senandung-senandung ciptaannya secara perlahan.

Duhai, andai kubisa menggumamkannya buat kalian!

Bogor, 29 Oktober 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Dupont Circle, Washington, D.C.

Sorot matahari keras jatuh ke bumi. Semua orang menyambut gembira. Inilah hari kerja pertamaku di Washington D.C. I see trees of green, red roses too. I see them bloom for me and you. Tidak seperti di San Francisco dan Chicago yang penuh deru angin dingin, musim panas ternyata masih betah memayungi ibukota AS ini.

Di Dupont Circle, taman berbentuk bundar yang terletak di depan Hotel Dupont Plaza tempatku menginap, banyak sekali orang beria-ria. I see skies of blue and clouds of white. The bright blessed day, the dark sacred night. Ada yang duduk bermain catur dengan punggung terbuka, ada pula sekedar duduk memandangi sekeliling, sambil sesekali-dua berbincang dan tertawa bersama teman dekatnya. Orang yang serius menghabiskan waktu membaca di keterbukaan, sengaja menyerahkan diri kepada mentari. Bayangan teduh pepohonan sama sekali tak berguna, juga bagi ibu muda yang membawa kereta dorong berisi bayi. I hear babies cry I watch them grow. They learned much more than I'll never know.

Ini hari aku harus Meridian House International (MHI) di Crescent Place 1624, untuk bertemu dengan Jeannette Engelking dan Mark Freeman. Kedua mereka adalah Program Officer, masing-masing dari United States Information Agency (USIA) dan Visitor Program Service, yang bertugas untuk menerima, menyusun program dan melayaniku selama di AS.

Janji temu adalah pukul sebelas siang. Masih lama. The colors of the rainbow so pretty in the sky. Are also on the faces of people going by. Rasanya aku masih sempat mandi dan sarapan, untuk kemudian merokok-rokok sembari membaca koran pagi di coffee shop yang menghadap ke Dupont Circle. Lagipula MHI tidaklah terlalu jauh dari sini. Hanya sekitar 15 menit dengan taksi.

I see friends shaking hands, saying: ‘How do you do?’ They really saying: ‘I Love You. Aku tak perlu bergegas. Kubiarkan saja diriku terseret-seret oleh bola mata yang nyalang.

Aku termangu-mangu menatap segala. Inilah jenis pekerjaan yang paling kusuka. And I think to myself: What a wonderful world…!

Selasa, 20 Agustus 1991 (Diposting 30 September 2009)

REMINISCENCE OF THE DAYS: Malaikat-malaikat Kecil

Bermain bola di lapangan Simare-mare adalah kegiatan rutin malaikat-malaikat kecil itu. Meski cuma dengan bola rambung yang terbuat dari serat/getah pohon karet, permainan di sana amat seru, kira-kira setingkat klub papan atas Manchester. Karena dengan bola rambung, akan mudah sekali membuat tendangan pisang, bend it like Beckham. Pilih kawanmu, kupilih kawanku, mari kita buka baju untuk ditumpuk menjadi tiang gawang tak kasat mata.

Lapangan yang dipagari oleh potongan kecil Bukit Barisan itu berbentuk huruf U dan tak berumput sempurna. Ada yang botak-botak, cuma tanah dan pasir semata. Banyak juga yang sudah berlobang-lobang becek, sehingga sering beberapa ekor kerbau berkubang di sana. Meski jorok menjijikkan, namun coklat warna kulitnya bersinar ditimpa mentari sore. Tapi who cares, permainan ini terlalu menyenangkan sehingga halangan apapun tak perlu dipedulikan.

Permainan sepak bola itu memang tak boleh terhenti. Tugas sekolah dan panggilan pulang dari rumah dibuta-tulikan saja. Apalagi cuma hujan pantai yang rapat. Hanya saja, baju dan celana harus disimpan-susupkan di kolong jembatan agar tetap kering. Ini perlu, agar para orangtua tidak bercuriga dan tidak tau kalau mereka sudah berbecek-ria dan berkubang di lumpur bersama kerbau-kerbau dungu.

Maka, di bawah gelontor hujan dan sambaran petir, orang-orang akan melihat bayang-bayang kecil itu menari-bersijingkat, berlarian-berkejaran, berlompatan-bergelimpangan, berebutan-bertolakan, berloncatan-bertepuktangan, bercengkerama-bergembira, bercanda-bertelanjang tanpa busana. Bulat-bulat, basah dan dingin, sehingga kantung-kantung telor mengeriput dan penis-penis kecil menyusut. Tapi, who cares!?

Cihuuuiii.............., malaikat-malaikat kecil itu adalah kami!

(diposting Minggu, 27 September 2009)
Sibolga, 1960-1965, untuk ingatan teman-teman kecil: Marlan, Dogor, Roybat, Tamba, Sakti, Bakti, Ciang, Lindung, Omri, Sidik, Victor, Jansen, Polin, Amad, Sunan, Horas & Remon.

REMINISCENCE OF THE DAYS : Selamat Tidur, Helena!

Setelah berhari-hari menginap di Hotel Radisson, Memphis, pagi itu jadwalku adalah Helena, Arkansas. Dengan mengendarai mobil, kutelusuri jalan yang menguap. Cukup makan waktu. Lubang hidung kering dan kulit terasa berminyak. Tujuan adalah Cotton Field, perladangan kapas yang luasnya sepanjang penglihatan. Langsung menusuk ke perkebunan kecil, terlihat kerumunan para kulit hitam sedang merayakan beria-ria merayakan Hari Panen, pada pesta semacam bazaar yang penuh makanan, minuman dan musik.

Ceria mereka menyambutku. Dengan senyum lebar mereka lontarkan puji-puji bernuansa agama. “Oh my Lord!” ujar mereka atas kedatanganku. Tapi wajahnya juga masih penuh rasa heran. “I’m just a stranger passing by,” kataku.

Kami kemudian merayakan hari ulang tahunku yang persis jatuh di tanggal sama dengan Cotton Day itu. Di rumah keluarga Joe, aku didudukkan persis di sisi kanan tuan rumah. Seluruh anggota keluarga hadir di situ. Kami saling bertanya dan saling menjawab. Mereka menghidang makanan yang hampir tak boleh kusentuh, karena rata-rata bercampur daging babi. Aku bingung, mereka bingung. Akhirnya mereka memberiku seporsi kulit kentang yang telah direbus. “It’s okay!” tanggapku.

Sebelum makan, mereka mengajakku berdoa. Panjang sekali. Dan seusai doa, empat putri keluarga itu berdiri di sampingku untuk ber-acapela melantunkan lagu. Aku merasa aneh, merayakan ulang tahun dengan gaya yang lain. Tapi it’s always okay. Malam itu aku menginap di Edwardian Inn, di tempat yang bukan hotel atau motel, tetapi Bed & Breakfast. Seperti maknanya, mereka cuma menyediakan tempat tidur & sarapan pagi. Kamarku persis di puncak teratas, dekat wuwungan atap. Perabotannya tempo dulu, terkesan kuno dan berwarna gelap. Agak menyeramkan. Tapi karena mata mengantuk dan badan letih, hal itu sama sekali tidak mengganggu. 

Apa yang kucari di sini? Dan apa yang kuperoleh? Aku mungkin menemukan sesuatu tetapi tetap merasa kehilangan. Hidup tak pernah lengkap. Jawaban datang satu per satu, menjelaskan namun tidak menjawab. Besok aku akan berjalan lagi, menyeret tubuh sepanjang jalan, berkelana mencari diri. Kubuka jendela dan melongokkan kepala menerawang malam. Yang ada cuma gelap.

Selamat tidur, Helena!

Diposting Jumat, 25 September 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS: Senja di Tip Top

Burung-burung itu selalu terbang bergerombol dalam formasi yang aneh. Kecepatannya tinggi, namun menukik, berbelok dan berbalik dapat dengan gampang mereka lakukan. Tidak ada yang bertabrakan, bahkan bersenggolan. Sungguh kelebat terbang kelas prima.

Dari kursi rotan tua di pojok Tip Top itu, aku mengamati mereka setiap senja turun. Dengan segelas ice cream, aku memantau potongan langit yang dilatardepani oleh bangunan pertokoan. Di sana mereka melayang-layang, bermain-main dan bercengkerama di udara terbuka.

Siapa mereka?
Swallow-kah? Sparrow-kah? Perling? Ah, apapun adanya, mereka telah mempertontonkan kelebat terbang kelas prima. Dan itu mendamaikan hati.

Kamis, 24 September 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Kebersamaan dan Kesetiaan

Terseok-seok dia menyusuri jalan. Badan bungkuk melengkung nyaris membuat kepalanya mencium tempurung lutut kanan. Rambutnya gimbal segimbal-gimbalnya, karena sudah bercampur kotoron, tanah, segala jenis kutu dan tumo. Busananya sangat tak pantas disebut pakaian. Tubuh berdaki karena tak pernah mandi, wajah mendelik jika bicara, membuat dia jadi imitasi terdekat Quasimodo, si Bungkuk dari Notre Dame.

Namun kegagahan masih membayangi. Di belakang pria tengah usia itu, berjalan beriringan keluarganya, seorang wanita bule dengan dua anak perempuan yang masih kecil. Mereka berpakaian lusuh, mirip gypsy, tetapi kulit mereka tidak kusam, karena pastilah berbasuh setiap hari. Bola mata mereka coklat bening, agak kuyu tetapi tak pernah kehilangan cahaya.

Tidak banyak yang tau siapa laki-laki itu. Orang-orang pernah berbisik mengatakan, dia bernama Anwar Nasution. Aku tak pasti. Konon, pemuda gagah dari Sipirok ini adalah pelaut ulung. Dia melanglang buana, menantang ombak dan gelombang. Dialah yang berkelana dengan suara lantang menghardik badai dan menampar ombak besar di lima samudra. Dialah yang menyusuri dermaga-dermaga benua Eropa, tak menyerah pada takdir, tak angkat tangan terhadap nasib. Dia pulalah yang menikahi wanita anggun dari Eropa, istri yang memberinya dua anak berambut pirang, berhidung mancung.

Namun, petaka memang tak selamanya bisa dihindarkan. Tiang kapal patah dan menimpa tubuhnya yang tegap. Diapun lunglai, terjerembab setengah mati, namun masih mampu bertahan dengan tubuh remuk dan pikiran kacau. Kecacatan membuat hidupnya berbalik 180 derajat, tak lagi bisa bekerja sebagai kelasi. Menganggur! Tak punya mata pencaharian! Kiamat sangat dekat dengan kepala.

Tapi keluarga Anwar tetap survive. Mereka bertahan dengan menyusuri kota Medan. Terseok-seok bersama, menantang dunia bersama. Rumah tiada, harta tak punya. Tidur beralas tikar di sela-sela emperan toko. Mereka tak pernah menengadah telapak meminta-minta, hanya menerima jika disodorkan. Mereka menggelandang trotoar demi trotoar dan terowongan, berbalut buntalan kain-kain gendongan.

Di mana mereka sekarang? Kota Medan sudah lama tak melihat mereka. Anwar mungkin sudah tiada, tetapi ini hari keluarga itu berkelebat dalam lintas pikirku. Mereka ternyata bukan kotoran, meski kehidupan selalu berhubungan dengan sampah. Keluarga Anwar adalah harum mawar penghias kota Medan, potret jelita ibukota Sumatera Utara, karena mereka memiliki hal yang jarang kita miliki, suatu nan bernama: kebersamaan & kesetiaan.

Kebersamaan keluarga dalam menjalani susah seperti menikmati kesenangan, adalah fenomena. Kesetiaan keluarga mendampingi suami dan ayah dalam segala kondisi, sungguh sesuatu yang sangat luar biasa. Sesuatu yang langka, tidak selalu terjadi di zaman ini.

23 September 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Ancogot

Mempersiapkan juadah di malam sebelum lebaran merupakan satu bagian dari masa kecil, yang kini tidak tersisa lagi. Itu dimulai saat nenek mengeluarkan loyang besi panjang mirip raket bulutangkis untuk memasak kue ancogot, kue yang hanya boleh dimakan pada esok hari di bulan Syawal. FYI, ancogot dalam bahasa Mandailing berarti besok.

Uniknya, kue itu cuma hadir di Hari Raya, tidak pernah di hari lain. Rasanya tidak begitu istimewa, tapi karena hanya muncul setahun sekali, kami selalu merindukannya. Kue yang diadon dengan tepung, mentega dan telur ini berbentuk pipih, mirip uang benggol berdiameter tiga centimeter, dengan garis-garis saling menyilang membentuk kotak-kotak kecil. Disusun satu persatu di dalam stoples kaca, ditutup erat dan rapat supaya tidak masuk angin, untuk menjaga kerapuhan dan tidak melempem, juga agar tangan-tangan kecil kami tidak gampang membukanya.

Kini ancogot sudah tak ada lagi. Toko-toko tidak menjualnya. Tidak ada di mana-mana. Keluarga kami tidak memasaknya lagi. Bukan karena resep ini tidak diwariskan, tetapi karena kami sekarang merasa lebih praktis dengan membeli di toko kue. Dan aku merasa kehilangan. Memasak memang tidak praktis, meski lebih ekonomis. Membeli memang mudah, namun tidak pernah indah.

Lebaran 200909