Sabtu, November 07, 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Ancogot

Mempersiapkan juadah di malam sebelum lebaran merupakan satu bagian dari masa kecil, yang kini tidak tersisa lagi. Itu dimulai saat nenek mengeluarkan loyang besi panjang mirip raket bulutangkis untuk memasak kue ancogot, kue yang hanya boleh dimakan pada esok hari di bulan Syawal. FYI, ancogot dalam bahasa Mandailing berarti besok.

Uniknya, kue itu cuma hadir di Hari Raya, tidak pernah di hari lain. Rasanya tidak begitu istimewa, tapi karena hanya muncul setahun sekali, kami selalu merindukannya. Kue yang diadon dengan tepung, mentega dan telur ini berbentuk pipih, mirip uang benggol berdiameter tiga centimeter, dengan garis-garis saling menyilang membentuk kotak-kotak kecil. Disusun satu persatu di dalam stoples kaca, ditutup erat dan rapat supaya tidak masuk angin, untuk menjaga kerapuhan dan tidak melempem, juga agar tangan-tangan kecil kami tidak gampang membukanya.

Kini ancogot sudah tak ada lagi. Toko-toko tidak menjualnya. Tidak ada di mana-mana. Keluarga kami tidak memasaknya lagi. Bukan karena resep ini tidak diwariskan, tetapi karena kami sekarang merasa lebih praktis dengan membeli di toko kue. Dan aku merasa kehilangan. Memasak memang tidak praktis, meski lebih ekonomis. Membeli memang mudah, namun tidak pernah indah.

Lebaran 200909

Tidak ada komentar: