Kamis, Juni 12, 2008

Dua Pekan Terakhir Bersama Jo


Anyone's death always releases something like an aura of stupefaction,
so difficult is it to grasp this irruption of nothingness
and to believe that it has actually taken place.
- Gustave Flaubert


Semangat pastilah masih tersimpan di rongga dada Julianto Soesap Albanny, Wakil Pemimpin Redaksi di Harian Riau Mandiri. Antusiasme kerja tercermin dalam setiap ayunan langkahnya, bergaung di sela-sela kompartmen yang dibatasi partisi. Pria kecil berkacamata yang selalu terburu-buru dalam bicara ini adalah kawan kami, dalam batasan waktu yang berbeda-beda.


Hari Rabu 11 Agustus adalah saat pertama kali dia kuboyong ke Pekanbaru untuk diperkenalkan kepada jajaran redaksi. Ada mimik seru di wajahnya, layak bocah sedang menghadapi mainan baru. Sejak berangkat dari Jakarta, Mas Jo -begitu beberapa teman memanggilnya- terus riuh rendah. Di pesawat dia tak memejam mata, terus mengajakku bicara.


Penuh gairah menghadapi tantangan, pria yang selalu berpuasa Senin-Kamis ini pun memutuskan bergabung. Aku merasa sangat tertolong. Tugasku akan menjadi sedikit ringan, bisa lebih fokus berkonsentrasi sebagai Wakil Pemimpin Umum Harian Riau Mandiri, Pekanbaru dan Harian Sijori Mandiri, Batam saja, tanpa harus membagi perhatian menjadi Pemimpin Redaksi. Dalam masa peralihan, Jo akan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi selama tiga bulan sebelum nanti definitif ditetapkan sebagai Pemimpin Redaksi.


Jo pun mulai adaptasi memasuki tugas barunya. Membaur dan mempesona. Meski tidak parlente, namun pribadinya yang rapi senantiasa menonjolkan keteraturan sikap hidup. Shalat tak pernah tinggal, lengkap dengan dzikir. Perangainya yang selalu lapar akan berita, membuat dia tak pernah letih menyunting dan menulis.


“Be, kita akan bikin bagus koran ini,” katanya kepadaku, sering-sering. Dia memang kerap memanggilku Babe, tetapi kadang-kadang rancu menyampuradukkan dengan panggilan Bapak, Bang, atau Kawan.


Lima belas hari di Riau Mandiri, 15 hari pula dia menjadi teman diskusi. Berdebat tentang news value, menguji kekuatan kata, menimbang resam kalimat, menata terobosan lay-out, melahirkan kekuatan redaksional dan menunggu proses cetak hingga lepas dini hari. Semua dilakukan Jo dengan senyum dan teriakan akrab. Dia memang suka teriak dan perang pendapat. Di kantor lamanya di Bisnis Indonesia dan di Harian Merdeka, dia dijuluki Profesor. Namun para redaktur cenderung menyebutnya sebagai Mister Bukan, hanya karena dia acap menyanggah pendapat orang lain dengan kata Bukan!


Di kantor ini, dia juga sering menyanggah, mencari ragam perbedaan. Baginya dunia tidak satu warna, begitu pula kisi-kisi berita. Selama 15 hari dia berdialog dengan jajaran redaksi, semua diundang rapat di ruang kerjanya yang besar. Dia selalu melihat koran daerah sebagai koran besar, mampu mengubah wajah Indonesia. Yang jelas, hari ini, kondisi Julianto yang lebih dulu berubah. Sebagai Pemimpin Redaksi dia akan berhak atas berbagai fasilitas. Tiket Pekanbaru-Jakarta-Pekanbaru setiap bulan. Mobil dinas, sebuah Phanter baru tipe Kuda berwarna merah nyalang sudah tersedia di pelataran parkir. Dia sangat menyukainya, sehingga sering memaju-mundurkan mobil itu di pekarangan rumahku, seakan mobil itu selalu salah parkir. Rumah kediaman juga akan menyusul. Sementara masih sendiri, Julianto tinggal bersamaku dulu. Kami berdua saja di rumah besar itu, hanya sesekali ditemani oleh Wimpy, supirku yang bulat jenaka. Tapi kami tidak pernah merasa sepi. Ada meja bilyar di ruang depan dan alat-alat kebugaran di ruang belakang. Meski tanpa pembantu, makanan selalu tersedia. Setiap pukul enam pagi, Wimpy sudah datang membawa nasi gurih plus rendang dan dendeng, lengkap dengan kopinya. Dan kami akan terus bercakap-cakap sepanjang 24 jam, dari buka mata hingga tutup mata.


Seusai masa adaptasi dua pekan berlalu, Julianto pamit pulang ke Jakarta.

"Sebentar saja, kawan, cuma empat lima hari,” katanya. “Mau mengabarkan kepada istri dan anak-anak bahwa saya pindah ke sini. Sekalian ambil baju-bajulah.”


Memang harusnya begitu. Bekerja jauh dari keluarga bukan berarti melupakan mereka. Bahkan sebenarnya, merantau merupakan pengorbanan untuk anak istri. Pilihan Jo sudah tepat. Apalagi tiga bulan mendatang, dia akan mendapat rumah sendiri, supaya bisa memboyong keluarga ke Riau.


Tidak ada badai di Riau, meskipun perambahan hutan secara liar masih terus terjadi. Petirpun tidak menyambar-nyambar. Namun malam itu, aku menerima telpon dari Jo.

"Kawan, saya berangkat besok pagi, sampai Pekanbaru kira-kira pukul 10," ujarnya dari seberang. “Bisa suruh Wimpy jemput?”

Aku bilang, aku sendiri yang akan menjemputnya. Tetapi dia menolak.

“Masak Komandan yang jemput? Malu saya. Biar Wimpy sajalah.”
“Gak apa-apa kok. Aku sekalian mau ke arah airport,” jawabku
tuntas.


Rabu menjelang subuh itu sama sekali memang tidak ada badai. Apalagi gelegar petir. Namun sebelum jam empat pagi, handphone-ku berdering. Agak menggerutu juga terbangun jam sebegitu. Tapi kulihat nama yang terpampang di layar: Julianto.


“Apa To?” tanyaku.

“Ini Pak Izharry? Saya adik Julianto,” kata suara pria di balik handphone.
“Lho, ada apa? Julianto mana?”
“Julianto meninggal dunia, Pak, tadi sekitar jam tiga.”


Kepalaku berputar, lepas dari leher dan bergelinding ke kasur. Tuhan! Aku tersentak duduk dan berteriak keras, bertanya penyebabnya. Kata adiknya, Julianto hilang dalam tidur. Ketika dibangunkan istri agar bersiap-siap berangkat ke bandara, tubuhnya tak memberi reaksi. Ya Allah, Julianto sudah tiada! Kuatur napasku dan kubangunkan Basrizal, Bos Besar Riau Mandiri Group. Akupun berkemas. Akan kukejar pesawat pagi menuju Jakarta. Bagaimana pun aku harus menyambangi Julianto yang telah merambah perjalanan terakhirnya.


Mendengar kepergian seorang teman pastilah membuat aura keterkejutan kita lepas, dan begitu sulit rasanya memasuki kehampaan yang tiba-tiba. Namun bagaimanapun, kita harus yakin bahwa hal itu benar-benar sudah terjadi. Waktu bergulir, tak ada yang bisa dibatalkan dan diulang kembali. Aku pun tertunduk, airmata merambah di dalam batin. Semalam kami masih memperdebatkan judul, tapi kini pria berusia 40 tahun ini sudah tiada.


Kulempar mata yang berair keluar pesawat, menatap gugusan awan bisu. Aku datang menziarahimu, Jo. Begitu tipis jarak antara hidup dan mati, sementara sentuhan jurnalistikmu masih terasa begitu hangat. Dalam tepekur, aku melenguh. Jo, hari-hari tak akan pernah sama dengan dua pekan yang kita lalui. Selamat jalan, kawan!


(Dimuat dalam versi pendek di Harian Riau Mandiri, Agustus 2004)

Tidak ada komentar: