Selasa, April 22, 2008

Mengikuti Lawatan Presiden RI

Teroris dan Jerebu
di Sela-sela ASEAN & EAS Summit


Izharry Agusjaya Moenzir, Wakil Pemimpin Umum Harian Riau Mandiri & Harian Sijori Mandiri, beberapa waktu lalu diundang untuk mengikuti Kunjungan Kerja Presiden RI pada Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN ke-XI dan Pertemuan Asia Timur di Kuala Lumpur, Malaysia. Dia juga ikut dalam Kunjungan Resmi Presiden RI ke Bangkok, Thailand. Berikut laporan dan kesan lawatannya.

Muhibah itu bermula di Bandara Kemayoran. Minggu 11 Desember 2005 pagi pukul 05:00 WIB saya harus hadir di sana, begitu rujukan Garibaldi Sujatmiko, Kepala Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden ketika briefing di Istana Negara sehari sebelumnya. Subuh masih berkabut, cahaya mentari belum mengusap punggung Jabotabek. Tapi kami sudah siap. Kesibukan bandara yang sepi sudah terlihat sejak dini. Penjagaan keamanan lebih rapi dan Mbak Darmastuti sudah giat menerima dan mengurus kopor-kopor kami. Sebagai Koordinator Wartawan, wanita yang baru tiga bulan memegang jabatan itu di Setpres, cukup dan harus cekatan. Dia tampaknya telah mengerti, bahwa berurusan dengan rombongan wartawan musti lebih sigap, proaktif dan agak cerewet. Dia tentu harus bertekad supaya segala tetek-bengek urusan wartawan tidak mengganggu kelancaran acara Kunjungan Presiden RI ke Malaysia dan Thailand. Maklum, wartawan kan bukan sosok yang mudah diatur-atur.

Perjalanan ini cukup lama untuk seorang presiden. Tujuh hari -dari 11 hingga 17 Desember 2005- meninggalkan tanah air memang dinilai sebagai waktu kunjungan yang panjang. Apalagi untuk negara yang masih menyisakan persoalan-persoalan dalam negeri. Bukankah presiden harus bekerja keras untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa, mulai dari korupsi, harga yang membubung naik, flu burung, kelaparan di Yokuhimo dan segala macam urusan lain? Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu tidak mau dan tidak boleh dicap masyarakat sebagai ‘presiden jalan-jalan’, seperti predikat yang pernah ditempelkan orang kepada salah seorang presiden sebelumnya. Apalagi jika ternyata, tugas yang dihadapi SBY di luar negeri itu bisa membantu Indonesia dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri. Toh, from outside looking in, from abroad managing things.

Teng 06:30 WIB, Boeing 737-400 lepas landas meninggal bumi Indonesia. Tujuan pesawat yang bisa dijuluki Indonesia Airforce One itu, adalah Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Rombongan cukup ramping, hanya sekitar 100 orang. Itupun sudah termasuk team advance dan staf cadangan. Ini sangat berbeda dengan masa lalu, ketika Pak Harto atau Presiden RI lain melawat ke manca negara. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra juga mengakui hal itu di tengah obrolan kami di coffee shop Hotel Nikko, Kuala Lumpur beberapa hari kemudian. Perbedaan lain yang sangat gamblang bagi rombongan wartawan adalah soal biaya. Tidak seperti dulu, kini cuma biaya perjalanan yang ditanggung oleh Rumah Tangga Kepresidenan, sementara akomodasi dan lain-lain dibebankan kepada perusahaan pers masing-masing.

Dan itu bukan biaya rendah. Informasi mengatakan, untuk akomodasi hotel selama enam malam di luar negeri, ke 14 wartawan yang masuk dalam rombongan, masing-masing harus merogoh kocek sekitar 1.500 USD, dengan perincian 250 USD setiap malamnya. That’s a lot of money! Bayangkan, arigene duit sekitar 15.000.000 rupiah bukan kecil, terutama bagi koran-koran daerah yang tidak sekuat koran nasional. Makanya, bagaimanapun lawatan kenegaraan bersama Presiden itu harus sangat dimanfaatkan, dimaksimalkan dan dimaknai, agar jumlah itu tidak terasa berat. Jalan keluar lain adalah room-sharing. Beruntunglah saya, ketika Kurniawan Mohammad, Wartawan/Redaktur Nasional Harian Jawa Pos Surabaya mengajak saya berkolaborasi mengeroyok biaya yang tinggi itu. Rupanya hanya kami berdua yang mewakili media daerah, karena selebihnya adalah wartawan-wartawan dari media besar di Jakarta, seperti TVRI, MetroTV, RCTI, TV7, LKBN Antara, Kompas, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, RRI, Radio Elshinta dan Radio Trijaya. Apalagi instansi yang saya sebut terakhir ini mengutus langsung Tito Sulistyo, Direktur Utama-nya, yang memang sudah dimaklumi berkantung tebal. Tito duduk di kursi D dengan saya yang berada di F deretan tujuh, bersama Mayjen Bambang Sutedjo, Sekretaris Militer Presiden di kursi C, dan Djoko Hardono, Dirjen Protokol & Konsuler Deplu/KPN di A, mengisi empat dari total enam kursi. Persis di belakang saya duduk Andi Malarangeng, Staf Khusus Presiden Bidang Informasi/Juru Bicara, bersanding dengan Dino Patti Djalal, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional/Juru Bicara. Tampaknya, agak terhormat juga positioning itu, mengingat teman-teman wartawan lain berada pada dua barisan belakang, berenam sederetan. Entah mengapa demikian, saya kurang mengerti. Untuk tidak pusing-pusing, saya menanggapnya saja sebagai penghargaan yang diberikan kepada seorang wartawan senior yang sudah 33 tahun menggeluti jurnalistik.

Saya tidak merasa terasing di bangku itu. Sekitar sudah saya kenal baik dan mereka juga telah mengenal saya sejak lama. Andi Malarangeng adalah sobat yang selalu saya hadirkan sebagai narasumber ketika saya masih sebagai Pemimpin Redaksi Radio Trijaya Network. Armaya Tohir, Juru Foto Presiden, yang sejak dulu selalu saya panggil dengan dengan nama kecilnya Beck, adalah kawan lama di istana. Begitu juga Garibaldi. Sementara Yusril adalah teman berdiskusi di sela-sela kopi dan rokok, jauh sebelum dia membentuk Partai Bulan Bintang. Menlu Hassan Wirajuda termasuk menteri yang sering mengundang saya pada breakfast-gathering di Pejambon, dan Kepala BKPM Lutfie sering bertemu di Mercantile Athletic Club. Paling-paling, saya hanya perlu menyodorkan kartu nama kepada beberapa orang saja, termasuk Emirsyah Satar, CEO Garuda Indonesia yang belum lama dilantik. Pendek kata, hanya segelintir saja sosok yang baru saya salam-kenal di dalam perut pesawat itu.

Hal ini membuat saya merasa luwes dan tenteram. Luwes karena komunikasi bisa langsung cair, dan tenteram karena saya yakin 90 persen, bahwa pesawat ini akan selamat sampai di tujuan. Biasanya, semakin sering naik pesawat, ditambah dengan peningkatan usia dan kekhawatiran akan gangguan teror, saya selalu terpikir mengenai keselamatan terbang. Tapi kali ini saya tenteram, yakin pesawat ini sudah teramat sangat disterilkan pihak pengamanan dari ulah-ulah teroris. Turbulence juga tidak masuk dalam ­ fear-factor, karena saya tahu persis, jadwal keberangkatan pesawat GA-01 ini bisa saja disesuaikan jika ada gangguan cuaca.

Maka sayapun merasa lapang. Begitu juga ketika mendarat di KLIA dan bergegas ke Hotel Shangri-La dengan iringan voorrijders untuk menghadiri Third Asean Business and Investment Forum. Di sana, Kepala Negara menyampaikan keynote speech bertajuk “Moving ASEAN Forward: Sustaining the Momentum”. Ratusan tamu sudah menunggu presentasi itu, dan belasan orang bertanya kepada Presiden. Di tengah acara yang ketat itu, saya memperhatikan penerimaan khalayak terhadap Indonesia-ku, sekaligus menyimak presiden-ku saat menyampaikan pidato tertulis dalam bahasa Inggeris. Kewibawaan SBY terkesan tinggi dan kharismanya membuat ruang meeting menjadi penuh pukau. Terutama ketika Beliau menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan audience. Terus terang saya agak kaget melihat kefasihannya. Saya, yang selama ini jarang melihatnya berkomunikasi dalam bahasa Inggeris, diam-diam dirayapi rasa bangga melihat komunikasi internasional yang lancar itu. ‘Now you’ve seen my President, don’t you?” canda hati saya.

Kuala Lumpur adalah ibukota yang tak beda dengan Jakarta. Kota yang sudah saya kenal sejak 1971. Setiap Hari Kemerdekaan Malaysia 31 Agustus, saya selalu mencoba menyempat diri ke sana, karena di hari itu seakan-akan seluruh tanah jiran itu sedang merayakan ulang tahun saya yang jatuh pada tanggal yang sama. Dan dua tahun lalu, saya juga diajak Bachrul Hakim, Senior Vice President / Direktur Komersial Garuda Indonesia ke sini. Saat itu, Garuda menandatangi perjanjian kerjasama dengan Malaysia Airlines dan kami menginap di Hotel Nikko, yang cuma berjarak 15 menit jalan kaki dari Menara Kembar Petronas. Bersama rombongan SBY kali ini, kami juga menginap di Nikko, membuat saya tidak asing dengan liku-liku arsitekturnya. Saya hapal ruang demi ruang dan bahkan saya masih melihat petugas concierge yang sama, bertubuh bulat, jenaka dan suka menyapa warga Indonesia dengan logat Betawi.

Tapi siang ini saya belum bisa menikmati kamar Nikko yang selesa, karena dari Shangri-La, rombongan langsung menuju Kuala Lumpur Convention Center (KLCC). Di sana, Presiden disambut dengan senyum lebar Pak Lah, sebutan akrab Yang Amat Berhormat (YAB) Dato’ Seri Abdullah Ahmad Badawi, Perdana Menteri ke-5, yang juga merangkap Menteri Keselamatan Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Malaysia.

Pertemuan tete-a-tete antara mereka berlangsung hingga pukul 16:40 (M’sia), yang kemudian dilanjutkan dengan First Indonesia-Malaysia-Thailand - Growth Triangle (IMT-GT) Summit. Saya agak heran juga melihat ada kata First di topik itu, karena setahu saya, IMT-GT sudah lebih 10 tahun digalang bersama. Tapi no problemo, saya lebih melihat itu sebagai kesepakatan dan semangat baru dari tiga negara, karena pastilah banyak issue-issue baru yang perlu dijembatani dan ditanggulangi. Kehadiran para Gubernur dari daerah di Indonesia yang berbatasan langsung dengan kedua negara itu juga menunjukkan bahwa Pertemuan Puncak itu ingin mencapai kesepakatan nyata antar negara, tidak sekedar wacana semata. Ketua Komisi DPR-RI juga menuturkan tentang kemajuan yang dicapai. Kepada kerumunan wartawan dalam dan luar negeri, Theo Sambuaga menuturkan segala hal, mulai dari masalah perdagangan, keamanan dan lingkungan menjadi topik-topik yang dibahas. Ini hal yang menarik buat media Malaysia. Mereka bertanya soal jerebu, asap dari kebakaran hutan di Indonesia yang mengganggu mereka. Mereka juga mau tahu soal Noor Dien M. Top. Sama dengan keingintahuan Sofyan, supir Malaysia yang membawa rombongan kami pulang ke hotel. Saya menjawab sekenanya: “Makanya jangan kirim lagi teroris ke Indonesia.” Ternyata dia lebih lihai menjawab. “Bukannye kite ekspor Pak, tapi Indonesia minte, kite cume impor saje. Ye tak?”

Saya terbahak atas candanya. Paling tidak dengan tertawa, rasa letih saya hilang. Everybody seems to be OK. Lawatan RI-1 ini memang ditujukan untuk membuahkan tindak nyata yang secara langsung bisa diaplikasikan. Karena itulah SBY memerintahkan agar segala instansi resmi terkait dari Indonesia hadir di K.L. untuk urun rembuk. Keikutsertaan Ketua Umum Kadin M.S. Hidayat secara jelas memberi gambaran kemutlakan itu.

Tapi hari pertama belum usai. Malam itu juga, SBY dengan rombongan terbatas menghadiri Informal Working Dinner dengan Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN di Hotel Mandarin. Tidak semua wartawan boleh ikut, kecuali RRI, LKBN Antara, TVRI dan media televisi lainnya. Wartawan media cetak dan siar-swasta yang tidak ikut menggunakan waktu untuk menulis dan melaporkan kegiatan hari pertama. Redaksi di koran masing-masing sudah menunggu. Lewat pukul 23:00 (M’sia) saya ngobrol panjang dengan Yusril di coffee-shop. Sengaja saya tulis namanya di sini, karena pertemuan kami lebih bernuansa human-relation. Mengenakan kemeja jeans, dia tidak tampak sebagai Mensesneg, sehingga ketika akan kembali ke kamar, petugas hotel melarangnya memasuki lift khusus berkarpet merah. Saya terpaksa menerangkan bahwa Beliau itu adalah Secretary of State, namun Yusril langsung selonong masuk ke lift umum bersama dengan tetamu lain.

No problemo. Everybody is OK. Walaupun saya masih tertanya-tanya dalam hati dan belum sempat meraba, mengapa kawan saya ini sering bermasam bibir. Besok, saya akan coba tanya hal itu kepadanya. Mudah-mudahan dia juga OK.
(bersambung)

Tidak ada komentar: