Kamis, April 03, 2008

Cuai

To lose one parent, may be regarded as a misfortune; to lose both looks like carelessness. - Oscar Wilde

Ketika ada nyawa yang tercerabut dari raga, berbagai-bagai perasaan berkecamuk di dada. Kita yang menyaksikan merasa tidak berdaya. Akhirnya kita pulangkan segalanya kepada Yang Di Atas sana. Manusia yang lemah dan pasrah menyerahkan urusan-urusan yang berada di luar jangkauan kepada Sang Pencipta.

Sebuah idiom lama berkata begini: Tuhan, anugerahkanlah kepadaku kekuatan untuk mengubah hal-hal yang bisa kuubah, kedamaian untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah, dan kebijaksanaan untuk memahami segalanya.

Maka ketika banyak nyawa yang meninggalkan jasadnya, kita pun –terpaksa- nrimo dan -mencoba- bijak. Toh tidak ada yang bisa mengubahnya. Ribuan jiwa melayang tatkala tsunami menerjang, dan kita cuma menggenggam hati yang pilu. Dan berdoa. Kematian di belahan dunia lain akhirnya jadi tontonan belaka, seperti layaknya film laga di layar kaca. Dan kita berdoa. Ketika pesawat Mandala gagal take-off dan terjerembab jatuh di Padang Bulan, Medan, kita terkejut sebentar, dan berdoa. Sudah itu datar, saling bertukar cerita.

Sedemikian pekatkah indra kita, sehingga bulu-bulu remang tak lagi bergetar ketika ada nyawa yang melayang di antara fananya hidup ini? Tidak adakah sesuatu yang bisa kita lakukan agar hal itu tak lagi terjadi? Ah, biarlah semua itu menjadi urusan Tuhan. Atau menjadi persoalan orang-orang besar, para pengambil keputusan. Begitu kata hati kita yang selalu berangkat dari rasa menyadari, bahwa kita yang awam ini memang tak punya daya.

Sesuai proximity, kecelakaan pesawat Mandala di Medan adalah yang peristiwa nahas yang terdekat dengan kita. Secara jarak dan secara waktu. Kita belum lupa. Namun dalam mendeteksi bandara udara Polonia Medan, kita seharusnya menyadari bahwa kecelakaan dengan corak yang sama sudah berulang kali terjadi di Sumatera Utara. Delapan tahun lalu, lebih dari 200 jiwa melayang ketika pesawat Garuda yang hendak landing menabrak gunung. Sebelum itu masih ada juga pesawat lain yang nyungsep di pemukiman penduduk. Pekuburan dan monumennya masih tegak berdiri di pinggir jalan di sisi Polonia.

Kita lupa, bandara Polonia pernah menyandang sebutan Black Star. Peringkat yang berbahaya bagi penerbangan. Lokasinya yang berada di tengah kawasan pemukiman membuat Polonia dinilai punya risiko tinggi. Sehingga Istana Plaza, bangunan bertingkat empat yang baru selesai dibangun, harus rela dipangkas menjadi dua tingkat, karena berada di jalur penerbangan. Dan rancangan lapangan terbang baru pun disusun, mengambil tempat di Kuala Namu, Deli Serdang. Sesuai standar penerbangan dan keselamatan, bandar udara sebaiknya memang berlokasi dekat garis pantai, dan Kuala Namu sesuai dengan kriteria itu.

Namun semua itu cuma di atas kertas. Rancangan bandara yang dirintis sejak masa administrasi Gubernur Raja Inal Siregar dan berlanjut pada masa administrasi Gubernur Tengku Rizal Nurdin, tak pernah wujud. Tragisnya, kedua gubernur itu kemudian jadi korban kecelakaan pesawat yang lepas landas dari Polonia. Seandainya Mandala itu take-off dari Kuala Namu, apakah tetap akan jatuh terbakar?

Pertanyaan ini memang spekulatif. Rasanya tak perlu dilontarkan, karena kelaikan terbang pesawat juga harus diselidiki. Banyak faktor yang mengancam keselamatan terbang. Maka berandai-andai bisa menyesatkan. Kuala Namu juga belum ada. Namun Medan boleh cemburu terhadap Padang yang tanpa gembar-gembor sudah punya bandara baru. Medan terus saja berkutat di meja perundingan, mulai dari pembebasan lahan hingga pengadaan dana. Masih mencari investor, kata teman saya di DPRD Sumut.

Alangkah cuainya kita. Careless dan layas. Sikap ini akhirnya bisa menjadi sifat. Kita sering menyepelekan hal-hal penting, menggantinya dengan pernik-pernik asesoris. Kita berpupur, namun lupa mengisi nurani. Kita berbenah, tapi tidak tuntas. Banyak hal yang -sengaja- kita biarkan menggambang. Kita ibarat sedang menunggu petaka sembari bercakap-cakap, tidak berbuat apa-apa selain berdoa.

Multatuli pernah bertanya, apakah yang sebaiknya dilakukan seorang ibu ketika bersama anak kecilnya berada di puncak menara? Memegang tangan anaknya kuat-kuat, atau berdoa memohon anaknya tidak jatuh? Silahkan jawab, tapi saya ingatkan sebuah idiom lama: Careless talk costs lives.

(Dimuat di Majalah B-Watch No. 3, Edisi Oktober 2005)

2 komentar:

mia mengatakan...

apakah cerita ini hilang? koq menggantung ditengah jalan. mas Kawan yang hobi teriak2 itu emang bikin kenangan sendiri buat aku. diakhir pertemuan aku dan dia, janji es krim baskin and robbins nya belum terselesaikan, tapi aku anggap lunas setelah kabar kepergiannya. kalau jejaknya dia dari bisnis indonesia ke harian merdeka, maka aku dan dua temen lainnya dari harian merdeka ke bisnis indonesia

SudutBidik mengatakan...

Aku juga heran, waktu kubuka di laptop, memang terpotong banyak. Jadi artikel Cuai & artikel Dua Pekan Bersama Joe berdempetan, menutup puluhan artikel lain.
Tapi, ketika kubuka pake PC di rumah, problem itu hilang. Dengan kata lain, tidak ada artikel yg terpotong, semua lengkap.
I'm working on it. Anyone can help me to solve this problem?