Rabu, April 23, 2008

Desperate Households

"My country, right or wrong" is a thing that no patriot would think of saying,
except in a desperate case.
It is like saying "My mother, drunk or sober."
- G. K. Chesterton (1874 - 1936)

Kita memang tidak tinggal di Wisteria Lane. Karena itu, hidup kita tidak seputus-asa mereka, Bree, Susan, Gabrielle dan Lynette. Dan tidak perlu bunuh diri seperti Mary Alice. Namun kita juga tidak seberuntung mereka, yang meski diberi predikat Desperate Housewives, tetap saja tidak pernah khawatir akan pengadaan hidangan di meja makan.

Kita akan termangu seusai memelototi foto seorang ibu tua duduk menunggu jerangan di belakang rumah gedeknya. Api mengepul dari pembakaran kayu. Tidak Elpiji, tidak minyak tanah yang memasakkan makanan di panci usang. Bahan bakar itu bukan alatnya, meski satu kali tatkala bulan purnama, pernah terbersit keinginan untuk memiliki kompor minyak Butterfly, atau bahkan kompor gas Rinnai.

Tapi dia buru-buru menepisnya. Merasa bersalah. Mungkin marah, dan menyesal punya pikiran seperti itu. Ada juga rasa dosa karena sudah melanggar janji agar tidak bermimpi tentang modern conveniences, hal-hal yang bisa membuat hidup lebih mudah. Karena di hari-hari ini, semua itu bagai arok di buruang tabang tinggi, punai di tangan dilapehkan. Apalagi setelah suaminya yang kuli bangunan meninggal. Punya punai di tangan saja sudah susah, kenapa musti berharap lain?


Perempuan berusia 70 tahun ini selalu duduk dengan kedua tangan tengadah. Mula-mula hal itu dilakukan dengan sengaja, karena dia ingin menerima sesuatu pemberian, dari manusia, dari pemerintah atau dari Tuhan. Seperak dua perak akan sangat berguna untuk menyambung hidup, dalam arti yang harfiah. Namun entah mengapa, bertahun-tahun ini, kedua telapak itu refleks menengadah, selalu terlentang menghadap langit.

Toh pemberian tak kunjung datang. Bahkan Subsidi Langsung Tunai (SLT) pun tak jatuh menimpa garis telapaknya. Petugas dari Badan Pusat Statistik (BPS) selonong saja tanpa alasan. Mungkin garis tangan yang salah, tidak ada guratan di bukit keberuntungan. Atau karena postur tubuh gemuk, BPS melihatnya sebagai orang cukup makan. Bisa jadi juga, karena dia lupa tempat menyimpan KTP. Tapi apakah jika tanpa KTP, otomatis dirinya bukan lagi penduduk Indonesia, dan hilang hak sebagai warga negara? Di sela-sela minimnya pendidikan, dia tahu, KTP cuma soal administrasi. Keindonesiaannya tidak menjadi sahih hanya lantaran KTP. Rambut, daging dan seluruh indranya yakin bahwa dia pemilik tanah ini. Dia tidak perlu cerita tentang nenek moyangnya yang sudah ada di Jawa 1.8 juta tahun, hanya untuk diakui sebagai anak bangsa. Dia tidak perlu hapal Pancasila dan lagu Indonesia Raya untuk menjadi Indonesia. Umur sudah tua, masalah hidup sangat berat, dan hari-hari dipaksa sibuk dengan urusan perut.

Besar kemungkinan, satu-satu kesalahan adalah karena dia cuma perempuan miskin dengan tangan tengadah. Tinggal di bantaran Kali Caringin dan bukan di Wisteria Lane. Sehingga petugas BPS yang khawatir mengotori ujung pantalon tidak menghampirinya. Kesalahan bukan pada bunda yang mengandungnya, tetapi kepada garis tangan. Dia tahu, sudah ada presiden baru pilihan rakyat yang akan memberi perbaikan terhadap hidupnya. Lihatlah wajah diam dan tulus Pak SBY itu, sukar dipercaya dari wajah itu keluar keputusan yang menyengsarakan.

Karena itu tetaplah tabah. Bertahan. Dia tidak ngerti hitung-hitungan Pak Ical, tapi menerima dengan rela. Cuma ketika harga minyak tanah dan kebutuhan lain meroket tinggi, dan dia tak mampu beli lagi, kerelaannya terusik, berubah menjadi keterpaksaan. Hatinya menggerutu, tapi itupun cuma sebentar. Sebagai warga negara yang baik, dia harus selalu ikut. Cuma, dia merasa ada sesuatu yang menggelitik hati, dan nyaris tersenyum. Kok sekarang banyak orang berusaha mendapatkan predikat ‘miskin’, sama dengan ketika banyak orang berusaha mendapatkan predikat sarjana dengan ijazah dan perguruan palsu, ya?

“Pokoknya sekarang mah berat. Perang aja sekalian..,” seseorang berkata. Begitulah kalau perut tidak terisi, otak tidak bisa mikir dan perangai jadi mokal. Sang ibu tua tidak serta merta setuju, karena dia pernah merasakan perang ketika banyak orang-orang mati dengan luka berdarah. Di masa kini, kalaupun banyak orang-orang akan mati, selain bukan karena teroris, pastilah mati tanpa berdarah karena sakit atau perut kosong. Sangat beda kan? Dia juga ingat tahun-tahun sekitar awal 60-an, tatkala harus ikut antri untuk memperoleh beras catu, gula catu, sabun cuci catu dan keperluan rumah tangga catu lainnya. Toh semua kerabat masih bisa bernapas dan sehat-sehat saja. Di saat-saat krisis ekonomi beberapa tahun silam pun, dia juga masih bertahan. Demonstran datang dan pergi, presiden gonta-ganti, toh segenap handai tolan hidup. Memang di sinilah hebatnya penduduk negeri ini. Di goyang gempa, dilanda tsunami, diharubiru, dicekoki harga selangit -namakan apa saja- eh, tetap bisa bertahan. Hidup, lagi!

Mudah-mudahan cuma sedikit orang yang tidak menyadari bahwa hidup tidak hanya untuk kita di hari ini saja. Masih ada hidup orang lain, anak dan cucu kita, yang berhak menikmati Indonesia. Kita perlu pikirkan keluarga-keluarga yang ini hari terpaksa mengirit keras dengan mengurangi jatah gizi dan susu bagi anak-anaknya. Semua membubung, dengan atau tanpa subsidi 100 ribu rupiah sebulan, daya beli masyarakat sebenarnya sudah merosot jauh. Pikir sajalah, seratus ribu sebulan, bisa dibeliin apa seh?

Ini ancaman besar bagi masa depan bangsa. Menurut data, jumlah balita kurang gizi mencapai 23 juta jiwa. Jika tidak dicermati dan disikapi dari sekarang, menurut Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI, maka akan tercipta Generasi Otak Kosong. Penyikapan melalui SLT memang salah satu jalan keluar. Tapi yang gampang, bukan yang baik. Hendaknya hanya menjadi program darurat dalam tiga bulan. “Ini SLT harus sementara dan hanya sarana kedaruratan. Sesudah itu harus diselesaikan melalui penciptaan lapangan kerja. Orang miskin akan tetap miskin meski diberi baju baru dan jam tangan baru. Orang miskin akan lepas dari kemiskinan kalau diberi pekerjaan. Diberi kesempatan menyalurkan kemampuan produktif yang ada pada dirinya di dalam proses produksi,” kata Ekonom Sri Edi Swasono.

Saya jadi teringat ucapan Chesterton yang lain. Penulis dan penyair heretik Inggeris ini bilang: “Charity is the power of defending that which we know to be indefensible. Hope is the power of being cheerful in circumstances which we know to be desperate” Kita tidak pernah punya cita-cita untuk jadi orang miskin. Tak ada yang kepingin jadi duafa. Dulu, tidak ada ayah bunda yang berdoa agar anaknya suatu saat kelak akan memperoleh SLT. Terus menerus menengadah tangan dan meletakkan di posisi bawah, sangatlah tidak terpuji. Orang-orang akan menjauh. Di luar negeri, banyak orang malu mengaku dari Indonesia, negeri yang banyak berhutang. Harusnya tangan kita bisa memberi. Atau paling tidak mengacung-acung seperti Presiden saat sedang beramanat. Body languange sangat diperlukan, wajah sumringah tanpa kerut dibutuhkan, senyum perlu dilebarkan, agar masyarakat merasa bahwa kenaikan BBM ini adalah persoalan anteng. Agak beda dengan dulu, Andi Malarangeng sekarang paling piawai dalam soal begini, selalu berusaha melihat dari sudut cerah,
positive thinking even in negative situation.

Hoi tunggu, entah kenapa, secara tidak sengaja di telinga saya tiba-tiba mengalun suara Barbra Streisand, ....where are the clowns, they ought to be clown, quick send in the clowns...., sementara di mata saya terpampang bulir air yang merayap di pipi Charlie Chaplin saat di belakang panggung. Seorang penghibur sebenarnya tetap punya tangis bagi diri sendiri, meski harus senantiasa tersenyum lebar di depan publik.

Tampaknya kita harus bertepuk tangan untuk diri kita masing-masing. Itu salah satu cara untuk menjadi optimis. Atau nonton komedi slapstick di TPI. Memaksa diri tertawa atas lawakan yang tidak lucu. Perut memilin? Senyum sajalah, perut lapar bisa hilang dengan ngobrol dan tidur. Yakinlah dunia akan ikut senyum juga. Aksi demonstrasi pun punya senyum di sela-selanya. The mass of men lead lives of quiet desperation, ucap Henry David Thoreau. Dengan senyum ketenangan kita bisa menjadi orang yang paling mengerti akan berbagai kebijakan. Lagipula kita khawatir juga, seandainya ketidakakuran diartikan sebagai sikap yang tidak mau mengerti dan tidak cinta kepada negeri ini. Pemuka-pemuka bangsa yang berlagak bijaksana bilang, kita harus mencintai Indonesia, dalam keadaan makmur dan dalam keadaan terpuruk. Padahal kita tahu, kalimat itu hanya diucapkan terpaksa, ketika berada dalam keadaan putus-asa.

Ini pahit! Ini pilihan pahit! Tapi harus ditelan. Apa boleh buat. Kita memang tidak tinggal di Wisteria Lane, tapi tinggal di pelosok-pelosok Indonesia dan hidup berhimpit-himpit di tempat yang pantas diberi nama Hysteria Lane. Kita mungkin manusia-manusia histeris yang rindu berkata-kata tapi tak punya suara, ingin berteriak tapi tak punya tenaga. Kitalah Desperate Household, yang kini semata mencoba bertahan hidup -dalam arti harfiah- dengan setiap hari berusaha menghidangkan nasi dan lauk pauk di meja makan, untuk keluarga bersahur, berbuka puasa dan nanti, untuk menjamu handai tolan di hari raya Ied yang fitri.

The years of living dangerously. Di manakah Tuhan hari-hari ini?

(dimuat di majalah B-Watch edisi 04, 2006)

Tidak ada komentar: