Kamis, April 03, 2008

Ramah Tamah, Remeh Temeh

For a successful technology, reality must take precedence over public relations.

- Richard Phillips Feynman


Eddie Widiono dan jajarannya kebakaran janggut. Maka tidak cuma segayung air, namun berbranwir akua diboyong kemana-mana dan buru-buru diguyur ke kobaran api. Pembagian jasa produksi bagi Direksi, Komisaris dan Sekretaris Komisaris serta bonus bagi pegawai diributkan orang. PLN gundah meski kocek menggembung. Abis siapa suruh, masih rugi, kok bagi-bagi bonus?


Pertanyaan ini sebenarnya lumrah seperti embun pagi, sejuk dan tak perlu disengiti. Tapi, bad news travel fast, jurusannya meleak kemana-mana seperti bola liar di meja nine-ball. Akibatnya Eddie kelabakan. Pada wawancara yang disuguhkan di layar SCTV, wajah letihnya jauh dari kesegaran, berdialog tegang tanpa senyum.


Saya pegang kedua pundaknya saat bertemu di pelantikan Kepala LKBN Antara.


Boss, kok Anda jadi tegang begitu sih?” tanya saya.


Ahmad Fuad Afdhal yang ada di samping kami juga merasa hal itu. Sebagai pakar Public Relations yang tangguh, AFA pasti ngerti jurus-jurus bagaimana yang seharusnya dipergunakan PLN.


Dan Eddie menjawab lirih: “Gimana ya pak, saya kejebak. Itu di luar agenda.”


So what, gitu loh! Eddie ini kan manusia biasa, sama seperti kita juga. Ada daging, tulang dan darah. Kalau hari-hari ini dia mulai repot dengan Kejagung dan menerima ancaman tikaman dari segala penjuru, sehebat-hebatnya, pastilah akan berpengaruh pada kiprahnya selaku orang nomor satu di Perusahaan Listrik Negara (Persero) itu. Belum lagi jika Pemerintah menilai Eddie tidak perform, alamat dia bisa dicopot. Dan nuansa itu bukan tidak ada, malah semakin hari semakin kencang. Bahkan tiga nama calon pengganti sudah mulai berembus-embus pula masuk ke liang telinga banyak orang.


Selesai? Belum Bos! Masalah tantiem masih meruyak, pukulan lain menghantamnya. Kali ini tentang CIS-RISI, akronim Customer Information System - Rencana Induk Sistem Informasi, yang bertujuan mempermudah sistem informasi pelanggan dan sistem informasi keuangan pelanggan di daerah Jakarta dan Tangerang. Singkatnya: bayar listrik pakai ATM. Ringkas, hemat dan ampuh menekan kebocoran. Sistem yang bagus itu dalam Tempo Investigasi “Anggaran Kembung PLN Jakarta” edisi 25-31 Juli 2005 dipampangkan dengan dua kejanggalan, yaitu kelemahan prosedur dan menimbulkan kerugian negara.


Maka seperti fire-fighter yang tangkas, PLN langsung membasahi Tempo edisi pekan berikutnya dengan inforial yang memuji-muji sistem yang memang hebat itu. Tapi kemana pergi dua kejanggalan yang sebelumnya membuat kuduk risih bergidik?


Oleh karena itu, selain untuk mengemban visi agar “diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, unggul dan terpercaya dengan bertumpu pada potensi insani”, PLN kini berfungsi sebagai pasukan pemadam kebakaran yang jempolan.


Di lantai sembilan ruang kantornya, bos-bos PLN ini sering sampai larut untuk mewujudkan visi, dan agenda baru: menangkis berita miring dengan cara pemadaman api. Tapi toh harus sempat juga menyusul terbang ke Jepang dan Cina ketika Presiden RI melawat ke dua negara itu. Mungkin itu upaya untuk memperoleh fire extinguishers juga. Maklumlah, di acara itu banyak petinggi yang ikut, mulai dari Sekretaris Kabinet hingga Meneg BUMN, yang bisa membalikkan telapak tangan kapan saja untuk mengubah peta kepemimpinan di PLN.


Jadi Direksi, ya enaklah. Tapi juga tidak enak. Kalau angin sepoi, maka lancang kuning melancar tenang. Jika topan bergemuruh, air laut naik melontar-lontar tubuh. Tapi Pak Dirut bukan sosok yang gampang menyerah. Jajarannya juga tangguh, meski tidak sesiapapun yang mafhum isi hati orang. Seperti di mana saja, di PLN pastilah ada juga yang punya dua peran, sebagai jajaran Dirut yang loyal, atau jajaran PLN yang tidak mendukung. Dan perlu diyakini hal ini, terutama sebelum memutuskan kebijakan yang dipertimbangkan bersama, namun konsekuensinya memberat pundak sendiri.


Ketangguhan PLN ini juga mencorong dalam ‘Dialog Hemat Energi dan Kebijakan Pelistrikan Nasional’ di Hotel Sahid Jaya awal Agustus lalu dengan PWI sebagai tuan rumah. Dengan tangkas jajaran Direksi PLN menjelaskan seluruh pernik-pernik usahanya, hapal luar kepala, menjawab semua pertanyaan dengan lancar, hampir tanpa koma dan titik. Tapi ada juga celotehan melongo bercuriga, karena acara itu dilakukan pada saat cerita tak sedap sedang merebak. Pemadaman api lagi?


Sesungguhnya, komunikasi yang baik akan tercipta bila antara pembicara dan pendengar berada dalam gelombang yang sama dengan kesinambungan yang tertata rapi. Sharing. Mengingat yang berhubungan dengan PLN ini adalah pelanggan yang 33 juta rakyat Indonesia, maka stakeholders-nya sangat luas dan beragam. Mampukah dalam satu-dua kali memadamkan api, PLN bisa menenangkan masyarakat pelanggan?


Kita kok kurang yakin. Menjadi pemadam kebakaran di sana-sini bukanlah tugas utama direksi PLN, karena banyak orang di kantor itu yang difungsikan untuk membantu image PLN. Salah satunya ialah Waluyo Nugroho Harjowinoto yang mengkomandani Tim Citra, tim yang dibentuk untuk membangun citra, dengan tugas semacam pemberi masukan kepada Direksi mengenai arah, gejolak, langkah komunikasi dengan media.


Perlu juga dilihat, selama ini PLN mematok empat misi. Yang pertama saja sulit diaplikasikan, yaitu menjalan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait, berorientasi pada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan dan pemegang saham. Ini saja sudah repot, karena lihatlah siapa saja yang ada di barisan stakeholders itu. Stakeholders internal, terdiri dari pemegang saham, manajemen & top executives, karyawan, keluarga karyawan, sementara Stakeholders external adalah konsumen, penyalur, pemasok, bank, pemerintah, pesaing, komunitas, dan pers.


Repot. Apalagi jika ternyata ada nuansa escalation commitment di sana, yaitu kesalahan yang dibuat secara berkesinambungan oleh para pengambil kebijakan karena terlalu berpegang teguh pada rasa percaya diri. Ini sangat mungkin hadir di PLN. Penyangkalan atas informasi negatif atas salah keputusan, yang timbul sebagai akibat salah mengartikan sinyal dari luar, atau karena lingkungan dalam yang tidak berani atau sengaja membeberkan hal negatif.


Berkomunikasi kepada stakeholders sebaiknya tidak dilakukan dengan cara-cara itu. Rasanya kok tidak bersentuhan dengan butir nilai-nilai perusahaan yang disusun PLN, mulai dari kepekaan terhadap kebutuhan pelanggan, penghargaan kepada harkat dan martabat manusia, integritas, kualitas produk, peluang untuk maju, inovatif, mengutamakan kepentingan perusahaan dan berorientasi pada upaya meningkatkan nilai investasi pemegang saham.


Bukankah sebaiknya jajaran juga melakukan bounded rationality, berpikir dan berbicara tentang fitrah manusia yang memiliki keterbatasan manusiawi? Karena betapapun hebatnya para pengambil keputusan, selalu ada peluang untuk melakukan kesalahan. Jadi lumrah saja, seperti embun pagi, sejuk dan tak perlu disengiti. Toh orang tau, kesalahan itu sering terjadi karena tekanan waktu, kompleksitas masalah dan kemiskinan informasi.


Maka sebaiknya PLN tidak menjadi fire-fighter. Daripada memadamkan api yang berkobar, lebih baik mencoba menjaga suasana agar api tak menyala. Komunikasi yang ramah dengan stakeholders adalah keniscayaan, tapi jangan sampai keramahtamahan itu berubah menjadi keremehtemehan. Artinya, kalau ada yang ribut-ribut, mari kita duduk makan bicara di hotel mewah. Kalau ada media yang ribut, berikan iklan atau PSA, pasti beres.


Model yang begini ini remeh temeh. Alias menggampangkan!


(Dimuat di Majalah B-Watch No. 2, edisi September 2005)

Tidak ada komentar: