Kamis, Juli 31, 2008

Blowing Bubbles


C,

Kita lekatkan kedua pipi di ambang pintu kolam renang. Malam yang gempita. Musik mengisi lorong telinga, balon-balon mengambang di permukaan air. Langit Nanggroe Darusalam memayungi pesta ulang tahunmu.


Sudah lama kita tidak bersua. Bertahun bilangannya. Cinta yang nyaris terguling dari tubir jurang seakan ingin kita selamatkan kembali, seiring dengan kedatanganku ke kota domisilimu. 13 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menjaga silaturahmi ini. Jarak antara Bogor dan Banda Aceh membuat aku sempat merenung, apakah SMS kita selama itu cuma basa-basi untuk saling jaga perasaan?


Tidakkah cinta itu sebenarnya sudah pudar, C?


Aku belum sempat menjawab pertanyaanku sendiri. Suasana jumpa itu masih mengejutkan. Karena itulah aku cuma duduk melihat tingkahmu yang leluasa. Sebagai Vice President di hotel bintang tiga ini, kau mewarnai staf dan karyawanmu. Mereka menunduk-nunduk di depanmu. Terserah, palsu atau tulus.

Seperti aku. Seperti kau juga.


Itulah sebab yang membuat aku kemudian, di sela-sela makan siang, mengajak kau berjujur hati dan memaklumi. Bahwa sebenarnya sudah tidak ada lagi cinta di batang hati kita. Waktu yang terentang panjang tidak hanya telah membawa aku jauh dalam jarak, tetapi juga dalam rasa. Pengaruhmu terhadapku sudah sangat menurun dan nyaris cuma bagai bintik-bintik air di kaca mobilku. Sebentar saja, dengan deru angin dan sengatan mentari Jakarta, tak akan ada bekasnya lagi. Sekali-sekala, sosokmu memang hadir di ruang mimpiku,

tetapi begitu juga sosok R dan H. Siapapun bisa masuk ke sana, bahkan sosok Pak Zaini, supirku selama di sini atau Ibu Tua Nong, penjual bolu di Pasar Masjid itu.


Jadi, ketika having lunch together di balik partisi coffee-shop ini, aku kira itu cuma kesantunan saja. Kita yang dimekarkan oleh roman dan gejolak berahi di 1995, sudah tak lagi bisa merengkuh ulang. Kau memang masih cantik di usia ke 38, tapi itu tak membuatku kalangkabut. You are there, I am here....... Sesekali jemari kita bersentuhan, tetapi mengelak untuk berpaut. Kita saling pandang, namun sorotnya tak lagi saling pilin-memilin. Obrolan pun meloncat-loncat tanpa pendalaman, dan tuturan pengalaman terkesan cuma menonjolkan keberhasilan dan kehebatan.


Aku kurang suka C, jenis bicara seperti ini.


Akhirnya aku harus akui, berdua denganmu bukan segalanya. Percintaan kita adalah sesuatu yang purba, cerita masa lalu yang tak berbentuk. Kita cuma berjalan sejauh paket acara televisi. Aku produsernya, kau presenter-ku dalam 12 episode yang gamang. Dan tak ada yang perlu diistimewakan. Jikapun kemudian kita masih bertelepon-teleponan, nuansanya cuma sebatas menjaga perasaan. Jikapun bisa dibilang istimewa, itu karena kita terus berhubungan kata. Peluk dan kecup yang terjadi dan rintihan desahmu di temaram sore

dan malam yang marah adalah kelumrahan,

blowing bubbles that never reach the sky.


Aku ingin berberes di atas setarik garis, tidak ingin ada emosi lain berkecambah. Saat ketika rasa dipecundangi mencoba merebut pikiran. Seakan-akan ketidakcocokan jadwal harus diselesaikan dengan rasa kesal. Sebab buat apa, dan siapakah kita sebenarnya?

Maka kaupun bisa keliru, menilai cintaku yang kau kira dapat bertahan selamanya.

Karena akhirnya aku tahu, yang hilang dari diriku adalah gelora.


C, getar itu rupanya sudah pergi!


I'd rather hurt you honestly than mislead you with a lie.
Cause who am I to judge you in what you say or do?
I'm only just beginning to see the real you.


Buku akan kututup dan akupun terbang, menuju rumah.

Aku harus pulang...................,

Selamat tinggal, C.


Grand Nanggroe Hotel, Banda Aceh, 27 – 31 Juli 2008

Tidak ada komentar: