Senin, Juli 07, 2008

Titik Gelegak

An angry man is always a stupid man.

- Chinua Achebe (1930 - )

Kami berserobok di jalan bercabang. Masing-masing mencoba merebut jalan tunggal. Mobil Kijang itu merasa dirinya benar. Sementara saya merasa lebih berhak masuk duluan. Dia membunyikan klakson. Saya balas langsung dengan klakson yang lebih panjang. Dia pun menyumpah: “Monyet!” Saya membalas lantang: “Anjing!” Saya mengacungkan kepalan, dia menunjukkan tinju. Kami saling memaki dengan kata-kata kasar.


Sesaat kemudian, moment keras itu berlalu. Anger is a momentary madness, kata Horace, sang penyair Roma. Saya melaju kencang di tol, dia meluncur maju di jalur lambat. Selesai? Ternyata tidak. Malam di jalan panjang menuju pulang, saya merasa tidak lagi memiliki kesentosaan. Rasa kesal membalut hati. Musik yang dikumandangkan loudspeakers sudah tak enak didengar. Pikiran terganggu. Kemurkaan yang tadi membersit, meskipun hanya dalam bilangan detik, telah membuat diri saya jadi tidak bahagia.


Tapi bukankah saya pantas marah? Saya marah kepada ketidakberesan, terhadap kecentangperenangan, kepada orang-orang yang selalu merasa dirinya benar, ingin memang sendiri, tidak mau mengalah dan menyangkal kebenaran orang lain. Saya marah kepada orang yang menyeberang jalan seenak perut, memarahi para pengemudi motor yang selalu menerobos marka jalan untuk masuk ke jalur yang akan kulalui. Saya marah pada apa saja.


Tapi saat itu saya memang lupa Aristotle. The man who gets angry at the right things and with the right people, and in the right way and at the right time and for the right length of time, is commended, ujar si bijak Yunani itu dalam Nicomachean Ethics. Saya terkutuk dengan kemurkaan. Tidak menyadari bahwa orang lain juga bisa memiliki penghayatan yang sama. Mereka juga merasa benar, persis seperti saya dan juga menilai seperti saya. Mungkin memang betul, bukan saya yang benar. Bisa jadi saya yang salah, tetapi merasa memiliki kebenaran. Pria di Kijang itu menganggap saya yang menyerobot jalannya. Penyeberang jalan merasa saya mengganggu kenyamanan pedestrians dan pengendara motor heran melihat saya kekeh mempertahan jalur.


Akhirnya semua jadi marah-marahan. Rupanya kita adalah orang-orang yang selalu marah, bagian dari manusia-manusia yang selalu menunjukkan wajah keras di hari-hari yang menghimpit ini. Amarah adalah otot dan urat daripada jiwa. Kita pun menjelma jadi kelompok yang gampang mengencangkan rahang dan menggemeretukkan gigi, serta tidak segan-segan melayangkan kepalan tinju.


Penyair Amerika Ralph Waldo Emerson bilang, kita mendidih pada derajat yang berbeda. Artinya, bagaimanapun arif dan bijaksana, kita selalu punya titik gelegak. Itulah yang kita alami seusai reformasi ini. Tak punya daya lagi untuk melawan situasi yang buruk. Kita terpanggang, merasa panas, mendidih, menggelegak dan meletup, bahkan meledak. Kepahitan adalah kanker yang melahap diri sendiri, tulis pengarang Maya Angelou. Anger is like fire. It burns all clean. Kita pun terjebak untuk selalu memakai otot, bukan otak. Selalu rasa, bukan logika. Otak berada di perut dan dada.


Kita murka. Dan lupa, bahwa dengan kemurkaan itu, kita sudah menjadi manusia pandir. Selalu bodoh. Selalu tolol. Selalu marah. Padahal kita tak pernah henti berdoa. Begitulah setiap hari kini. Selalu marah. Selalu bodoh. Selalu tolol.


(Dimuat di Majalah Marine Business, Kolom JUST THINK, Edisi Juli 2008)




Tidak ada komentar: