Sabtu, Agustus 09, 2008

Biografi Tengku Nurdin

2. Berbaur dengan Masyarakat Awam


Ibu saya bernama Tengku Chazanah. Ayah menikahinya pada tanggal 19 Desember 1919. Pernikahan itu dikurniai sepuluh anak, delapan pria dan dua wanita. Saya adalah anak ke dua, lahir pada tanggal 6 November 1922.


Kami adalah sebuah keluarga besar. Seperti juga para kerabat Sultan, rumah kami berada di lingkungan istana dengan halaman yang luas. Bangunannya bertingkat dua dan sangat kukuh dengan dinding batu dan atap genteng. Lokasi persisnya adalah sekitar 100 meter dari Simpang Tiga ke arah Pantai Cermin. Memang tidak semegah istana, namun bagi saya rumah itu sangat besar, terutama jika dibanding dengan rumah-rumah masa kini.


Meski tidak langsung beratokkan Sultan Serdang, namun kemewahan hidup sangat melimpahi saya. Perlakuan yang diberikan kepada saya sama besar dan istimewanya dengan yang diberikan kepada cucu-cucu lain. Sebagai anggota keluarga Kesultanan, privilege yang saya terima juga sama. Baju yang saya kenakan bagus-bagus melulu dengan manik-manik mengkilap dan makanan lezat yang membikin lapar selalu tersedia.


Demikian banyak kesenangan yang saya terima, tetapi demikian pula banyaknya larangan dan pantangan yang diberlakukan. Salah satu larangan yang paling tidak saya setujui dan sekaligus yang paling sering saya langgar adalah bermain-main di luar lingkungan istana. Bukan saja Engku (panggilan kepada ayah), semua famili sampai ke Atok Sultan pastilah akan murka jika saya bermain-main di pasar.


Tetapi apa boleh buat, bukan salah Bunda mengandung, bergaul dengan rakyat sudah merupakan suratan di tangan saya sendiri. Saya tidak pernah tahu, entah mengapa saat-saat berbaur dengan masyarakat awam membuat hati saya senang dan berbunga-bunga. Saya suka bermain guli dan bola kaki dengan para pemuda-pemuda kampung yang bergerombol di pasar. Meski bau dan berpakaian compang-camping, saya tak pernah keberatan bercengkerama dengan mereka. Bukankah jika sudah bergelut merebut bola, semua kami akan jorok, bau dan dekil? Ah, saya tak perduli benar dengan hal itu.


Namun jika pulang ke rumah, seluruh kujur tubuh saya pasti akan diperiksa oleh Ende (panggilan untuk Ibu). Dia selalu menyeret saya ke pancuran untuk diguyur lagi, meski rambut saya masih basah karena baru selesai berenang di sungai.


Sembari memandikan, Ende merepet panjang-pendek. Dan saya harus senang mendengar repetannya, ketimbang menerima libasan tali pinggang Engku yang dicemetikan Ende.


Meski tahan menerima hukuman, namun saya sering menerawangkan tanya, tak habis pikir, gerangan dosa besar apa yang saya lakukan jika bermain-main dengan kanak-kanak kebanyakan itu? Apakah berada di pasar merupakan kejahatan? Bukankah Atok Sultan juga sering ke pasar, berbincang dan terkekeh-kekeh dengan para pedagang di sana? Mengapa dia boleh? Mengapa Engku juga diijinkan? Mengapa kami para cucu tidak diperbolehkan?


Bahkan menurut penglihatan saya, Sultan disayangi oleh rakyatnya karena sering berbincang dan datang ke pasar. Dia dinilai sebagai Sultan bijaksana, berjiwa kerakyatan dan tidak bertahta di menara gading. Setiap sapanya ibarat angin Bahorok yang bertiup pelan, menyejuk dan menenteramkan jiwa. Karena itulah sangat pantas dipertanyakan, mengapa saya tidak boleh baur dengan teman-teman di kampung sekitar?


Penasaran. Saya musti mencari tahu. Satu-satunya cara adalah bertanya kepada Ende.


“Din, tak baik berburuk sangka. Kalau kau dilarang, pastilah ada alasannya,” jawab Ende.

‘Tetapi patik (saya) suka, Nde,” kata saya.

“Ya. Ende tahu. Tapi nanti-nantilah itu, kalau kau sudah besar.”


Ternyata larangan yang diberlakukan kepada saya itu lebih cenderung bersifat kekuatiran. Mereka tak mau saya terlampau baur dengan rakyat sehingga meninggalkan tatakrama istana, apalagi segala aturan Kesultanan Serdang yang belum benar-benar merasuk ke alam pikiran saya. Yang lebih meresahkan, di luar sana ada Belanda terus mengintip dan mematai setiap gerakan anggota istana dengan mata liciknya


Larangan terhadap saya memang memiliki banyak pertimbangan. Kekuatiran hanyalah kulit luar saja. Isi sebenarnya adalah kebencian terhadap penjajah Belanda.


Akhirnya saya jadi mengerti sudut pandang yang dianut Kesultanan Serdang. Ini adalah suatu aturan yang tidak dapat disepelekan. Harus ditaati, musti dituruti. Jika pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang, tempat di mana kemerdekaan manusia berada.


Meski tidak tahu kapan, namun daratan seberang sudah mulai terlihat. Seperti engku dan atok juga, saya coba menatapnya jelas-jelas dengan rasa harap dalam dada. Bilakah masa itu akan datang?


(Bersambung ke Bagian 3. Melorot ke Nomor Pencorot)



Tidak ada komentar: