Sabtu, Agustus 09, 2008

Biografi Prof. DR. Hadibroto

2. Mata Berkaca, Hati Tersedu

Enam bersaudara sebenarnya sudah cukup besar, tetapi kelahiran adik baru selalu kami sambut dengan sukacita. Begitulah riangnya hati tatkala ibu hamil lagi.


Cuma kali ini ibu kelihatan letih. Wajahnya sering pucat dan tubuhnya semakin kurus. Mengandung setiap dua tahun pastilah membuat badan rontok. Kesehatan jadi kurang tera­wat dan kepala sering pening-pening. Saya masih ingat jalan ibu yang tertatih-tatih dengan kandungan semakin membesar. Alangkah berat langkahnya.


Saat itu ibu sedang mengandung anak yang ke tujuh. Kami senang karena nanti pasti ada adik baru yang mirip boneka. Tetapi takdir berkata lain. Pada saat melahirkan, terjadi pendarahan yang mengakibatkan ibu tak bisa ditolong. Dia berpulang sewaktu melahirkan dan adik bayi yang sempat lahir juga tak dapat diselamatkan.


Saya tersentak. Mata berkaca. Hati tersedu, karena ibu adalah segala-galanya bagi saya. Dialah matahari pagi, pijar yang memberi cahaya. Dia jugalah yang bernama rembulan, penerang bagi hati di kala bingung. Dia menyusukan dan memandikan. Ibu yang membuat saya bisa tulis-baca, mena­namkan Islam di benak saya. Dialah yang membuat mata saya melek untuk mengerti mana yang baik, mana yang buruk


Kini dia pergi. Cepat sekali rasanya. Ibu, mengapa pergi secepat itu?


Saat ibu meninggalkan kami di tahun 1928, saya duduk di kelas empat. Saya masih membutuhkan ibu untuk memecahkan soal-soal hitungan yang jadi huiswerk (pekerjaan rumah). Dan tak lama lagi akan ujian kenaikan kelas. Apa yang akan terjadi? Saya tak tahu.


Tetapi ayah rupanya lebih tahu. Saya dan Mas Suhardjo diboyong ke Bojonegoro untuk dititipkan kepada abang kandungnya, Raden Tumenggung Bawadiman Kartohadiprodjo, suami Bu De Oemi. Di situ ada Mbak Sukanti yang sejak bayi sudah tinggal di rumah itu. Dia sendiri baru menyadari bahwa kami ini adalah adik-adik kandungnya, justru pada saat ibu telah terbujur kaku.


Di sanalah kami bermukim, di bawah asuhan Bu De Oemi, yang persis ibu, sering mengajari agama dan berhitung. Saya kira ini merupakan hasil perembukan keluarga. Maklumlah, ayah yang kerjanya harus ke daerah-daerah, tidak mu­ngkin membawa kami, karena di daerah tidak tersedia sekolah. Sekolah yang bagus cuma ada di Bojonegoro. Apalagi Pak De Menggung adalah Patih di kota itu.


Di Bojonegoro, saya jadi anak yang necis. Namanya juga kemenakan Pak Patih. Saya pun masuk sekolah lagi, menenteng buku dengan gagah memasuki kelas lima. Alangkah menterengnya Soehadji kecil itu, dengan sebak rambut ke sebelah kiri. Licin dan mengkilat, seperti disemir dengan minyak goreng.


Yang lebih membuat keren, angka-angka rapport saya tetap berkibar. Tidak jatuh, padahal saya sudah tak punya ibu lagi. Saya kehilan­gan, tapi saya tak mau tenggelam dalam duka dan lupa. Justru saya ingin membuat ibu bangga. Saya tahu dia akan tersenyum jika saya mengingatnya dalam doa, tekun belajar dan taat menjalankan ajaran agama. Semua itu tak susah diwujudkan, karena layak sepur di atas rel yang berjalan sesuai arahan, saya tinggal mengikuti saja.


Ketika ayah kembali ditugaskan di Pekalongan, sayapun ditarik lagi. Di sana ada sekolah yang baik. Kami dijemput dari rumah Pak De, dan ikut dengannya ke sekolah baru dengan mata pelajaran yang lebih maju dan guru-guru Belanda yang lebih galak. Hal itu sempat membuat saya keder.


Ayah menyimak hal itu, namun dia diam saja. Mungkin dia tahu persis kemampuan anaknya. Dan benar, ternyata hal-hal demikian tidak mengusik nilai rapport saya. Meski murid baru, saya bisa meraih juara tiga. Ponten bagus, tak ada merah. Teman-teman senang, meneer Belanda yang jadi guru saya pun senang.


Apalagi tatkala saya lulus dengan hasil memuaskan di tahun 1932. Tak ada hal yang lebih menyenangkan daripada menerima diploma karena lulus dengan kemampuan­ sendiri.


Namun di balik kesenangan itu ada juga kerepotan. Yaitu menjalani hidup tanpa kehadiran ibu, yang terasa sangat teramat sulit. Risiko yang paling terasa adalah, kami tak bisa mempertahankan keutuhan keluarga.


Ayah harus pindah lagi dari Pekalongan. Sebagai akibatnya, saya dan Mas Hardjo kembali dititipkan ke rumah Pak De yang saat itu sudah naik pangkat menjadi Bupati Pasuruan. Akan halnya kedua adik, Sudjati dan Sutari, sejak ibu meninggal sudah dipelihara oleh adik perempuan ayah. Nasib jugalah yang membuat kami terpaksa tercerai-berai.


Apa boleh buat! Hidup memang harus dijalani, apapun bentuknya. Hal-hal yang menyedihkan sama pantasnya mengisi kehidupan manusia seperti juga hal-hal yang menyenangkan. Lagipula waktu untuk memikirkan nasib hampir tidak ada, karena saya harus masuk seko­lah kembali.


Meski tinggal di Pasuruan, saya dimasukkan ke sekolah Meer Uitge­breid Lager Onderwijs (MULO) di Probolinggo. Mendingan juga jauhnya. Setiap pagi saya harus mengejar kereta api untuk pergi ke sekolah.


Saya selalu ingat suasana pagi begitu. Turun dari tangga rumah dengan separuh berlari, saya dan Mas Hardjo menyeberang jalan menuju perbukitan kecil yang terhampar di depan rumah. Embun masih mengambang di permukaan rumput. Dari balik pepohonan, tampak ruas cahaya menyinari kabut. Bergaris-garis panjangnya, layak mistar-mistar raksasa yang menikam bumi.


Di jalanan kami akan selalu berpapasan dengan para petani yang memanggul pacul dan buntalan, berjalan berombongan menuju hutan di mana sawah dan ladang mereka berada. Otot punggung mereka yang telanjang, mekar bagai bongkahan tanah yang gembur. Kulit yang legam adalah pertanda keuletan mereka sebagai bangsa Indonesia yang rindu kebebasan.


Sungguh sebuah pagi yang merdeka. Sesekali akan terdengar guyonan mereka yang sederhana. Alangkah optimis hidup ini, meski penjajah masih bercokol di tanah milik mereka. Seakan mereka tahu, bahwa semua yang terbentang adalah perjuangan. Mereka berjuang di tanah garapan, saya berjuang di bangku pendi­dikan.


(Bersambung ke Bagian 3 : Anak Titipan yang Ditumpangkan)

Tidak ada komentar: