Jumat, Agustus 05, 2011

Bab 15. Mendekapnya Rapat, Memeluknya Hangat

Bab 15 ini adalah cuplikan dari 
Biografi Gesang 'Mengalir Meluap Sampai Jauh', 
tulisan IzHarry Agusjaya Moenzir, 
terbit tahun 1998, cetak ulang 2010 
oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama
========================================
 
Perempuan itu memang memukau jiwa. Mataku tak berkedip melihatnya. Dagunya yang runcing menancap tajam di jantung. Aku terpesona, merasa heran, kok ada mahkluk secantik dia? Selintas aku berpendapat bahwa dia bukan manusia. Mungkin peri dari salah satu bintang-bintang yang bertabur di langit. Turun ke bumi, malam ini dia ikut bernyanyi dan menari di panggung hiburan Surakarta.

Gemulainya adalah dedaun nyiur yang tertiup angin. Lentik jarinya ibarat bulan sabit. Dia berputar-putar dengan langkah ringan, seakan kedua kakinya tidak menjejak tanah. Musiknya dari swargaloka, nyanyian para dewata. Jika matanya mengerling, seberkas sinar lembut berkejaran di udara terbuka, menusuk masuk ke kornea mataku. Aku terpanah.

Asmara memang cepat datangnya. Apalagi bagiku yang sangat menyukai keindahan. Di kemudaan usia ini, aku terpaku dan tak bisa berkelit lagi. Dia memang pujaan semua orang, tetapi bagiku dialah bidadari. Perasaan itu muncul ketika jemari halusnya kujabat di belakang panggung. Kulitnya lembut seperti kapas, seakan telapak itu tak pernah bersentuhan dengan sesuatu apapun.

Aku keringat dingin. Seandainya....

“Kepanasan ya?” tanyanya manis.

Leherku kering. Tak bisa berkata-kata untuk menjawabnya. Suara batinku tersangkut di tenggorokan.

“Nih, pakai saputangan saya saja," katanya sembari menyodorkan saputangan.

Suaranya yang manja membuat tanganku bergerak di luar kendali, menggapai ke arahnya untuk meraih selampe sutera berwarna ungu dengan hiasan garis-garis merah itu. Mataku tak berkejap. Gemuruh dadaku terdengar jelas dan jantung berdentam-dentam dengan garang. Alangkah kakunya suasana.

Dia tertawa. Dan aku menunduk. Sungguh memalukan sekali sikapku, menganga seperti anak kecil melihat permainan sulap. Kugenggam saputangan pemberiannya dalam telapakku. Saputangan yang harum baunya, menawan hatiku.

Aku kasmaran. Dalam hati putihku, kini tergambar sketsa raut wajahnya. Entah siapa pelukisnya, namun guratan garis itu begitu jelas dan terang. Arsirannya terbentuk bagus dengan sisi hitam, kelabu dan putih yang berkomposisi, sehingga alis, mata, hidung, bibir dan pipinya semakin nyata.

Ternyata aku tidak terlalu bertepuk sebelah tangan. Seusai bernyanyi, kusamperin dirinya.

“Terimakasih saputangannya. Nanti setelah dicuci akan saya kembalikan.”

Aku berbohong. Saputangan berinitial S miliknya itu tidak kupakai untuk melap keringat, karena aku tidak mau merusak keharumannya. Cuma, untuk mengatakan bahwa aku tidak memakainya, pasti hanya akan menunjukkan kekonyolan saja.

“Sudah. Simpan saja. Anggap kenang-kenangan," ujarnya dengan senyum menggoda.

Oh Gusti! Sanggupkah aku menerima kemanisan ini? Aku menggigil di bawah baju yang kukenakan. Haruskah saputangan itu kuterima? Aku merasa berada dalam kamar berdinding sempit, tak tahu apa yang harus dilakukan. Ingin aku memiliki saputangan miliknya sebagai tanda cinta, tetapi aku takut seandainya hal itu membawa petaka. Ila-ila, kepercayaan sejak jaman kuno melarang aku menerimanya, karena hal itu akan mengakibatkan putusnya hubungan. Seperti minyak wangi, saputangan juga merupakan benda yang tidak boleh diberikan kepada orang lain, sebab bisa mempengaruhi hubungan yang sudah terjalin. Bagaimana jika hubunganku dengannya terhenti?

Keraguan terus mengerubungiku, layak semut kecil yang merubung kujur hati. Mudah-mudahan dia tidak merasakannya di tengah obrolan yang semakin lama.

“Capek?” tanyaku.
“Kamu sendiri bagaimana?”
“Ya capek. Ya gemetar. Takut kalau suara saya nggak sampai tadi.”
“Tapi bagus kok. Lagunya enak. Ciptaan sendiri, ya?”

Aku mengangguk. Berjuta kuntum bunga mekar di padang sanubariku.

“Tapi kok rasanya, bisa lebih bagus kalau kamu yang menyanyikan,” kataku.

Aku tidak berbohong. Dia bukan hanya dikenal sebagai penari tersohor, tetapi juga memiliki suara emas yang jarang bisa tertandingi.

“Aku akan ciptakan lagu buat kamu,” kataku tiba-tiba.
“Memangnya, sudah berapa banyak lagu yang kamu ciptakan?”
“Baru empat. Nanti yang ke lima buat kamu. Bolehkan?”

Dia melepas senyum cerah. Sumringah. Dan aku mencium wewangi melati, seakan berasal dari hamparan bunga terbentang. Padahal itulah harum tubuh dan saputangannya. Semakin lama semakin memabukkan, seperti juga kata demi kata, kalimat demi kalimat yang kami ucapkan, diselingi dengan senyum, tawa dan manja.

Cinta pertama adalah cinta yang berasal dari kayangan. Aku membalut tubuhnya dengan seluruh perasaaanku, layak Hyang Rawi mendekap Kunthi di Taman Keputerian. Sorot sayu mataku layak sinar mentari yang membelai pundak telanjangnya, mendekapnya rapat, memeluknya hangat. Saputangan yang dulu kuterima dari kekasihku. Pada masa dahulu berjuang, pertama bertemu.


Tidak ada komentar: