Jumat, Agustus 05, 2011

REMINISCENCE OF THE DAYS: Bulek dan Segelas Air Es

Iseng-iseng, kusinggahi lagi Prambors Rasisonia. Tatkala urusanku di Ratu Plaza beres dan jalanan di luar sana macet berat, aku ringankan langkah menumpang elevator, naik ke lantai tempat stasiun radio itu bercokol bersama radio Delta FM & Female FM.

26 tahun sudah sejak radio-radio itu kutinggalkan. Siaranku terakhir di Prambors adalah pada Januari 1983, sementara siaran terakhirku di Delta FM adalah November 1999. Sebuah rentang panjang waktu yang membuat jarak lebar. Apakah semua sudah terbelah?

Suasana stasiun radio-radio itu kini sudah formal, seperti kantor bank saja layaknya. Ketika pintu lift terbuka, sambutan sorot mata dingin petugas security menyambar dan mendakwa: “Ada kepentingan apa di sini?” Terasa kaku dan defensif.


Jika ada sebuah jarum kecil terjatuh, bisa-bisa suara benturannya dengan lantai akan terdengar jelas. Suasana hening, seperti berada di tengah pekuburan. Semua tertata dengan arogansi yang lembut, tidak punya kehangatan. Kerenyahan atmosfer radio kini terasa hilang. Tidak ada keluwesan, sehingga tidak terasa ada keakraban. Semua bergegas dengan pekerjaan, setiap orang seperti clock-work toy yang beredar dari ruangan ke ruangan dengan kunci putar tertancap di balik punggung.

Tidak ada canda anak-anak mangkal lagi di ruangan-ruangan itu. Padahal taglines Prambors zaman dulu adalah Tempat Anak Muda Mangkal. Semangat itu sudah tidak terpantul lagi. Sekarang semuanya formil, bincang-bincang dengan teman-teman lama juga terkesan berjarak. Ada celah yg membedakan, ada ruang hidup yang berlainan. Semua tercipta dalam satu sistem hubungan kerja yang kurang bersahabat, karena semua bermuara kepada uang. Pada gaji. Pada kinerja. Pada target untuk mencetak profesionalisme. Dan itu terasa hambar.

Ya, pergeseran sudah terjadi. 2009 bukan 1999, apalagi 1983. Time change, people change. Dan itu akan terus begitu. Waktu telah menjauhkan pribadi-pribadi, mencetak tatakrama baru dan meletakkannya menimpa nilai-nilai persahabatan. Kukira, kita tidak akan pernah menemukan masa-masa itu lagi. Hubungan antar manusia yang dulu terbentuk atas dasar kekerabatan batin, kini terbina atas dasar kepentingan dan keuntungan. That’s life.

Namun, untunglah ada Bulek. Office-boy yang dulu setiap hari menyediakan minuman, dengan senyum lebar menyodorkan secangkir kopi buat Bowo, dan segelas air es buatku. Dengan gaya seperti The Incredible Hulk, (itu sebutanku dulu buatnya) dia juga menyalam tanganku.

“Pak Izharry, kan?” tanyanya.
“Wah, awet kau, ya Lek! Sudah berapa anak sekarang? Sudah kawin kan?” tanyaku kembali.

Pertanyaan-pertanyaan itu sama sekali tak perlu berjawab, karena kami berbincang dengan hati. Dan kami tetap saling menyimpulkan senyum hangat di bibir. Iseng-iseng kutanya lagi dia.

“Kok Bowo dikasi kopi, aku cuma dikasi air es?”
“Kan dari dulu Pak Iz sukanya air es.” jawabnya.

Kepalaku terbentur, kesadaranku tersentak dan ketulusanku mencair. 26 tahun sudah berlalu, tetapi Bulek masih mengingat kegemaranku: Segelas Air Es!

Bulek ternyata lebih bersahabat. Aku dan dia berdialog pada frekuensi yang sama, tidak saling menggurui, tidak saling mengukur. Kami tidak bicara tentang kepentingan dan keuntungan, tetapi kami bicara tentang pengertian dan ketulusan. Sesuatu yang jarang ada. Terlebih ketika kami melakukannya dengan nurani.

Selasa, 29 September 2009
by IzHarry Agusjaya Moenzir

Tidak ada komentar: