Jumat, Agustus 05, 2011

GESANG - MENGALIR MELUAP SAMPAI JAUH

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Prolog: ‘Mati’ ketika Hidup dan ‘Hidup’ Setelah Mati

Sudah 12 tahun biografi Gesang ini saya tulis. Masih teringat di bulan-bulan akhir 1998 yang berlanjut ke bulan-bulan awal 1999, saat saya berada di Surakarta, mundar-mandir dari penginapan ke rumah Gesang di Palur. Suasana republik saat itu sangat tidak kondusif. Ibu Pertiwi lagi demam panas dan rakyat sedang marah. Gelombang ketidakpercayaan terhadap Pemerintah membuncah. Demonstrasi di mana-mana.

Namun saya dan Pak Gesang nyaris tidak tersentuh. We stay in our ignorance. Di rumah tipe 36 miliknya yang selalu dikumandangi kicauan burung, kami tenggelam dalam obrolan hening, membuka hati dan merajut kata. Atas pertanyaan saya, Pak Gesang bertutur tentang keberadaannya sejak lahir, kanak, remaja, dewasa dan menjadi tua. Jalinan kisah hidupnya nyaris tanpa karpet merah. Bukan kisah manis. Sedikit sekali madu dan bunga mawar di sana. Dan saya menyimaknya untuk dijadikan naskah panjang.

Usia Gesang saat itu masih 80. Saya ingin menerbitkan biografinya untuk peringatan usia windu dasawarsa Gesang, sebelum kisah hidup itu hilang dan terlambat. Saat itu kesehatan Gesang sudah sering terganggu. Tubuh rentanya ringkih, tidak tahan terhadap ancaman penyakit. Keadaan ekonominya mencemaskan. Kitapun sudah melupakannya. Saya khawatir Gesang tidak akan bertahan lama. Maut bisa menjemputnya sewaktu-waktu. Dan jika saat itu tiba, kita bisa-bisa tidak punya pengetahuan apa-apa tentang maestro keroncong itu.

Maka sebuah biografi mutlak sangat dibutuhkan. Meski diluncurkan di Pendopo Kantor Walikota Surakarta pada 17 Februari 1999 dengan kehadiran orang-orang besar, kisah tentang Gesang nyaris lahir tanpa tanggapan nasional. Hanya beberapa media cetak lokal dan TVRI saja yang memberitakan.

Saat itu memang Gesang sudah tidak lagi menarik hati Indonesia. Dia bukan sosok yang sexy untuk diberitakan. Dia cuma seorang pria tua dari masa lampau yang mewakili musik-musik zadul (zaman dulu). Old timer yang tidak punya daya tarik dan daya jual. Dia telah terlupakan dan disia-siakan. Sekelebat saya beranggapan, Gesang sebenarnya sudah dianggap mati sebelum napasnya berhenti.

Apalagi kita menyadari, musik keroncong memang tidak lagi dikonsumsi masyarakat, terutama masyarakat kota yang hanyut oleh kedahsyatan musik-musik pop Indonesia dan musik-musik MTVmancanegara. Gesang left alone and become nobody. Era musiknya juga sudah tidak trend lagi, memudar seperti musik Melayu, lagu-lagu Batak dan Minang serta lagu-lagu asli Indonesia lain yang pernah terkenal.

Singkat kata, Gesang adalah sebuah masa lalu, sisa-sisa seniman tua yang ditinggalkan oleh kekinian. Dia telah kita anggap tiada, kita nilai sudah ‘mati’. Hari-harinya tidak pernah kita catat dan tidak pernah dapat tempat. Sebelas tahun saya dan beberapa kawan mencoba menghidupkan eksistensinya, namun selalu tidak berhasil.

Tapi ketika beberapa bulan lalu Gesang gering dan dirawat di rumah sakit, mendadak saja media gencar memberitakan dirinya. Saya tertanya, seandainya dia tidak di ambang maut, apakah berita tentangnya masih dinilai memiliki news value? Atau ini cuma kelatahan?

Gesang kemudian melepaskan jiwanya pada jam 18:10 WIB tanggal 20 Mei 2010, saat kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Koinsiden itu seakan memberi sinyal agar kita jangan melakukan upaya membangkitkan nasionalisme sebagai proforma semata-mata.

Gesang sudah mati. Tapi sekarang kita mencoba ‘menghidupkan’ dengan segala upaya. Gelar Pahlawan Nasional diwacanakan. Padahal dulu ketika dia masih hidup, kita sudah bertahun-tahun ‘mematikannya’. Memang seorang genius sering tidak diakui ketika dia masih hidup, tapi baru diakui setelah dia tiada. Seperti lidah di dalam rongga mulut, kita tidak pernah merasakan keberadaannya. Tetapi ketika lidah itu tiada, kita akan bersedih karena tak lagi bisa berkata-kata.

It’s so pathetic. Miris dan menerbitkan iba. Mudah-mudahan kita memang benar-benar merasa kehilangan Gesang, bukan cuma sesaat ini saja. Sehingga kita yakin benar bahwa sebuah biografi memang mutlak sangat dibutuhkan.

Belantara Hujan, 28 Mei 2010

Tidak ada komentar: