Jumat, Agustus 05, 2011

Kompas.com : Peluncuran Buku Gesang, Anugerah yang Dilupakan


KOMPAS.com- Kehidupan maestro musik keroncong Gesang ternyata tak seindah lagu-lagu ciptaannya. Lagu Bengawan Solo, misalnya, boleh saja mendunia dan dan mengalir melintasi zamannya. Dikenal dan disukai dari dulu sampai sekarang. Namun, kehidupan Gesang ternyata penuh duka dan sempat menguncang jiwanya.

"Sejak lahir hingga usia tua, saya merasakan hidup penuh duka. Kehidupanku seperti air yang mengalir di sepanjang Bengawan Solo. Asal mengalir dan selalu mengalir. Saya sadar, dari hilir perjalanan bermula dan di hulu perjalanan berakhir." Demikian pengakuan Gesang, 12 tahun lalu.

Dan ketika berpulang, Kamis 20 Mei 2010 pukul 18.10 WIB, Gesang pergi tanpa pesan terakhir. Menurut keponakannya, beliau pergi dalam hening yang dalam.

Kenyataan yang memilukan dan sekaligus mengharukan itu terungkap saat peluncuran buku Gesang Mengalir Meluap Sampai Jauh (penerbit PT Gramedia Pusataka Utama, Jakarta, 2010) yang ditulis IzHarry Agusjaya Moenzir, Jumat (6/8/2010) malam, di Auditorium Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta.

Menurut IzHarry, Gesang adalah sebuah masa lalu, sisa-sisa seniman tua yang ditinggalkan oleh kekinian. Dalam usia rentanya, ia telah kita anggap tiada, kita nilai sudah mati. Hari-harinya tidak pernah kita catat dan tidak pernah dapat tempat.

"Sebelas tahun saya dan beberapa kawan mencoba menghidupkan eksistensinya, namun selalu tidak berhasil. Tapi, ketika beberapa bulan lalu Gesang terbaring sakit di rumah sakit, mendadak saja media gencar memberitakan dirinya. Melalui buku biografi Gesang yang diluncurkan malam ini, kita mencoba menghidupkan dengan segala upaya," ujar IzHarry.

Gesang telah tiada. Radio Republik Indonesia memberi tempat untuk peluncuran buku Gesang tersebut dengan menyiarkan langsung ke penjuru nusantara. Sebagai bentuk kepedulian akan khasanah budaya bangsa, RRI juga menghadirkan Kelompok Keroncong Tugu dan Keroncong Cyber, untuk menyanyikan lagu-lagu kerincong ciptaan Gesang selama 40 menit penampilan on air.

"Radio Republik Indonesia sangat peduli dengan kebudayaan bangsa. Dan, musik keroncong sebagai salah satu kekayaan bangsa kita, harus kita lestarikan. Kita tingkatkan kepedulian kita. Kepedulian RRI kepada keroncong, dan Gesang khususnya, tidak hanya saat ini saja," kata kata Direktur Utama RRI Parni Hadi , dalam pidatonya.

Pada saat Bintang Radio 2008 di Bogor, tambah Parni Hadi, RRI juga menganugerahkan kepada Gesang penghargaan Live Achievement. "Inilah cara RRI menghargai pahlawan di bidang kesenian. Yang diperbuat pahlawan di bidang kesenian ini untuk bangsa, tak kalah dengan pahlawan yang pegang senjata," katanya.

Wartawan lima zaman Rosihan Anwar mengatakan, seumur-umurnya inilah peluncuran buku yang hebat, yang disiarkan langsung ke penjuru nusantara. "RRI sudah memberikan tempat yang luar biasa, dan peluncuran buku ini didengar banyak orang melalui siaran langsung RRI ke penjuru nusantara," katanya.

Menjaga dan mengembangkan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, meski berhalangan hadir, menitipkan pesan kepada Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, untuk terus melestarikan musik keroncong.

"Maestro Gesang telah meninggalkan kita dan setelah beliau pergi adalah tugas kita untuk menjaga keroncong sebagai salah satu karya seni musik bangsa Indonesia," tulis Jero Wacik.

Sapta Nirwandar mengungkapkan, kita harus berterima kasih dan bangga karena di Bumi Pertiwi pernah ada seorang seniman Keroncong dan Langgam Jawa yang tegar bergeming menyuarakan kepahlawanan. "Dia bernama kehidupan. Dan Gesang adalah kehidupan. Meski dia telah tiada," katanya.

Menurut Sapta, lagu Bengawan Solo memang sudah masterpiece. Masyarakat Indonesia mengakui, demikian juga dunia. Namun, jangan terpaku pada sebuah lagu semata. Ada sekitar 40 lagu ciptaan Gesang yang menunjukkan betapa kaya sebenarnya batin pria kelahiran Surakarta ini. Lagu-lagunya ditulis pada waktu yang berbeda, yaitu saat kita masih dijajah Belanda dan Jepang, serta di zaman merdeka.

"Simaklah lagu Bilamana Dunia Berdamai (1942), Jembatan Merah (1943), dan Caping Gunung (1973). Semua menjadi suara zaman, saksi sejarah bangsa kita. Kita harus berterima kasih dan bangga dengan Gesang," tandas Sapta. (YURNALDI)

Tidak ada komentar: